Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Bagaimana hukum membayar zakat (entah zakat māl atau zakat fitri) kepada kerabat sendiri semisal saudara, keponakan, paman, bibi, atau mertua?
Apakah dibedakan antara kerabat nasab, kerabat karena persusuan, atau kerabat karena pernikahan?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Memberikan zakat kepada kerabat sendiri adalah seindah-indah distribusi zakat, bahkan paling utama. Sebab, membayar zakat kepada kerabat sendiri itu pahalanya dua, yakni pahala sedekah dan pahala silaturahmi. Walaupun kerabat yang diberi zakat itu menyakiti kita, jahat kepada kita atau dengki terhadap kita. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Sedekah kepada orang miskin (pahalanya) sedekah kepada kerabat ( pahalanya) dua yakni (pahala) sedekah dan (pahala) silaturahmi” (H.R.al-Tirmiżī)
***
Catatan pentingnya begini:
TIDAK BOLEH membayar zakat kepada kerabat yang kita WAJIB MENAFKAHINYA. Misalnya orang tua yang sudah sepuh, lemah dan tidak mampu bekerja. Saat orang tua sudah lemah dan tidak mampu bekerja maka kita wajib menafkahinya. Dalam kondisi ini tidak sah kita memberikan zakat kepada beliau, sebab beliau memang wajib kita nafkahi. Jika kita membayar zakat kepada mereka, maka seakan-akan kita memberi diri kita sendiri untuk melaksanakan kewajiban memberi nafkah. al-Syāfi‘ī berkata,
Artinya,
“Tidak boleh memberikan (zakat) kepada anaknya anak, baik kecil maupun dewasa ataupun sakit kronis. Tidak boleh juga memberi (zakat kepada) ayah atau ibu atau kakek atau nenek dengan sakit kronis.” (al-Umm, juz 2 hlm 87)
Adapun jika orang tua masih sanggup bekerja, atau punya penghasilan tapi juga punya utang dan pemberian kita terhadap mereka sifatnya sunah, maka boleh memberikan zakat kepada mereka.
Kata al-Nawawī,
Artinya,
“Adapun jika anak atau orang tua itu fakir atau miskin dan kita mengatakan dalam kondisi tertentu tidak wajib menafkahinya maka boleh bagi orang tua atau anak untuk memberikan zakat kepadanya dari jatahnya orang-orang fakir dan miskin tanpa ada perselisihan. Sebab saat itu seperti orang asing” (al-Majmū’, juz 6 hlm 229)
Senada dengan itu al-Khaṭīb al-Syirbīnī berkata,
Artinya,
“Jika dia (orang yang bernazar) tidak wajib menafkahinya (yakni pasien yang sakit) maka boleh memberikan (uang nazar itu) kepadanya. Jika tidak (yakni orang yang bernazar secara hukum wajib menafkahi si pasien) maka tidak boleh (memberikan uang nazar kepadanya) sebagaimana zakat.” (Mugnī al-Muḥtāj, juz 6 hlm 252)
23 Desember 2024 / 22 Jumadil Akhir 1446 pada 08.45