Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Di antara sigat jamak taksir adalah wazan af’ilatun (أَفْعِلَةٌ).
Misalnya kata ragīf (رَغِيْفٌ) yang bermakna roti. Kata ini jika dijamakkan maka akan menjadi argifah (أَرْغِفَةٌ).
Demikian pula kata jalīl (جَلِيْلٌ) yang bermakna agung/besar/hebat.
Jika dijamakkan, maka ia diubah ke wazan af’ilatun menjadi aj-li-latun (أَجْلِلَةٌ).
Dari bentuk tersebut tampak ada dua huruf kembar berdekatan, yakni huruf lam.
Yang semacam ini menuntut penggabungan melalui proses yang disebut idgām (إِدْغَامٌ).
Hanya saja, syarat idgām adalah huruf kembar pertama harus disukun.
Masalahnya, dalam sigat di atas lam yang pertama tidak disukun karena berharakat kasrah.
Jadi dia harus disukun dulu baik melalui cara paksa maupun adaptasi. Selama masih mungkin cara adaptasi, maka tidak boleh cara paksa.
Dalam konteks ini jalan adaptasi tersedia, karena lam yang dikasrah itu bisa bertukar harakat dengan huruf jim sebelumnya.
Setelah bertukar akhirnya ajlilatun menjadi ajil-latun (أَجِلْلَةٌ).
Bentuk tersebut sudah memenuhi syarat idgām, yakni huruf kembar pertama sudah disukun.
Akhirnya lam digabung lam sehingga tampilan fisiknya cukup ditulis satu lam yang ditasydid.
Dengan demikian tampilan finalnya menjadi ajillatun (أَجِلَّةٌ).
Begitulah proses morfologis lafaz ajillatun dalam bait ke-12 nazham al-‘Imrīṭī yang berbunyi,
Artinya,
“dan ulama-ulama besar memanfaatkan ilmunya (yakni ilmu dalam kitab al-Muqaddimah al-Ājurrūmiyyah itu), padahal Anda melihatnya tipis saja ukurannya.”
Kajian sharaf nazham al-‘Imrīṭī bait ke 12 bisa dinikmati di sini.
7 November 2023/ 22 Rabi’u al-Tsānī 1445 H pukul 10.02