Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Memandang poligami itu memang jangan pakai standar duniawi.
Sebab perdebatannya tidak akan pernah selesai.
Contoh:
Seorang istri jika dipoligami umumnya akan merasa sedih, sakit hati, merasa “dizalimi”, bahkan merasa “dikhianati”. Bahasa tubuhnya seolah-olah ingin mengatakan,
“Jagalah hatiku. Jangan sakiti aku. Jadikan aku istrimu yang paling berharga. Upayakan memastikan ridaku sampai engkau mati.”
Tapi jika istri ditanya,
“Pilih mana, apakah suami mati ataukah dipoligami?”
Secara mengejutkan, mungkin akan banyak yang menjawab, “Mending suami mati saja!”
Artinya apa?
Artinya posisi suami di hati istri sebenarnya juga tidak besar-besar amat.
Baginya, kebahagiaan dirinya lebih penting daripada suaminya.
Bahkan setelah mati dia pun bisa segera memutuskan cari suami baru!
Mencari kebahagiaan baru dengan lelaki lain!
Dengan kata lain, bahasa tubuhnya seolah mengatakan,
“Wahai suami, engkau harus menjadikan diriku sebagai hal paling berharga dalam hatimu. Tapi, makmumilah kalau engkau tidak begitu berharga dalam hatiku.”
***
Oleh karena itu, pertimbangan poligami ataukah tidak yang paling bertakwa memang harus dikembalikan pada din.
Kembalikan pada fikih.
Bukan niat-niat rendah seperti “mempertahankan pujian istri”, “agar tercitra sebagai suami setia”, “rida istri adalah nilai tertinggi” dan semisalnya.
Pertimbangan poligami harus pertimbangan din yang berbasis wahyu.
Artinya, lelaki yang berpoligami harus melakukan analisis ketat terhadap situasinya, supaya tahu apakah status poligami baginya sudah wajib, sunah, mubah, makruh ataukah haram.
Jika dia sangat butuh wanita, sementara istrinya tidak sanggup melayani karena satu dan lain hal, lalu dia khawatir berbuat dosa, kemudian dia juga mampu, kuat leadership-nya, mampu adil dan sudah mengerti fikih poligami, maka saat itu poligami menjadi wajib baginya.
Jika dia butuh istri lagi, karena istri sebelumnya tidak sanggup berkhidmat kepadanya dalam perkara-perkara tertentu yang memang lemah, yang sering memicu pertengkaran, atau ada hajat semisal istrinya sudah tidak bisa hamil lagi, lalu dia juga mampu, kuat leadership-nya, mampu adil dan sudah mengerti fikih poligami, maka saat itu poligami menjadi sunah baginya.
Jika dia tidak ada hajat mendesak, tapi hanya ingin menambah kesenangan, tapi dia juga mampu, kuat leadership-nya, mampu adil dan sudah mengerti fikih poligami, maka saat itu poligami menjadi mubah baginya.
Jika dia tidak ada hajat mendesak, tapi hanya ingin menambah kesenangan, dan dia ragu apakah bisa memimpin istri-istrinya dengan baik, ragu apakah bisa berbuat adil, maka poligami saat itu menjadi makruh.
Jika dia yakin tidak bisa memimpin istri-istrinya dengan baik, misalnya karena kemiskinannya, atau kelemahan leadership-nya, atau karena kejahilannya terhadap fikih poligami, maka yang seperti ini membuat poligami menjadi haram.
Dalam al-Fiqh al-Manhajī disebutkan,
ومعنى الآية: إن خفتم إذا نكحتم اليتيمات أن لا تعدلوا في معاملتهنّ، فقد أُبيح لكم أن تنكحوا غيرهن، مثنى وثلاث ورُباع. ولكن قد يطرأ على التعدّد ما يجعله مندوباً، أو مكروهاً، أو محرماً، وذلك تبعاً لاعتبارات وأحوال تتعلق بالشخص الذي يريد تعدد الزوجات:
أـ فإذا كان الرجل بحاجة لزوجة أخرى: كأن كان لا تعفّه زوجة واحدة، أو كانت زوجته الأولى مريضة، أو عقيماً، وهو يرغب بالولد، وغلب على ظنه أن يقدر على العدل بينهما، كان هذا التعدد مندوباً، لأن فيه مصلحة مشروعة، وقد تزوج كثير من الصحابة رضي الله عنهم بأكثر من زوجة واحدة.
ب ـ إذا كان التعدّد لغير حاجة، وإنما لزيادة التنعّم والترفيه، وشك في قدرته على إقامة العدل بين زوجاته، فإن هذا التعدد يكون مكروهاً، لأنه لغير حاجة، ولأنه ربما لحق بسببه ضرر في الزوجات من عدم قدرته على العدل بينهنّ». «الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي» (4/ 35)
«والنبي – صلى الله عليه وسلم – يقول: ” دْع ما يريبُك إلى ما لا يَريبُك “، أي دع ما تشك فيه إلى ما لا تشك فيه. رواه الترمذي (أبواب صفة القيامة، باب: أعقلها وتوكل، رقم: 2520) عن حسن بن علي رضي الله عنهما.
ج ـ وإذا غلب على ظنه، أو تأكد أنه لا يستطيع إن تزوج أكثر من واحدة أن يعدل بينهنّ: إما لفقره، أو لضعفه، أو لعدم الوثوق من نفسه في الميل والحيف، فإن التعدد عندئذ يكون حراماً، لأن فيه إضراراً بغيره، والنبي – صلى الله عليه وسلم – يقول: ” لا ضرر ولا ضرَارَ “. (ابن ماجه: كتاب الأحكام، باب: من بني في حقه ما يضرّ جاره. موطأ مالك: الأقضية، باب: القضاء في المرفق)». «الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي» (4/ 36)
***
Lalu bagaimana dengan istri yang “sudah pasti tersakiti” dengan poligami?
Din itu memang menguji manusia apakah bisa mengendalikan hawa nafsunya dengan tujuan supaya Allah rida. Bukan hanya suami yang diuji hawa nafsunya, tetapi juga istri. Hawa nafsu istri dalam hal ini adalah kecenderungannya untuk menghalangi suami yang sudah wajib berpoligami atau sunah berpoligami, demi menjaga hatinya supaya “tidak sakit hati”.
Kambing kurban pun jika ditanya apakah mau disembelih oleh manusia, dan dibebaskan menjawab sesuai dengan perasaannya mungkin akan menjawab, “Aku tidak rela disakiti seperti itu. Engkau sungguh kejam padaku sampai tega menggorok leherku dan menyaksikan darahku mengalir sambil melihatku berkelojotan kesakitan”.
Oleh karena itu, standarnya bukan perasaan, tetapi memastikan apakah suami sudah berada di jalan Allah ataukah belum. Sebagaimana penyembelih hewan kurban yang terlihat seperti “kejam” kepada kambing , tetapi pada hakikatnya sedang beribadah karena menjalankan perintah Allah untuk berkurban. Jadi, penyembelih kurban itu hakikat perbuatannya adalah terpuji.
02 September 2024 / 28 Safar 1446 pada 07.13