Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Jawaban ringkasnya adalah karena itu bentuk pengamalan dalil yang paling maksimal dan paling prima.
Perumpamaannya kira-kira begini.
Anggap saja ada 5 orang saksi mata yang selamat dari Tsunami Aceh. Semuanya tinggal serumah. 5 orang tersebut bercerita detik-detik terjadinya Tsunami hingga menghancurkan rumah mereka. Kisah mereka secara umum sama, hanya saja tiap orang pasti punya cerita rincian yang tidak ada pada yang lain.
Jika kita ingin membuat narasi yang utuh tentang detik-detik terjadinya Tsunami itu, apa yang kita lakukan? Apakah bertumpu pada satu informan yang kita anggap paling jujur dan paling cerdas atau menggabung semua kisah tersebut menjadi satu agar saling melengkapi?
Yang paling ilmiah justru mengombinasi semua data dari semua informan terpercaya tersebut. Sebab asumsinya, bisa jadi ada satu dua kejadian yang terlewat bagi satu informan tapi tidak bagi informan lainnya.
***
Demikian pula dalam periwayatan hadis Nabi ﷺ terkait doa. Terkadang semua riwayatnya sahih dengan matan yang substansinya sama, tetapi satu riwayat sedikit berbeda dengan riwayat lainnya. Yang seperti ini sikap paling ilmiah dan justru bentuk pengamalan dalil yang paling prima adalah MENGKOMBINASI semua riwayat-riwayat tersebut. Itu justru bentuk pelaksanaan dalil yang paling sempurna, paling ihsān dan paling itqān. Tidak layak disebut bid’ah dan tidak boleh disebut bid’ah.
Seperti itulah yang disarankan al-Nawawī saat merekomendasikan redaksi salawat terbaik untuk dibaca dalam salat. Dengan kata lain, al-Nawawī merekomendasikan “talfiq” bacaan doa sebagai bentuk pelaksanaan dalil yang paling baik. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Yang paling utama membaca (selawat dengan redaksi), ‘Allāhumma ṣalli ‘alā muḥammadin ‘abdika warasūlikan nabiyyil ummiyyi wa ‘alā āli muḥammadin wa azwājihī wa żurriyyatihī kamā ṣallaita ‘alā ibrāhīm wa ‘alā āli ibrāhīm. Wa bārik ‘alā muḥammadinin nabiyyil ummiyyi wa ‘alā āli muḥammadin wa azwājihī wa żurriyyatihi kamā bārakta ‘alā ibrāhīm wa ‘alā āli ibrāhīm. Fil ‘ālamīna innaka ḥamīdum majīd.”
Redaksi seperti yang disarankan al-Nawawī ini tentu saja tidak ada dalam riwayat hadis manapun, sebab itu memang bentuk kombinasi. Oleh karena itu, al-Nawawī menjelaskannya sebagai berikut,
Artinya,
“Kami meriwayatkan kaifiyyah (redaksi) ini dalam Sahih al-Bukhārī dan Muslim dari Ka’ab bin ‘Ujrah dari Rasulullah ﷺ kecuali sebagiannya. Sebab ia juga sahih dari riwayat selain Ka’ab.”
Maksudnya, redaksi utama selawat di atas diambil al-Nawawī dengan mengombinasikan riwayat dalam Sahih al-Bukhārī dan Muslim dari jalur riwayat Ka’ab bin ‘Ujrah. Kecuali sebagian saja yang merupakan riwayat sahih juga tapi bukan dari jalur Ka’ab. Redaksi yang disisipkan adalah lafaz,
- ‘abdika warasūlika
- annabiyyil ummiyyi
- azwājihī wa żurriyyatihī, dan
- fil ‘ālamīna
***
Atas dasar ini, sekarang kita bisa memahami mengapa membaca doa iftitah “inni wajjahtu wajhiya” (dengan “inni”) itu hal ma’ruf bahkan afdal daripada redaksi “wajjahtu wajhiya” saja (tanpa “inni”). Alasannya adalah karena doa iftitah itu ada dalam Al-Qur’an dan Allah mengawalinya dengan lafaz “inni”. Allah berfirman mengajarkan doa,
Dengan demikian, orang yang membaca doa iftitah “inni wajjahtu wajhiya” itu justru mengamalkan Al-Qur’an sekaligus hadis, karena mengombinasi bacaan doa yang diajarkan Allah dengan doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ.
Makna seperti ini pula yang ditegaskan oleh al-Rūyānī saat menegaskan bahwa bacaan “inni wajjahtu wajhiya” lebih utama daripada lafaz doa iftitah yang lain, karena itu lebih sesuai dengan tema dan itu juga mengamalkan lafaz Al-Qur’an. Al-Rūyānī berkata,
Artinya,
“Kami mengatakan bahwa (redaksi doa iftitah) “’ innī wajjahu” adalah (redaksi) yang utama tidak lain karena itu yang paling layak sesuai tema dan ia termasuk lafaz Al-Qur’an.” (Bahru al-Mażhab, juz 2 hlm 21)
Sekarang Anda bisa memahami mengapa kaum muslimin bermazhab al-Syāfi‘ī ada yang membaca “inni wajjahtu wajhiya” bukan “wajjahtu wajhiya” sebagaimana dalam matan hadis sahih.
Sekarang Anda juga bisa lebih memahami, mengapa mazhab al-Syāfi‘ī lebih mengutamakan doa iftitah “inni wajjahtu wajhiya” daripada doa iftitah “allāhumma bā’id bainī wa baina khaṭāyāya” walaupun yang kedua dalam kajian hadis kualitasnya lebih sahih.
17 Juli 2024 / 10 Muharram 1446 pada 09.39