Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Saya tulis catatan ini di tengah-tengah ramainya isu jilbab/kerudung yang sempat dilarang dengan alasan kegiatan seremonial kenegaraan. Agar para orang tua tahu bahwa jilbab itu bagian dari din. Bukan budaya. Supaya mereka juga mengajarkan kepada putri-putri mereka. Agar tahu ini ajaran para ulama dan kyai-kyai kita. Agar putri-putri muslimah kita tidak masuk dalam jeratan paham Islam Liberal, feminisme, penganut islamofobia, dan para pembenci bangsa Arab hingga level zenofobik. Agar tahu, bahwa mempertahankan jilbab adalah bagian dari ketakwaan. Juga menjadi ciri siapa yang berusaha menjadi hamba Allah dan siapa yang menjadi hamba hawa nafsunya sendiri atas nama freedom/kebebasan, independensi, modernitas, kearifan lokal dan semua jargon-jargon menipu lainnya.
Menutup aurat itu bagi wanita muslimah yang sudah balig hukumnya wajib. Termasuk di antaranya adalah memakai jilbab yang menutup seluruh rambutnya, lehernya dan dadanya. Dalil yang menunjukkan di antaranya adalah ayat berikut ini,
Artinya
“Apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami melakukan yang demikian dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kekejian. Pantaskah kamu mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (Q.S. al-A’rāf: 28)
Dalam ayat di atas Allah mencela sebagian perbuatan orang-orang Arab jahiliah yang disebut-Nya sebagai fāḥisyah/perbuatan keji. Mujāhid menerangkan bahwa maksud perbuatan yang dicela di sini adalah ketelanjangan saat bertawaf mengelilingi Kakbah. Sa‘īd bin Manṣūr meriwayatkan1,
Artinya,
“Mereka (masyarakat jahiliah itu) bertawaf mengelilingi Kakbah dalam keadaan telanjang.”
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ketelanjangan adalah perbuatan masyarakat jahiliah, disebut Allah sebagai kekejian dan mustahil Allah memerintahkan hal seperti itu. Secara implisit ayat ini menunjukkan menutup aurat itu hukumnya wajib. al-Syīrāzī berkata2,
Artinya,
“Menutup aurat dari pandangan hukumnya wajib.”
Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali yang biasa tampak dalam kehidupan publik. Allah memerintahkan untuk menutupi semua aurat dan melarang menampakkannya kecuali yang biasa tampak saja. Allah berfirman,
Artinya,
“Janganlah wanita muslimah menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak darinya.” (Q.S. al-Nūr: 31)
Bagian tubuh yang biasa tampak dan boleh diperlihatkan dalam kehidupan publik ini ada perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan itu terbatas hanya muka dan tangan saja (ini pendapat Ibnu Abbās yang diikuti al-Syāfi‘ī). Ada yang berpendapat itu mencakup muka, tangan dan kaki (tapi betis tetap tertutup). Ada yang bahkan berpendapat muka dan tangan tetap aurat sehingga wajib ditutup dan menafsirkan yang biasa tampak adalah pakaian luarnya. Mana pun dari tafsir ini tidak ada satu pun ulama yang memahami bahwa rambut kepala boleh terlihat dengan alasan itu termasuk yang biasa tampak bagi wanita.
Jadi, kewajiban menutup aurat bagi wanita tentu saja mencakup jilbab/kerudung. Dengan kata lain, wajib hukumnya seorang wanita memakai kerudung. Malahan wanita di masa jahiliah itu masih lebih baik daripada wanita yang terfitnah dengan peradaban Barat hari ini. Wanita di masa jahiliah di masa lalu itu SUDAH PAKAI KERUDUNG, tapi masih disalahkan oleh Allah! Di mana salahnya? Salahnya adalah karena mereka memakai kerudung yang menutupi sebagian rambut tapi masih menampakkan leher dan bagian atas dada! Ini menunjukkan kewajiban memakai jilbab itu tidak cukup hanya menutupi rambut saja, tetapi harus sampai level menutupi leher dan dada. Sehingga tertutuplah semua potensi yang membuat mata lelaki menjadi jelalatan dan terpicu fantasinya. Sebab leher wanita dan dada wanita adalah area tubuh yang secara alami memicu syahwat.
Bukankah lelaki merasakan bahwa melihat wanita yang sedang mengikat rambutnya dengan menampakkan lehernya yang jenjang dan indah itu memicu gairahnya? Bukankah lelaki merasakan bahwa model berdandan pramugari yang menaikkan rambutnya ke atas dan memperlihatkan lehernya dengan itu membuat daya tarik seksual mereka lebih besar? Bukankah ada penelitian bahwa bagian tubuh wanita yang paling menggairahkan adalah payudara mereka sehingga banyak wanita berlomba-lomba memontokkan dan memperbesar ukuran payudaranya? Oleh karena itu sungguh dalam sekali hikmah perintah Allah untuk memakai kerudung hingga level menutupi leher dan dadanya. Dengan begitu wanita saat keluar rumah bisa tampil terhormat dan dihormati, dan dipandang lelaki dari aspek kemanusiaannya saja, tidak dipandang dari aspek kewanitaannya yang memicu fantasi lelaki. Allah berfirman,
Artinya,
“Hendaknya para wanita memasang kerudung/jilbabnya hingga menutupi bagian atas dadanya.” (al-Nūr: 31)
Ibnu Katsīr menjelaskan ayat di atas sebagai berikut3,
Artinya,
“Maksud ayat di atas adalah, (hendaklah para muslimah memakai) miqna’ah (kerudung yang ujung kainnya bisa difungsikan sekaligus sebagai cadar) yang dibuat berjuntai kainnya hingga bisa menutupi dada wanita untuk menyembunyikan bagian bawah dari dadanya dan tulang dadanya, supaya membedakan diri dengan budaya wanita jahiliah.”
Dengan demikian, tidak benar jika dikatakan jilbab/kerudung itu budaya. Jilbab adalah bagian dari din, ajaran ulama-ulama kita, pendidikan kyai-kyai kita, semangat menjaga kehormatan yang diajarkan Rasulullah ﷺ, dan cerminan ketakwaan yang membedakan diri dengan wanita jahiliah. Malahan membuka leher dan dada walaupun sudah memakai kerudung atau jilbab itu masih salah. Sebab wanita jahiliah budayanya masih seperti itu. Bayangkan, betapa lebih jahiliahnya jika wanita sudah pun tak menutupi leher dan dada, dia juga tidak pakai kerudung. Apalagi malah betis dan pahanya ditampakkan dengan sengaja agar terlihat seksi. Yang seperti ini justru lebih dekat dengan peringatan Rasulullah ﷺ dalam hadis bahwa wanita-wanita yang berpakaian tapi seperti telanjang adalah termasuk penghuni neraka! Rasulullah ﷺ bersabda4,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah beliau berkata; Rasulullah SAW bersabda; Dua golongan penduduk Neraka yang aku belum pernah melihat mereka; (pertama) kaum yang membawa cambuk-cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia, dan (kedua): wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang manja menggoda dan berlenggak-lenggok. Kepala mereka seperti punuk unta Khurasan yang miring. Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium baunya, padahal baunya tercium dari jarak sekian dan sekian.“
Adapun pendapat Quraish Shihab yang mengatakan bahwa jilbab itu tidak wajib, maka ini adalah pendapat syadz mungkar yang tidak bisa diikuti. Dengan asumsi menghormati keilmuan beliau sekalipun, pendapat seperti ini tidak boleh diikuti karena bertentangan dengan ajaran ulama-ulama besar berbagai mazhab. Tidak mengapa menegaskan kesalahan seperti ini dengan sebutan mungkar. Sebab jika tidak ditegaskan maka para awam akan terfitnah dengannya. Al-Nawawī tidak segan-segan mengkritik pendapat mujtahid mazhab sebagai pendapat yang mungkar jika keterlaluan anehnya dan pertentangannya dengan dalil. Misalnya saat beliau mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa salat witir lebih dari 1 rakaat itu tidak sah hanya dengan satu tasyahud (harus dua tasyahud), termasuk pendapat yang mengatakan witir 3 rakaat itu tidak sah jika tasyahud-nya dua, al-Nawawī menegaskan dua pendapat ini sebagai pendapat yang mungkar. Beliau berkata5,
Artinya,
“Dua ijtihad ini adalah ijtihad yang mungkar.”
Malahan dalam al-Majmū’ saya pernah membaca ada pendapat yang disebut al-Nawawī sebagai kebodohan (jahālah) dan ketololan (gabāwah). Saya tidak ingin menyebut pendapat Quraish Shihab sebagai bentuk kebodohan dan ketololan, tetapi saya tetap harus tegas mengatakan bahwa itu blunder besar beliau dalam fikih yang nampaknya bukan bidang yang beliau dalami.
17 Agustus 2024 / 12 Safar 1446 pada 14.33
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawī, Muḥyiddīn Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Syaraf. Rauḍatu Al-Ṭālibīn Wa ‘Umdatu al-Muftīn. 3rd ed. Vol. 1. 12 vols. Beirut: Al-Maktab al-Islamī, 1991.
Ibnu Katsīr, Abū al-Fidā’ Ismā‘īl bin ‘Umar al-Dimasyqī. Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Edited by Sāmī Muhammad al-Salāmah. 2nd ed. Vol. 6. 8 vols. Beirut: Dār Ṭaibah, 1999.
Jūzajānī, Abū ‘Uṡmān Sa‘īd bin Manṣūr bin Syu‘bah al-Khurāsānī al-. Sunan Sa‘īd Bin Manṣūr. Edited by Ḥabīburraḥmān al-A‘ẓamī. 1st ed. Vol. 5. 5 vols. India: al-Dār al-Salafiyyah, 1982.
Muslim, Abū al-Ḥusain. Ṣaḥīḥ Muslim. Vol. 3. 8 vols. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṣ, n.d.
Syīrāzī, Abū Isḥāq Ibrāhīm bin ‘Alī bin Yūsuf al-. Al-Muhażżab Fī Fiqhi al-Imām al-Syāfi‘ī. Vol. 1. 3 vols. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1955.
Catatan Kaki
- Abū ‘Utsmān Sa‘īd bin Manṣūr bin Syu‘bah al-Khurāsānī al-Jūzajānī, Sunan Sa‘īd Bin Manṣūr, ed. Ḥabīburraḥmān al-A‘ẓamī, 1st ed., vol. 5 (India: al-Dār al-Salafiyyah, 1982), 136.
- Abū Isḥāq Ibrāhīm bin ‘Alī bin Yūsuf al-Syīrāzī, Al-Muhażżab Fī Fiqhi al-Imām al-Syāfi‘ī, vol. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1955), 123.
- Abū al-Fidā’ Ismā‘īl bin ‘Umar al-Dimasyqī Ibnu Katsīr, Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sāmī Muhammad al-Salāmah, 2nd ed., vol. 6 (Beirut: Dār Ṭaibah, 1999), 46.
- Abū al-Ḥusain Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, vol. 3 (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṣ, n.d.), 168.
- Muḥyiddīn Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Syaraf Al-Nawawī, Rauḍatu Al-Ṭālibīn Wa ‘Umdatu al-Muftīn, 3rd ed., vol. 1 (Beirut: Al-Maktab al-Islamī, 1991), 328.