Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Orang yang memungut jasa keamanan secara liar di zaman dulu dalam kitab-kitab fikih haji disebut dengan istilah khafīr (الخفير) atau raṣdī (الرصدي) atau bażraqah (الْبَذْرَقَةِ)). Uang yang dibayarkan disebut khafārah (الخفارة).
Ada ikhtilaf terkait status bayar khafārah ini.
Ulama-ulama Mazhab Hanafi dan mayoritas hanabilah memandang itu risywah. Jadi, haram dibayar. Kewajiban haji gugur jika ada penghalang di jalan seperti itu.
Ulama-ulama mazhab al-Syāfi‘ī tidak menyebutnya dengan lugas sebagai risywah. Tapi kewajiban haji juga gugur dengan adanya tukang palak seperti itu jika dia tidak punya jalan alternatif. Jika ada jalan alternatif maka adanya tukang palak tidak menggugurkan kewajiban haji. Tapi memberi uang kepada mereka statusnya makruh karena justru menuruti keinginan mereka justru malah melanggengkan praktek tersebut. Al-Nawawi berkata,
Artinya,
“Makruh membayar harta kepada para raṣdī, sebab mereka justru berambisi mencegat orang-orang karena hal tersebut.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 3 hlm 10)
Jika uang itu diberikan setelah selesai haji, maka tidak makruh. Daripada berkelahi dengan sesama muslim.
***
Jadi, terkadang satu fakta yang sama, di kalangan fukaha berbeda pendapat. Statusnya apakah risywah ataukah tidak.
Jika sudah begini, maka bagi orang awam tentu kembali pada kaidah tarjih untuk orang awam. Yakni mengikuti mufti yang diyakininya lebih luas ilmunya dan lebih bertakwa.
10 Februari 2024/ 29 Rajab 1445 H pukul 09.48