Oleh: Ust. Muafa
Di dunia nahwu, tokoh yang memiliki pengaruh besar selama berabad-abad hingga hari ini adalah Sibawaih (سِيْبَوَيْهِ ). Beliau mengarang sebuah kitab dalam bidang nahwu yang kemudian terkenal dengan nama Al-Kitab ( الكتاب ), yang menjadi pionir bagi lahirnya ratusan bahkan ribuan kitab nahwu sesudahnya. Demikian orisinil, mendasar, komprehensif dan mendalamnya karya Sibawaih sampai-sampai Al-Mazini mengatakan:
“Barangsiapa ingin mengarang kitab besar dalam bidang nahwu setelah Sibawaih, hendaklah dia merasa malu!”
Karya Sibawaih ini menjadi acuan bagi lahirnya semua kitab nahwu sesudah itu baik yang berupa mukhtashor (ringkasan), syarah (penjelasan luas), nadhom (puisi), maupun hasyiyah (catatan pinggir).
Semenjak zaman As-Sirofi ( السِّيْرَافِيُّ ) yang mengarang syarah untuk karya fenomenal Sibawaih itu, sampai zaman Ali Al-Jarim Bik yang mengarang An-Nahwu Al-Wadhih, semuanya mengikuti “ijtihad” Sibawaih dalam hal sistematika, alur pikir, dan cara penjelasan tata bahasa Arab. Kalau pun ada pakar nahwu yang datang kemudian dan level keilmuannya setara dengan Sibawaih seperti Ibnu Malik (pengarang alfiyyah yang sangat populer itu) dan Ibnu Hisyam Al-Anshori (pengarang Mughni Al-Labib) maka mereka tidak memposisikan diri sebagai “mujtahid muthlaq” dalam nahwu, tetapi hanya menjadi “mujtahid madzhab” saja.
Pengaruh Sibawaih memang luar biasa.
Namun, dari tanah Andalus beberapa abad kemudian lahirlah seorang tokoh yang “anti mainstream” dan berdiri lantang menentang terang-terangan konsepsi Sibawaih yang sudah diterima selama berabad-abad. Ide yang teriakkannyanya adalah semacam “pemberontakan” terhadap teori nahwu yang sudah mapan di zamannya dengan kedua alirannya: Bashroh dan Kufah.
Orang itu bernama Ibnu Madho’ ( ابْنُ مَضَاء ) yang wafat tahun 592 H.
Beliau orang spanyol (Andalus), lahir di Cordova (Qurthubah), tempat kelahiran yang sama dengan mufassir terkenal Imam Al-Qurthubi.
Jabatan resminya adalah Qodhi Qudhot (kepala hakim) dalam Daulah Muwahhidin yang memerintah Al-Maghrib (Maroko) dan Al-Andalus (Spanyol)
Madzhab fikihnya adalah dhohiri yang juga menjadi madzhab resmi Daulah Muwahhidin.
Daulah Muwahhidin yang mengambil madzhab dhohiri secara resmi sebagai madzhab negara menyerukan untuk membuang taqlid dan bertumpu hanya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagai akibat kebijakan ini, sebagian kitab-kitab fikih madzhab sampai level dibakar. Seruannya adalah anti madzhab. Semangat ini rupanya juga merembet dalam bidang bahasa untuk membuat pemberontakan dalam bidang ilmu nahwu yang sudah mapan dan matang waktu itu.
Entah kenapa, ada juga semacam kesan “sentimen” terhadap produk pemikiran dari timur. Sehingga setiap produk pemikiran dari timur seakan-akan perlu dibuatkan “antitesanya” yang khas produk barat (tempat tinggal Ibnu Madho’ kala itu).
Inti ide utama Ibnu Madho’ adalah melakukan taisiru ilmi an-nahwi ( تيسير علم النحو ) yakni mempermudah ilmu nahwu.
Hal utama yang dikritik Ibnu Madho’ adalah teori amil ( العامل ) dalam pembahasan tata bahasa Arab. Menurut Ibnu Madho’, teori amil hanya malah membuat pembahasan nahwu menjadi semakin ruwet, kompleks, membingungkan, membuang waktu dan tidak sederhana. Teori amil akan memaksa membuat banyak taqdirot (perkiraan-perkiraan), ta’wilat (interpretasi-interpretasi), ta’lilat (reasoning-reasoning), dan aqyisah (analogi-analogi) yang menguras pikiran dan pembahasan-pembahasan yang tidak perlu.
Untuk memahami jalan pikiran Ibnu Madho’, mari mengamati contoh kalimat berikut ini:
Zaid memukul ‘Amr
Dalam teori nahwu yang digagas oleh Sibawaih dan terpakai sampai hari ini, dikatakan bahwa lafaz Zaid dimarfu’kan/dirofa’kan dengan tanda i’rob dhommatain pada huruf terakhir kata Zaid sementara lafaz ‘Amr dimanshubkan/dinashobkan dengan tanda i’rob fathatain pada huruf terakhir kata ‘Amr. Mengapa Zaid dimarfu’kan/dirofa’kan dan mengapa Amr dimanshubkan/dinashobkan? Sibawaih menjelaskan bahwa yang menyebabkan itu adalah kata lain di luar kata Zaid dan ‘Amr. Dalam konteks kalimat di atas, kata lain yang memberikan pengaruh adalah kata dhoroba (memukul). Jadi kata dhoroba lah yang merofa’kan kata Zaid yang berposisi sebagai fa’il (pelaku) dan menashobkan ‘Amr yang berposisi sebagai maf’ul bih (obyek penderita). Kata yang memiliki pengaruh terhadap kata lain ini lah yang disebut dengan istilah ‘amil ( العامل ). Jadi jika disebut istilah “teori amil’ maka yang dimaksud adalah sebuah gagasan yang memahami bahwa dalam tata bahasa Arab ada kata yang memiliki pengaruh pada kata lain dari sisi i’robnya (harokat huruf terakhirnya).
Nah, Ibnu Madho’ mengkritik gagasan ini.
Dalam pandangan Ibnu Madho’, yang membuat sebuah kata dirofa’kan, dinashobkan, dijarrkan dan dijazmkan adalah mutakallim (penutur) itu sendiri, bukan kata yang diucapkan. Sebuah penjelasan yang berbau filsafat sebenarnya, tapi tidak bisa diingkari bahwa tata bahasa Arab memang tidak bisa lepas dari pengaruh silogisme dalam filsafat.
Ibnu Madho’ memberikan contoh bagaimana teori ‘amil akan melahirkan konsepsi lain yang malah membuat ruwet pembahasan nahwu, seperti konsepsi taqdirot (perkiraan-perkiraan). Ambil contoh misalnya ayat berikut ini:
“jika langit telah terbelah”
Hukum nahwu yang telah diketahui adalah sesudah lafaz idza syarthiyyah harus berupa jumlah fi’liyyah. Namun pada ayat di atas, sesudah idza ternyata berupa jumlah ismiyyah. Lalu apa amil yang merofa’kan lafaz السَّمَاءُ? Jika dijawab: Amil yang merofa’kan adalah lafaz انْشَقَّتْ , maka jawaban ini tidak bisa diterima, karena sudah menjadi aturan baku bahwa fi’il (kata kerja) yang merofa’kan fa’il (pelaku) harus berada sebelum fa’il. Dalam ayat di atas, lafaz insyaqqot berada sesudah lafaz as-sama’, karena itu tidak bisa lafaz insyaqqot dipahami menjadi amil yang merofa’kan lafaz As-Sama’. Dari titik ini akhirnya para pakar nahwu membuat taqdirot (perkiraan), sehingga ayat di atas dipahami perkiraannya berbunyi:
Setelah ada taqdirot ini, baru bisa dikatakan bahwa amil yang merofa’kan lafaz as-sama’ adalah lafaz insyaqqot yang ada secara taqdiri (perkiraan).
Teori taqdirot inilah yang dituding Ibnu Madho’ malah membuat ruwet pembahasan nahwu.
Menurut Ibnu Madho’, tidak perlu ada amil. Semua i’rob bukan dipengaruhi oleh amil tetapi dari mutakallim (penutur) itu sendiri. Jadi , fa’il dimarfu’kan cukup dipahami karena dia sebagai pelaku. Maf’ul bih dimanshubkan cukup dipahami karena dia sebagai obyek penderita.
Gagasan menolak teori amil ini sebenarnya benih-benihnya sudah ada semenjak abad ke empat hijriyyah, melalui seorang tokoh nahwu yang bernama Ibnu Jinnni (wafat tahun 392 H) dalam kitabnya; Al-Khosho-ish ( الخصائص ).
Untuk merealisasikan gagasanya yang menyerang konsepsi Sibawaih dan pendukungnya, Ibnu Madho’ mengarang tiga buah kitab yaitu:
• Al-Musyriq Fi An-Nahwi ( المشرق في النحو )/Pencerah dalam ilmu nahwu
• Tanzihu Al-Qur’an ‘Amma La Yaliqu bi Al-bayan ( تنزيه القرآن عما لا يليق بالبيان )/ membersihkan Al-Qur’an dari penjelasan yang tidak pantas baginya
• Ar-Rodd ‘Ala An-Nuhat ( الرد على النحاة )/bantahan terhadap pakar-pakar nahwu
Dua kitab yang pertama sudah hilang, dan hanya kitab yang terakhir yang sampai ke zaman kita sekarang ini.
Hanya saja, gagasan Ibnu Madho’ ini tidak ada pakar-pakar nahwu ulung yang serius menanggapinya. Barangkali Ibnu Madho’ tidak dianggap pakar nahwu (mengingat spesialisasinya memang bukan di bahasa Arab), sehingga pendapat berbeda darinya tidak diperhitungkan. Kasus yang sama terjadi pada pendapat Abu Ja’far bin Shobir Al-Qoisi yang menggagas kategori keempat dalam kelas kata bahasa Arab (selain isim, fi’il dan harf) yang diistilahkan dengan nama kholifah ( الخالفة ).
Sejarah hanya mencatat karya Ibnu Khoruf yang membantah Ibnu Madho’ dalam kitab berjudul تنزيه أئمة النحو عما نسب إليهم من الخطأ و السهو (membersihkan ulama nahwu dari penisbatan kepada mereka, yakni nisbat kesalahn dan kealpaan).
Problem utama gagasan Ibnu Madho’ adalah bahwa beliau hanya meruntuhkan, tetapi tidak membangun ( هدم ولم يبن ). Kritikan Ibnu Madho’ baru pada level epistemologisnya. Beliau belum sampai membuat karya “tandingan” yang selevel kualitasnya dengan karya Sibawaih; Al-Kitab. Pemerhati yang setuju dengan Ibnu Madho’ di zaman sekarang seperti Syauqi Dhoif, Mazin Mubarok, Ibrohim Musthofa, Abdurrahman Ayyub, Tamam Hassan, Sa’id Al-Afghoni dll juga belum menghasilkan karya yang selevel dengan karya-karya ulama yang setuju dengan konsepsi pengikut Sibawaih. Akhirnya, ide Ibnu Madho’ ini menjadi hilang ditelan angin dan hanya menjadi sejarah. Dalam ungkapan Ahmad Amin ide Ibnu Madho’ ini; dzahabat adrojar riyaah (hilang bersama angin). “Ijtihad” tata bahasa Sibawaih tetap kokoh, belum tergoyahkan sampai zaman sekarang.