Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jika orang tua kita wafat dan belum sempat mengerjakan kewajiban berumrah bolehkah kita mengumrahkan mereka?
Bagaimana jika kita mengumrahkan kerabat lain yang sudah wafat semisal kakek, nenek, buyut, canggah, adik, kakak, paman, bibi, sepupu, keponakan dan lain-lain?
Bagaimana jika yang kita umrahkan adalah orang lain yang tidak ada hubungan kerabat?
Bagaimana juga hukumnya jika kita dibayar untuk melakukan umrah badal tersebut?
***
Jawaban ringkas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.
Badal umrah dari sisi badal (min ḥaitsu huwa) jelas disyariatkan dalam hadis Nabi ﷺ. Ahmad meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Razin Al ‘Uqaili bahwa dia menemui Nabi ﷺ lantas berkata: “Wahai Rasulullah, bapakku seorang yang tua renta, tidak mampu untuk melakukan haji maupun umrah dan bepergian.” (Nabi ﷺ ) bersabda: “Laksanakanlah haji dan umrah untuk mewakili bapakmu.” (H.R. Ahmad)
Dalam hadis di atas diceritakan bahwa Abu Razin Al ‘Uqaili meminta penjelasan dari Rasulullah ﷺ cara haji dan umrah untuk ayahnya yang sudah tua renta dan tidak mungkin kuat haji maupun umrah. Ternyata Rasulullah ﷺ menyarankan anaknya untuk membadali haji dan umrah bapaknya. Jadi, hadis ini menunjukkan badal umrah itu sah.
***
Adapun membadali umrah untuk orang mati, maka berdasarkan riwayat tersebut dan riwayat semisal pendukung lainnya bisa dipahami bahwa umrah mewakili orang mati juga diperbolehkan. Sebab kebolehan membadali/mewakili orang hidup dalam haji dan umrah adalah bentuk tanbih (isyarat) bahwa mewakili yang wafat juga boleh berdasatkan kaidah al-tanbih bi al-adnā alā al-a’lā. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Kebolehan membadali mayit lebih utama, jadi istidlal memakai dalil tersebut untuk mayit adalah bagian dari kaidah al-tanbih bi al-adnā alā al-a’lā.” (al-Majmū’, juz 7 hlm 113)
***
Hanya saja disyaratkan orang yang mengumrahkan harus sudah menunaikan kewajiban umrah pribadinya. Dasarnya adalah hadis Syubrumah. Karena Rasulullah ﷺ memerintahkan lelaki yang menghajikan Syubrumah supaya berhaji untuk dirinya dahulu baru untuk Syubrumah. Jadi riwayat tersebut menunjukkan orang hanya boleh menghajikan orang lain jika sudah menunaikan kewajiban hajinya sendiri. Mengingat umrah juga bermakna haji, yakni haji kecil maka orang yang mengumrahkan orang lain harus melaksanakan kewajiban umrahnya sendiri sebelum mengumrahkan orang lain.
***
Membadali umrah orang yang sudah wafat ini tidak harus izin dari almarhum. Dalam arti tidak harus ada izin saat beliau masih hidup dan tidak harus ada wasiat untuk membadali. Juga tidak disyaratkan harus ahli waris yang membadali umrahnya. Artinya orang yang tidak ada hubungan kerabat juga sah membadali umrah mayit ajnabi. Tidak disyaratkan juga harus diizinkan ahli waris dari mayit tersebut. Jadi tiba-tiba mengumrahkan mayit orang lain pun juga diperbolehkan. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Boleh membadali (haji) untuk mayit dengan izinnya maupun tanpa izinnya. Boleh juga dari ahli waris maupun ajnabi. Tidak dibedakan apkah ahli waris mengizinkan ataukah tidak tanpa ada perselisihan.” (al-Majmū’, juz 7 hlm 114)
Termasuk dibolehkan juga adalah jika membadali umrah mayit dengan upah. Sebab jasa terkait ibadah yang manfaatnya bisa dirasakan orang lain memang boleh diakadi ijarah. Seperti jasa mengajarkan Al-Qur’an, jasa azan, jasa mengimami, jasa mengajarkan fikih dan semisalnya.
“Ya Allah, berilah kami kemampuan untuk mengunjungi Rumah Suci-Mu untuk haji dan umrah.”
Senin, 29 April 2024 / 20 Syawal 1445 H Pukul 07.14