Oleh: Ust. Muafa
Dhomir sya’ni disebut juga dhomir hadits (ضَمِيْرُ الْحَدِيْثِ), dhomir qisshoh (ضَمِيْرُ الْقِصَّةِ), dhomir Amr (ضَمِيْرُ اْلأَمْرِ), dhomir majhul (ضَمِيْرُ الْمَجْهُوْلِ), atau majhul (الْمَجْهُوْلُ) saja. Ulama-ulama Bashroh memilih istilah dhomir sya’ni, sementara ulama-ulama Kufah memilih istilah dhomir majhul. Sebagian dari mereka menggunakan istilah dhomir sya’ni dalam kondisi ungkapan mudzakkar, dan istilah dhomir qisshoh dalam kondisi ungkapan muannats.
Definisi dhomir sya’ni adalah;
“Dhomir di awal kalimat yang tidak merujuk pada lafaz tertentu dan kesamarannya diperjelas oleh kalimat sesudahnya”
Dhomir sya’ni boleh diterjemahkan : urusannya, perkaranya, masalahnya, kisahnya, ceritanya, kondisinya, kasusnya :…dan makna-mana yang semisal. contoh;
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; Allah adalah Esa.
هُوَ pada kalimat di atas adalah dhomir sya’ni, karena berada di awal kalimat, tidak merujuk pada lafaz tertentu dan kesamarannya diperjelas kalimat sesudahnya yaitu ungkapan; اللهُ أحدٌ (Allah adalah Esa). Karena itu dhomir هُوَ pada kalimat di atas diterjemahkan: Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya . Contoh lain;
Sesungguhnya urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; bukan penglihatan yang buta (tapi mata hatilah yang buta).
Dhomir “haa” pada kata فإنها pada kalimat di atas adalah dhomir sya’ni, karena berada di awal kalimat, tidak merujuk pada lafaz tertentu dan kesamarannya diperjelas kalimat sesudahnya yaitu ungkapan; لا تعمى الأبصار (bukan penglihatan yang buta). Karena itu dhomir pada kata فإنها pada kalimat di atas diterjemahkan urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya.
Dalam rangka mendekatkan pemahaman, jika dhomir sya’ni memakai lafaz هُوَ , dhomir ini boleh diperkirakan merujuk pada lafaz الشأن (urusan), الأمر (perkara), atau الحال (keadaan/kondisi). Jika dhomir sya’ni yang dipakai adalah هي, maka dhomir ini boleh diperkirakan merujuk pada lafaz القصة (kisah/cerita) atau المسألة (masalah). Ar-Rodhy Al-Astarobadzy dalam kitabnya; Syarah Ar-Rodhy mengusulkan perkiraan pertanyaan untuk memahami dhomir sya’ni. Jika dalam sebuah kalimat ada dhomir sya’ni, maka seolah-olah di sana ada pertanyaan:
Apa urusannya?
Kemudian dijawab; هُوَ اللهُ أحدٌ (Urusannya; Allah adalah Esa) misalnya.
Dinamakan dhomir sya’ni karena dhomir ini dimunculkan untuk menjelaskan urusan tertentu. Makna الشَّأْنِ adalah urusan. Disebut juga dhomir hadits (ضَمِيْرُ الحديث) karena dhomir ini dimunculkan untuk menjelaskan pembicaraan/cerita tertentu. Makna الحديث adalah pembicaraan. Nama lainnya adalah dhomir qisshoh (ضَمِيْرُ القصة) karena dhomir ini dimunculkan untuk menjelaskan kisah/peristiwa tertentu. Makna القصة adalah kisah/peristiwa. Istilah lain menyebutnya dhomir amr (ضَمِيْرُ الأمر) karena dhomir ini dimunculkan untuk menjelaskan perkara tertentu. Makna الأمر adalah perkara. Ulama-ulama Kufah menyebutnya dhomir majhul (ضَمِيْرُ المجهول), atau majhul (المجهول) saja karena tidak ada kata tertentu yang menjadi sasaran rujukan dhomir tersebut. Makna المجهول adalah yang tidak diketahui.
Tujuan dimunculkannya dhomir sya’ni adalah untuk kepentingan tafkhim (التفخيم)/menunjukkan pentingnya dan ta’dhim (التعظيم)/isti’dhom (الاستعظام)/menunjukkan agungnya informasi yang disajikan sesudah dhomir sya’ni. Maksudnya, orang yang memunculkan dhomir sya’ni ingin mengungkapkan bahwa kandungan makna kalimat yang hendak diungkapkan (baik dengan redaksi jumlah ismiyyah maupun jumlah fi’liyyah) itu punya makna penting, yang mengharuskan telinga menyimak sungguh-sungguh dan jiwa mmperhatikan dengan serius. Jadi ungkapan;
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; Allah adalah Esa.
pemunculan dhomir sya’ni pada ungkapan di atas adalah ingin mengungkapkan bahwa kandungan makna kalimat اللهُ أحدٌ “Allah adalah Esa” itu punya makna penting, informasi agung, yang mengharuskan telinga menyimak sungguh-sungguh dan jiwa mmperhatikan dengan serius. Hal ini bisa difahami , karena dhomir sya’ni itu sifatnya mubham (samar), dan segala sesuatu yang sifatnya mubham, yang tidak merujuk ke mana-mana itu umumnya membuat penasaran dan memacu rasa keingintahuan. Karena itu, menjadi kurang tepat jika dhomir sya’ni dimunculkan dalam konteks pemberian informasi yang remeh, misalnya;
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; lalat itu terbang.
Dhomir sya’ni termasuk isim dan memiliki posisi i’rob sesuai dengan amilnya. Hanya saja dhomir sya’ni tidak pernah berposisi majrur. Ibnu At-Thorowah menggolongkan dhomir sya’ni sebagai harf dengan alasan dhomir sya’ni membuat harf إِنَّ menjadi tidak memiliki efek i’rob sebagaimana harf ” ماَ ” yang membuat ” كَيْفَ ” atau harf Jarr ” كـ ” menjadi tidak punya efek i’rob. Abu Hayyan cenderung setuju dengan Ibnu At-Thorowah.
Adapun syarat penggunaannya, maka ada lima ketentuan yang harus ditaati yaitu;
Pertama; Harus berupa mufrod ghoib.
Dhomir sya’ni harus berupa mufrod ghoib, maksudnya dhomir yang dipakai tidak boleh bentuk mutsanna seperti أنتما dan هما , sebagaimana tidak boleh bentuk jamak seperti هم dan هن. Dhomir sya’ni juga tidak boleh berupa mutakallim (penutur) seperti أنا dan نحن atau mukhothob (obyek bicara) seperti seperti أنتَ dan أنتِ. Dhomir sya’ni harus berupa mufrod ghoib, yakni dhomir هو dan هي. Tegasnya, dhomir sya’ni hanya bisa memakai dua macam dhomir ini, karena hanya dua macam dhomir ini yang memenuhi syarat mufrod ghoib. Contoh;
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; Allah adalah Esa.
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; wanita adalah kehormatan.
Dari segi penampilan fisik, bentuk mufrod ghoib itu bisa dalam keadaan mustatir/mustakinn/ مستتر/ مستكن (tersembunyi) maupun bariz/ بارز (tampak) tanpa membedakan apakah bariznya munfashil (terpisah dengan kata lain) ataukah muttashil (bersambung dengan kata lain).
Contoh dhomir sya’ni yang mustatir ada pada kalimat berikut;
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; Ali adalah adil.
Lafadz كان sebenarnya mengandung dhomir yaitu هو namun dhomir ini tersembunyi sehingga dinamakan mustatir. Dhomir هو yang tersembunyi pada lafaz كان adalah dhomir sya’ni, sehingga dikatakan dalam kalimat ini dhomir sya’ninya penampilan fisiknya mustatir (tersembunyi). Kaidahnya: Jika dhomir sya’ni bertemu dengan kata كان dan saudara-saudaranya seperti أمسى , أصبح , أضحى termasuk af’al muqorobah (كاد dkk), maka dhomir sya’ni harus disembunyikan (mustatir).
Contoh untuk bariz munfashil bisa dilihat pada contoh berikut;
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; Allah adalah Esa.
Kata هُوَ adalah dhomir sya’ni. Kata ini dikatakan bariz karena tampak/tidak tersembunyi, dan dikatakan munfashil karena tidak bersambung dengan kata lain.
Contoh untuk bariz muttashil bisa dilihat pada contoh berikut;
Saya menduga Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya: teman adalah bermanfaat
Kata ظننته berasal dari kata ظننت (saya menduga) dan هو . هو disini adalah dhomir sya’ni. Karena dia tampak, yakni lafaz “hu” pada kata ظننته maka dia dikatakan bariz. Kondisinya yang bersambung dengan kata lain yaitu kata ظننت membuatnya disebut muttashil. Jadi, dhomir sya’ni pada kalimat ini penampilan fisiknya dikatakan bariz muttashil. Kadiahnya; Jika dhomir sya’ni bersambung dengan nawashikh nashob (kata-kata yang punya fungsi menashobkan kata lain) seperti إنَّ, أن, لكن, ظن, حسب, dan lain lain maka harus berbentuk bariz muttashil.
Sampai di sini bisa dikatakan bahwa dhomir sya’ni dari segi penampilan fisik, bentuknya tergantung amil (unsur yang mempengaruhi)nya.
Pemilihan dhomir sya’ni mudzakkar ataukah muannats didasarkan pada redaksi info yang diberikan sesudah dhomir sya’ni. Jika kalimatnya bersifat muannats, maka dhomir sya’ninya memakai muannats, dan jika kalimatnya bersifat mudzakkar, maka dhomir sya’ni memakai mudzakkar. Contoh;
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; Allah adalah Esa.
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; wanita adalah kehormatan.
Kalimat pertama dhomir sya’ni yang dipakai adalah bentuk mudzakkar karena kalimat sesudahnya bersifat mudzakkar. Dikatakan kalimat sesudahnya bersifat mudzakkar, karena inti kalimat (subyeknya) yaitu اللهُ adalah lafadz mudzakkar. Kalimat kedua dhomir sya’ni yang dipakai adalah bentuk muannats karena kalimat sesudahnya bersifat muannats. Dikatakan kalimat sesudahnya bersifat muannats, karena inti kalimat (subyeknya) yaitu المرأة adalah lafadz muannats.
Kedua; Amil Yang Bekerja Padanya Hanya Ibtida’ atau nawasikhnya
Maksud syarat yang kedua ini adalah dhomir sya’ni harus selalu berposisi sebagai mubtada’ dan kalimat sesudahnya berposisi sebagai khobar. Apapun kalimatnya dan bagaimanapun konteksnya, dhomir sya’ni tidak pernah berposisi selain mubtada’. Dhomir sya’ni boleh dimasuki nawasikh mubtada’ apapun seperti كان dkk, إن dkk, dan ظن dkk, namun posisi orsinilnya tetap sebagai mubtada’. Jika ada dhomir yang diduga sebagai dhomir sya’ni, namun ternyata posisi i’robnya bukan sebagai mubtada’ atau yang asalnya mubtada’, maka bisa dipastikan bahwa dhomir tersebut bukanlah dhomir sya’ni.
Ketiga; Tidak boleh diikuti tabi’ (التابع)
Dhomir sya’ni tidak boleh diikuti tabi’, maksudnya tidak boleh diikuti kata-kata yang i’robnya mengikuti kata yang lain seperti athof, ta’kid, badal, dan na’at. Dhomir sya’ni tidak boleh diikuti athof, ta’kid, badal apalagi na’at karena tidak pernah ada dhomir yang diberi na’at. Dhomir sya’ni adalah kata mubham (samar). isim nakiroh saja tidak boleh diberi ta’kid, apalagi dhomir sya’ni yang lebih mubham dari isim nakiroh.
Ibnu Hisyam Al-Anshory mengkritik Az-Zamakhsyary yang memahami dhomir pada ayat di bawah ini sebagai dhomir sya’ni;
Menurut Ibnu Hisyam, dhomir “hu” pada kata إِنَّهُ bukanlah dhomir sya’ni, karena hukum asal dhomir harus difahami dhomir sejati selama masih mungkin difahami demikian. Apalagi ada qiroat yang membaca lafadz وَقَبِيلُهُ dengan nashob. Jika lafadz tersebut dinashobkan, maka bisa dipastikan dhomir “hu” pada kata إِنَّهُ bukanlah dhomir sya’ni karena syarat dhomir sya’ni adalah tidak boleh diathofkan, sementara dalam qiroat tersebut diathofkan.
Keempat; Sesudah dhomir sya’ni harus berupa jumlah
Informasi yang disajikan sesudah dhomir sya’ni harus berupa jumlah (kalimat), tidak boleh hanya mufrod (satu kata) atau tarkib. Dengan kata lain dhomir sya’ni harus selalu terletak sebelum/di depan jumlah, tidak boleh sesudahnya. jumlahnyapun harus berupa jumlah khobariyyah (bersifat informatif) tidak boleh insya-yyah (non informatif) atau tholabiyyah (bersifat tuntutan). Jumlah tersebut juga harus dimunculkan dengan lengkap dua unsurnya (musnad dan musnad ilaihnya) tidak boleh hanya salah satu. Contoh-contoh penggunaan yang salah;
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; raja-raja adalah….
Contoh ini salah karena informasi sesudah dhomir sya’ni tidak berupa jumlah (kalimat) sempurna.
Allah adalah Esa,Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya
Contoh ini salah karena dhomir sya’ni diletakkan sesudah jumlah.
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; Siapa Anda?
Contoh ini salah karena informasi sesudah dhomir sya’ni bukan berupa jumlah (kalimat) khobariyyah, tapi jumlah insya-yyah karena kalimat yang berisi pertanyaan, bukan informatif.
Urusannya/perkaranya/masalahnya/kisahnya/ceritanya/kondisix/kasusnya ; jangana membaca!
Contoh ini salah karena informasi sesudah dhomir sya’ni bukan berupa jumlah (kalimat) khobariyyah, tapi jumlah tholabiyyah karena kalimatnya berisi tuntutan, bukan kalimat informatif.
Kelima; Tidak merujuk ke lafaz apapun
Dhomir sya’ni tidak boleh merujuk ke kata apapun baik sebelumnya ataupun sesudahnya. Dhomir sya’ni hanya bisa diterangkan bahwa maksudnya dijelaskan oleh kalimat sesudahnya sehingga makna mubham yang ada pada dhomir sya’ni kembali pada makna kalimat yang diungkapkan sesudahnya. Jika ada lafaz tertentu sebelum dhomir maupun sesudahnya yang merujuk pada dhomir tersebut, maka bisa dipastikan dhomir tersebut bukanlah dhomir sya’ni.
Inilah lima syarat yang harus dipatuhi dalam menggunakan dhomir sya’ni.
Ketentuan lain terkait dhomir sya’ni adalah bolehnya dhomir sya’ni dibuang meskipun ini jarang. Menurut Ar-Rodhy Al-Astarobadzy, dhomir sya’ni ketika bertemu dengan إنَّ boleh dibuang, misalnya dalam hadis;
Sesungguhnya perkaranya: Para pelukis adalah diantara yang paling keras siksanya pada hari kiamat.
Perkiraan kalimat ini adalah;
Sesungguhnya perkaranya: Para pelukis adalah diantara yang paling keras siksanya pada hari kiamat.
Namun ada yang berpendapat pembuangan dhomir sya’ni yang melekat pada إنَّ adalah dhoif.
Yang telah disepakati, dhomir sya’ni boleh dibuang jika melekat pada أنَّ Mukhoffafah (أنْ), misalnya pada ayat berikut;
Lafaz أَنِ dalam ayat di atas, asalnya adallah أَنَّ. Lafadz itu ditakhfif (diringankan) sehingga menjadi (أنْ) . Lafaz ini mengandung dhomir sya’ni, perkiraannya adalah أَنَّه.jadi, dalam kalimat lengkap ayat tersebut perkiraannya adalah;
Akhir dari doa mereka adalah (urusannya ucapan) Alhamdulillahirobbil ‘alamin
4 Comments
Abu said
Dhomir sya’ni termasuk isim dan memiliki posisi i’rob sesuai dengan amilnya. Hanya saja dhomir sya’ni tidak pernah berposisi majrur. Ibnu At-Thorowah menggolongkan dhomir sya’ni sebagai harf dengan alasan dhomir sya’ni membuat harf إِنَّ menjadi tidak memiliki efek i’rob sebagaimana harf ” ماَ ” yang membuat ” كَيْفَ ” atau harf Jarr ” كـ ” menjadi tidak punya efek i’rob. Abu Hayyan cenderung setuju dengan Abu At-Thorowah.
Dari kalimat di atas
Artinya kata ataw jumlah yang jatuh setelah dhomir sya’ni tidak lg dipengaruhi amil nawasikh yang jatuh sebelum dhomir sya’ni ya ustadz?
Admin
Masih dipengaruhi, tapi secara mahall. I’robnya kita bilang manshub mahallan. Wallahua’lam (Muafa)
muslimhasby1@gmail.com
Kira kira itu keterangan nya mengambil di mana ngge
Admin
tentu kitab-kitab bahasa, misalnya mughni al-labib karya ibnu hisyam