Oleh Ustadz Muafa
Melafalkan niat untuk melakukan ibadah hukumnya mubah bukan haram, wajib atau sunnah/mandub/mustahabb. Kemubahan ini tidak membedakan apakah ibadah tersebut ibadah Mahdhoh seperti shalat, puasa Wudhu, Mandi Junub, Tayamum, Zakat, Haji, Umroh, berkurban, Kaffaroh, I’tikaf dll ataukah Ghoiru Mahdhoh seperti berbakti kepada orangtua, shilaturrahim, membesuk orang sakit dll, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut manfaatnya juga dirasakan hamba yang lain seperti menghajikan orang lain ataukah tidak, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut dilakukan langsung setelah pelafalan ataukah ada jarak waktu. Semuanya mubah selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan syara’, baik untuk kepentingan mengajari, menguatkan niat, menghilangkan was-was, menegaskan maksud, dan semua kepentingan yang syar’i. Namun kemubahan ini adalah mubah dari segi pelafalan itu sendiri, bukan menjadi syarat sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Jika niat dilafalkan, hendaknya tidak dilakukan terus menerus, dan mengucapkannya juga harus pelan jika dimungkinkan mengganggu ibadah orang lain. Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah, syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi kemubahannya.
Niat adalah القَصْدُ (hal menyengaja/penyengajaan) yaitu;
tekad hati untuk melakukan sesuatu
Niat adalah jenis dari اْلإِرَادَةُ (kehendak), namun bukan kehendak biasa, karena kehendak yang dimaksud adalah kehendak yang kuat (اْلعَزْمُ) yang diistilahkan dengan azam/kehendak yang kuat. Kehendak yang kuat tersebut diarahkan untuk melakukan perbuatan tertentu yang terkait dengan Mukallaf, bukan terkait dengan perbuatan orang lain. Karena itulah niat dideskripsikan sebagai; عَزْمُ الْقَلْبِ عَلى فِعْلِ الشَّيْءِ (tekad hati untuk melakukan sesuatu).
Jika seorang mukallaf telah menyengaja suatu perbuatan yaitu bertekad kuat untuk melakukan suatu perbuatan, maka dia dikatakan telah berniat yang shahih meskipun tanpa mengucapkan niat. Berpuasa misalnya, jika orang yang hendak berpuasa telah menyengaja untuk berpuasa yaitu bertekad kuat untuk melakukan perbuatan puasa, maka pada saat itu dia telah merealisasikan niat yang shahih, dan niatnya sah meskipun tidak mengucapkan dalam hati dengan lisan.
Niat tersebut, ketika didorong oleh mafhum bahwa puasa adalah perintah Allah semata-mata untuk meraih ridhanya, maka niat tersebut sudah ikhlas karena Allah meskipun dia tidak menggumamkan/mengucapkan dalam hati “Lillahi Ta’ala” (karena Allah Ta’ala).
Hanya saja, hal ini tidak bermakna bahwa mengucapkan dengan lisan diharamkan. Menggumamkan dalam hati maupun mengucapkan dengan lisan hukumnya mubah dengan makna; Boleh dilakukan tanpa ada keutamaan, yakni jika dilakukan tidak ada janji pahala, dan jika ditinggalkan juga tdk ada ancaman siksa. Dalil yang menunjukkan mubahnya melafalkan niat adalah argumentasi-argumentasi berikut ini;
Pertama;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Pada Saat Haji
Riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat pada saat haji adalah hadis berikut;
عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ وَعَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ وَحُمَيْدٍ أَنَّهُمْ سَمِعُوا أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهَلَّ بِهِمَا جَمِيعًا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
dari Yahya bin Abu Ishaq dan Abdul Aziz bin Shuhaib dan Humaid bahwa mereka mendengar Anas radliallahu ‘anhu berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ihram untuk haji dan umrah sekaligus: “LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji. Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji).” (H.R.Muslim)
Abu Al-Baqo’ Al-Ukbary menjelaskan hadis di atas dalam kitabnya I’robu Ma Yusy-kilu Min Al-Fadzi Al-Hadits An-Nabawy sebagai berikut;
النصب بفعل محذوف تقديره أريد عمرة أو نويت عمرة
I’rob Nashob pada lafadz ‘Umroh dan Hajj adalah disebabkan Fi’il (kata kerja) yang dibuang. Perkiraan struktur kalimatnya adalah : Uriidu ‘Umrotan atau Nawaitu ‘Umrotan –aku ingin berumroh atau aku berniat umroh- (I’robu Ma Yusy-kil Min Al-Fadzi Al-Hadits An-Nabawy, hlm 11)
Berdasarkan penjelasan di atas bisa difahami bahwa sabda Nabi yang berbunyi;
Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji. Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji
Ucapan tersebut bermakna bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertalbiyah dengan berniat untuk berumroh dan berniat untuk berhaji. Artinya, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah melafalkan niatnya untuk berhaji, sehingga hadis ini menjadi dalil tidak terlarangnya melafalkan niat dalam ibadah seperti haji dan umroh. Jika melafalkan niat hukumnya haram, maka tidak mungkin nabi melakukannya, meski hanya sekali dalam hidupnya, karena seluruh nabi terjaga dari dosa (ma’shum). Menghukumi pelafalan niat dengan hukum haram bisa berakibat menisbatkan dosa kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang telah melafalkan niat haji dalam hadis ini dan itu tidak boleh.
Ibnu ‘Allan Ash-Siddiqy dalam kitabnya Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah ‘Ala Al-Adzkar An-Nawawiyyah malah menyimpulkan lebih jauh berdasarkan hadis ini, yakni melafalkan niat hukumnya sunnah, dengan argumentasi bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mungkin melakukan sesuatu kecuali yang paling sempurna dan paling utama untuk diteladani umatnya. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencontohkan pelafalan niat, maka hal ini difahami bahwa melafalkan niat hukumnya sunnah dalam ibadah haji termasuk ibadah-ibadah yang lain. Beliau berkata;
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب، ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات،
Ya, melafalkan niat disunnahkan, agar lisan membantu hati. Karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengucapkan niat pada saat haji, dan kita menqiyaskannya pada ibadah-ibadah sisanya (Ibnu ‘Allan Ash-Siddiqy dalam Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah ‘Ala Al-Adzkar An-Nawawiyyah)
Imam As-Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh An-Nawawy dalam Al-Majmu’ juga bisa difahami termasuk ulama yang tidak mempermasalahkan pelafalan niat berdasarkan hadis ini. An-Nawawy berkata;
الشافعي رحمه الله قال في الحج إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ وان لم يتلفظ وليس كالصلاة لا تصح الا بالنطق
As-Syafi’i rahimahullah berkata dalam perkara haji: “Jika ia (orang yang hendak berhaji) berniat untuk haji atau umrah, maka hal itu sudah cukup meskipun tidak melafadzkan niat, berbeda dengan sholat yang tidak sah kecuali dengan pelafalan -Takbirotul Ihrom-. (Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzdzab, vol. 3 hlm 277)
Statemen yang berbunyi:
jika ia (orang yang hendak berhaji) berniat untuk haji atau umrah, maka hal itu sudah sah/ cukup meskipun tidak melafadzkan niat,
statemen tersebut mafhumnya bermakna: melafalkan niat tidak masalah, atau bahkan lebih baik, sebagaimana ucapan: “Wudhu anda sah meskipun tidak berkumur-kumur” atau “shalat anda sah meskipun tidak memakai kopyah” yang bermakna; berkumur-kumur dan memakai kopyah tidak mengapa dilakukan atau justru lebih baik.
Yang jelas, statemen As-Syafi’i yang dikutip an-Nawawy tersebut bisa ditegaskan beliau tidak menjadikan pelafalan niat sebagai syarat sah niat dalam niat Haji atau Umroh. Maksimal, yang bisa difahami dari statemen tersebut adalah beliau menjadikan pelafalan niat sebagai hal yang baik atau mubah sebagai penguat niat maupun kepentingan-kepentingan syar’i lainnya.
Tidak bisa dikatakan bahwa ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bukan pelafalan niat tetapi hanya lafadz yang semakna dengan takbirotul ihrom. Tidak bisa dikatakan demikian karena ucapan talbiyah haji/umroh jelas menunjukkan pelafalan niat sebagaimana keterangan Al-‘Ukbary, yakni apakah niat haji ataukan umroh ataukah haji yang dibarengkan dengan umroh. Takbirotul ihrom tidak bermakna niat, karena tidak membedakan apakah untuk melakukan shalat wajib ataukah sunnah, juga tidak membedakan antara dhuhur, ashar, maghrib, isya, ataukah subuh. Pelafalan niat haji/umroh tidak mempengaruhi keabsahan ibadah sementara pelafalan takbirotul ihrom mempengaruhi keabsahan. Jadi dua hal ini tidak bisa disamakan.
Memahami bahwa ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di atas bukan pelafalan niat, tetapi hanya salah satu nusuk (tatacara ibadah) diantara nusuk-nusuk haji atau sekedar I’lan (pengumuman) talbiyah, pemahaman ini tertolak, karena faqih besar seperti asy-syafi’i memasukkan pembahasan tersebut ke dalam pembahasan niat dan pelafalannya. Hal ini menunjukkan ahli fikih besar yang sudah diketahui kredibilitasnya dalam bahasa arab dan ushul fikih telah memahami bahwa ucapan nabi tersebut ekspresi niat yang berupa pelafalan, bukan sekedar nusuk atau I’lan. An-Nawawi dan ulama’-ulama madzhab Syafi’I sangat tegas memahami bahwa ucapan nabi tersebut adalah dalil sunnahnya pelafalan niat. Reputasi keilmuan ulama yang memahami bahwa ucapan Nabi dalam hadis tersebut bermakna pelafalan niat, lebih tinggi, lebih kredibel dan lebih terpercaya. Tambahan lagi, orang yang berniat bersamaan dengan talbiyahnya maka haji atau umrohnya sah, jadi tidak menjadi keharusan berniat dilakukan di negeri asal. An-Nawawy berkata;
قال أصحابنا ينبغي لمريد الاحرام أن ينويه بقلبه ويتلفظ بذلك بلسانه
ويلبى فيقول بقلبه ولسانه نويت الحج وأحرمت به لله تعالى لبيك اللهم لبيك إلى آخر التلبية فهذا أكمل ما ينبغى له
Ulama-ulama yang semadzhab dengan kami mengatakan; orang yang hendak berihrom seyogyanya meniatkan berniat dengan hati dan melafalkan niatnya itu dengan lisannya dan bertalbiyah. Dia mengucapkan dengan hati dan lisannya: nawaitu Al-Hajja wa ahromtu bihi lillahi ta’ala. Labbaik Allahumma labbaik dst sampai akhir talbiyah. Ini adalah yang paling sempurna dari apa yang seyogyanya baginya (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadz-dzab, vol 7, hlm 224)
Syarofuddin Musa Al-Hajjawy dalam kitabnya Zadu Al-Mustanqo’ termasuk yang merekomendasikan pelafalan niat haji. Beliau berkata;
ويستحب قوله2: اللهم إني أريد نسك كذا فيسره لي وإن حبسني حابس فمحلي حيث حبستني.
Dianjurkan untuk mengucapkan; ya Allah sesungguhnya aku ingin melakukan nusuk ini.. maka mudahkanlah untukku. Jika ada yang menghalangiku maka tempatku adalah di mana engkau menahanku (Zadu Al-Mustanqo’, hlm 87)
Pelafalan niat yang dilakukan Nabi dalam hadis ini tidak bisa difahami sebagai kekhususan ibadah haji, sehingga melafalkan niat untuk selain haji tidak boleh. Tidak bisa difahami demikian karena tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan tersebut, apalagi Nash-Nash yang ada menunjukkan bahwa pelafalan niat yang dilakukan nabi bukan hanya dalam ibadah haji dan umroh. Justru ketika tidak ada riwayat nabi melakukannya terus menerus dan hanya pada kondisi ibadah-ibadah tertentu ketika melakukannya, hal itu menunjukkan hukum mubah, bukan kekhususan, bukan sunnah apalagi haram.
Memahami pembolehan pelafalan niat hanya untuk kepentingan mengajari berdasarkan hadis ini juga kurang kuat, karena tidak ada qorinah jelas yang menunjukkan bahwa pelafalan itu hanya dibatasi untuk mengajari saja dari segi kebolehannya. Kasus pelafalan saudara Syubrumah yang didiamkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (sebagaimana nanti akan dijelaskan pada argumen berikutnya) malah menunjukkan bahwa pelafalan niat itu tidak untuk kepentingan mengajari, karena saudara Syubrumah tidak pernah mengajari siapapun.
Kedua;
Malaikat Memerintahkan Nabi Melafalkan Niat Haji Sekaligus Umroh
Dalil yang menunjukkan bahwa malaikat memerintahkan nabi melafalkan niat haji sekaligus umroh adalah hadis berikut ini;
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّيْلَةَ أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي وَهُوَ بِالْعَقِيقِ أَنْ صَلِّ فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ
dari Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malam ini Malaikat yang diutus oleh Rabbku datang kepadaku”. Saat itu Beliau sedang berada di lembah Al ‘Aqiq dan Malaikat itu berkata; “Shalatlah di lembah yang penuh barakah ini dan katakanlah: “Aku berniat melaksanakan ‘umrah dalam ‘ibadah hajji ini”. (H.R.Bukhari)
lafadz;
dan katakanlah: “Aku berniat melaksanakan ‘umrah dalam ‘ibadah haji ini
cukup jelas menunjukkan bahwa malaikat memerintahkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk mengucapkan niat. Jika pelafalan niat adalah sesuatu yang haram, tidak mungkin malaikat memerintahkan yang haram.
Tidak bisa dikatakan bahwa perintah malaikat kepada Nabi untuk mengucapkan عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ difahami “sekedar” ” menyebut nusuk (tatacara ibadah) dalam talbiyah. Tidak bisa dikatakan demikian, karena maksud ibadah umroh adalah Ta’yin Niyyah (menentukan niat yang membedakan dengan ibadah yang lain), sebagai mana haji juga Ta’yin Niyyah. Umroh fi’ hajji juga Ta’yin Niyyah yang masing-masing konsekuensinya terkait tatacara dan ketentuan-ketentuannya berbeda. Pelabelan ” Hanya menyebut nusuk dalam talbiyah” membuat ucapan tersebut menjadi seakan-akan tidak ada maknanya, yakni tidak memberi penjelasan niat haji yang disertakan dengan umroh. Oleh karena itu, lebih sesuai dengan maksud Nash jika ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tersebut tidak dilepaskan dari maksud niat ibadahnya, sehingga lebih dekat difahami sebagai pelafalan niat.
Tambahan lagi, mengatakan bahwa hal itu hanyalah sekedar penyebutan nusuk dalam talbiyah sesungguhnya hal tersebut adalah sifat yang sama yang juga bisa diberlakukan pada ibadah-ibadah yang lain. Artinya, jika sesuatu yang disebut “penyebutan nusuk” pada haji itu tidak dipermasalahkan, seharusnya kita bisa mengatakan bahwa pelafalan niat pada shalat, puasa, haji dll “hanyalah” penyebutan yang semisal dengan penyebutan nusuk dalam memasuki ibadah haji.
Ketiga;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Tidak Mengingkari Pelafalan Niat Haji yang dilakukan Seorang Lelaki Untuk Saudaranya yang bernama Syubrumah
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mendengar seorang lelaki melafalkan niat berhaji untuk saudaranya yang bernama Syubrumah. Beliau tidak mengingkari pelafalan niat tersebut, namun hanya mengoreksi terkait syarat dalam menghajikan orang lain. Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shalla Allahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang mengucapkan; LABBAIKA ‘AN SYUBRUMAH (ya Allah, aku memenuhi seruanmu untuk Syubrumah), beliau bertanya: “Siapakah Syubrumah tersebut?” Dia menjawab; saudaraku! Atau kerabatku! Beliau bertanya: “Apakah engkau telah melaksanakan Haji untuk dirimu sendiri?” Dia menjawab; belum! Beliau berkata: “Laksanakan Haji untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” (H.R.Abu Dawud)
As-Shon’any dalam kitabnya Subul As-Salam menjelaskan hadis ini sebagai berikut;
والحديث دليل على أنه لا يصح أن يحج عن غيره من لم يحج نفسه لأنه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم أمره أن يجعله عن نفسه بعد أن لبى عن شبرمة فدل على أنها لم تنعقد النية عن غيره وإلا لأوجب عليه المضي فيه.
Hadis ini menunjukkan bahwa tidak sah orang yang berhaji menghajikan orang lain selama dia belum berhaji untuk dirinya sendiri. Karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerintahkan kepadanya untuk menjadikan haji tersebut bagi dirinya, setelah dia bertalbiyah untuk Syubrumah. Jadi hal tersebut menunjukkan bahwa niat untuk orang lain tidak sah. Andai tidak demikian, niscaya beliau akan mengharuskan lelaki tersebut untuk meneruskan hajinya (Subul As-Salam, vol.2, hlm 184)
Statemen As-Shon’any yang berbunyi;
Jadi hal tersebut menunjukkan bahwa niat untuk orang lain tidak sah
Statemen tersebut menunjukkan bahwa As-Shon’any memahami ucapan saudara Syubrumah adalah terkait dengan niatnya menghajikan Syubrumah. Artinya, ucapan saudaranya Syubrumah bisa difahami sebagai ekspresi lisan atas niat tersebut. Dengan kata lain, saudara Syubrumah melafalkan niatnya berhaji untuk saudaranya dan pelafalan tersebut didengar oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Tidak adanya pengingkaran Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terhadap pelafalan tersebut, menunjukkan melafalkan niat hukumnya mubah, karena tidak mungkin Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendiamkan sesuatu yang terkategori kemungkaran.
Keempat;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Merekomendasikan Pelafalan Niat Haji Yang Disertai Istitsna’ kepada Dhuba’ah
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah merekomendasikan pelafalan niat yang disertai Isytiroth (memberi syarat) kepada Dhuba’ah binti Az-Zubair yang ingin berhaji namun dalam kondisi sakit. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضُبَاعَةَ بِنْتِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ لَهَا لَعَلَّكِ أَرَدْتِ الْحَجَّ قَالَتْ وَاللَّهِ لَا أَجِدُنِي إِلَّا وَجِعَةً فَقَالَ لَهَا حُجِّي وَاشْتَرِطِي وَقُولِي اللَّهُمَّ مَحِلِّي حَيْثُ حَبَسْتَنِي وَكَانَتْ تَحْتَ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ
dari Aisyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui Dhuba’ah binti Az Zubair, maka beliau bersabda: “Sepertinya kamu ingin menunaikan ibadah haji.” Ia pun berkata, “Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku kecuali sakit.” Beliau pun bersabda: “Tunaikanlah haji, dan berilah syarat. ucapkan: ‘ALLAHUMMA MAHILLII HAITSU HABASTANII (Ya Allah, tempatku adalah di tempat Engkau menahanku).’” Saat itu, ia adalah isteri daripada Miqdad bin Al Aswad. (H.R.Bukhari)
Ubaidullah Al-Mubarokfury menjelaskan hadis ini dalam kitabnya Mirqot Al-Mafatih Syarh Misykat Al-Mashobih sebagai berikut;
وذكر فيه ابن قدامة احتمالين : أحدهما هذا ، قال : ويدل عليه ظاهر قوله – صلى الله عليه وسلم – في حديث ابن عباس (( قولي : محلي من الأرض حيث تحبسني )) قلت : وكذا في حديث عائشة في الصحيحين (( وقولي : اللهم محلي حيث حبستني )) والثاني أنه تكفي فيه النية
Ibnu Qudamah menyebut dua kemungkinan makna. Pertama; adalah makna ini (yakni melafalkan Isytiroth saat berniat haji). Beliau berkata: yang menunjukkannya adalah dhohirnya sabda Nabi pada hadis Ibnu Abbas; Ucapkanlah; tempatku di bumi adalah di mana Engkau menahanku. Saya berkata; demikian pula dalam hadis Aisyah dalam shahihain: katakanlah Ya Allah, tempatku adalah di mana engkau menahanku. Kedua; Cukup niat saja –tanpa pelafalan- (Mirqot Al-Mafatih Syarh Misykat Al-Mashobih, vol.9,hlm 445)
Pemaknaan Ibnu Qudamah yang dinukil Ubaidullah Al-Mubarokfury terhadap hadis Dhuba’ah ini menunjukkan bahwa rekomendasi ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepadanya adalah terkait niat. Hanya saja, dalam pembahasan fikih ada dua kemungkinan makna yang bisa digali: Isytiroth haji itu harus diucapkan ataukah cukup niat dalam hati saja. Dua kemungkinan makna ini semuanya mungkin dalam ijtihad, meski dhohir hadis menunjukkan harus dilafalkan. Yang jelas, makna apapun yang mungkin digali dari hadis tersebut, semuanya tidak terlepas dari makna niat haji yang hendak dilakukan oleh Dhuba’ah. Artinya, rekomendasi pelafalan yang dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bukan sekedar pelafalan tanpa makna, tetapi pelafalan niat haji oleh Dhuba’ah yang disertai dengan Isytiroth. Karena itu hadis ini juag bisa menjadi dalil bolehnya melafalkan niat.
Hadis Dhuba’ah ini tidak bisa difahami hanya sebagai nadzar atau yang semakna dengan nadzar, karena haji Dhuba’ah jelas bukan nadzar tetapi rencana melakukan haji yang memang diwajibkan kepada mukallaf muslim secara ibtida-an (orsinil sejak awal tanpa sebab yang lain). Hanya saja kondisi Dhuba’ah adalah sakit sehingga saat melafalkan niat haji, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyarankan disertai dengan isytiroth untuk meringankannya.
Tidak bisa juga memahami bahwa hadis Dhuba’ah ini hanyalah dalil bolehnya isytiroth semata. Tidak bisa dikatakan demikian, karena meskipun benar bahwa hadis tersebut adalah dalil bolehnya isytiroth, namun pada saat yang sama nabi memerintahkan mengucapkan isytiroth niat tersebut, sehingga hadis tersebut juga menjadi dalil mubahnya pelafalan niat.
Imam As-Syafi’i meriwayatkan bahwa Aisyah merekomendasikan pelafalan niat sekaligus isytiroth dalam kondisi diduga akan terjadi hal-hal yang menghalangi pelaksanaan haji. Dalam Musnad As-Syafi’i dinyatakan;
( أخبرنا ) : سُفْيانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عن هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عن أبيه قال :
– قالتْ لي عائشةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها : هَلْ تَثْتَثْنِي إذَا حَجَجْتَ ؟ قال : فقُلْتُ لها مَاذَا أقُولُ ؟ فقالتْ قُلْ اللَّهُمَّ الحَجَّ أرَدْتُ ولهُ عَمَدْتُ فَإنْ يَسَّرْتَهُ فَهُو الحَجُّ وإنْ حَبَسَني حَابِسٌ فَهِيَ عُمْرَةٌ
Sufyan bin ‘Uyainah memberitahu kami dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya beliau berkata. Aisyah Ra. berkata; Apakah engkau mengucapkan perkecualian jika berhaji? Urwah bertanya; Apa yang aku katakan?Aisyah menjawab; Katakan Ya Allah, aku ingin berhaji, dan untuknya aku menyengaja. Jika engkau memudahkanku maka itu adalah haji. Jika ada yang menghalangiku, maka itu adalah umroh (H.R.As-Syafi’i)
Aisyah adalah perawi hadis Dhuba’ah. Tentu shahabat yang meriwayatkan hadis lebih faham maksud hadis yang diriwayatkannya. Dalam riwayat As-Syafi’y, ternyata Aisyah merekomendasikan pelafalan niat sekaligus isytiroth, bukan hanya merekomendasikan pelafalan isytiroth. Oleh karena itu, hadis Dhuba’ah menunjukkan mubahnya pelafalan niat, bukan sekedar mubahnya pelafalan isytiroth.
Al-Hajjawy dalam Zadu Al-Mustanqo’ juga memahami hadis Dhuba’ah sebagai pelafalan niat. Beliau berkata;
ويستحب قوله2: اللهم إني أريد نسك كذا فيسره لي وإن حبسني حابس فمحلي حيث حبستني.
Dianjurkan untuk mengucapkan; ya Allah sesungguhnya aku ingin melakukan nusuk ini.. maka mudahkanlah untukku. Jika ada yang menghalangiku maka tempatku adalah di mana engkau menahanku (Zadu Al-Mustanqo’, hlm 87)
Kelima;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Ketika hendak Berkurban
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niatnya ketika hendak menyembelih kurbannya. Hadisnya adalah sebagai berikut;
dari Jabir bin Abdullah berkata; saya menyaksikan penyembelihan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di sebuah tempat shalat. Tatkala beliau selesai khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya dan membawa kambing lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelih dengan tangan beliau dan berkata; BISMILLAH WA ALLOHU AKBAR, ini adalah dariku dan dari orang yang belum berkurban dari kalangan umatku. (H.R.Ahmad)
‘Alauddin Al-Kasany dalam kitabnya Bada-I’ As-Shona-I’ ketika berbicara niat dalam berkurban mengatakan bahwa pelafalan adalah bukti/dalil yang menunjukkan/mengekspresikan niat yang ada dalam hati. Beliau berkata;
وَيَكْفِيهِ أَنْ يَنْوِيَ بِقَلْبِهِ وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يَقُولَ بِلِسَانِهِ مَا نَوَى بِقَلْبِهِ كَمَا فِي الصَّلَاةِ ؛ لِأَنَّ النِّيَّةَ عَمَلُ الْقَلْبِ ، وَالذِّكْرُ بِاللِّسَانِ دَلِيلٌ عَلَيْهَا (في موضوع الأضحية)
cukup baginya berniat dengan hatinya dan tidak disyaratkan melafalkan dengan lisan apa yang diniatkan oleh hatinya sebagaimana dalam shalat. Niat adalah amal hati, dan penyebutan dengan lisan menjadi penunjuk niat tersebut (Bada-I’ As-Shona-I’, vol.10, hlm 281)
Penyebutan pelafalan niat oleh Al-Kasany pada saat berkurban dengan cara penyebutan yang positif menunjukkan bahwa beliau termasuk yang tidak mempermasalahkan pelafalan niat dalm berkurban, sekaligus menunjukkan bahwa hadis nabi di atas memang bermakna pelafalan niat oleh nabi.
Abdul Hayyi Yusuf dalam situs https://ar.Islamway.com/fatwa/32111 juga membolehkan pelafalan niat saat berkurban. Beliau berkata;
Tidak masalah orang yang berkurban saat menyembelih kurbannya mengucapkan : Ya Allah, ini adalah kurban untuk fulan dan keluarga fulan (Fatwa Abdul Hayyi Yusuf)
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni malah memandangnya termasuk hal yang baik karena dicontohkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Beliau berkata;
وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَقُولَ عِنْدَ الذَّبْحِ عَمَّنْ لِأَنَّ النِّيَّةَ تُجْزِئُ لَا أَعْلَمُ خِلَافًا فِي أَنَّ النِّيَّةَ تُجْزِئُ ، وَإِنْ ذَكَرَ مَنْ يُضَحِّي عَنْهُ فَحَسَنٌ ؛ لِمَا رَوَيْنَا مِنْ الْحَدِيثِ
Tidak menjadi keharusan bagi orang yang berkurban pada saat menyembelih mengucapkan; Ini kurban untuk…dst karena niat saja sudah sah/cukup. Saya tidak mengetahui ada perselisihan bahwa niat saja sudah sah. Jika orang yang berkurban menyebut (dalam niatnya) kurbannya untuk siapa, maka hal tersebut adalah baik berdasarkan hadis yang telah kami riwayatkan (Al-Mughni, vol. 21, hlm 497)
Markazul Fatwa dibawah supervisi Abdullah Al-Faqih juga memberikan fatwa senada. Redaksi fatwanya adalah sebagai berikut;
أما بخصوص التلفظ بالنية أثناء الذبح فإن قصدت به قول المضحي أو نائبه: اللهم هذا منك ولك، أو اللهم تقبل مني أو من فلان، فهذا لا حرج فيه؛ بل عده ابن قدامة من الأمور الحسنة عند كثير من العلماء. والله أعلم.
المفتي: مركز الفتوى بإشراف د.عبدالله الفقيه
Terkait pelafalan niat saat menyembelih, jika yang dimaksud adalah ucapan orang yang berkurban/wakilnya: “ya Allah ini dariMu dan untukMu” atau “Ya Allah terimalah dariku” atau “dari fulan”, maka ini tidak ada keberatan. Bahkan Ibnu Qudamah memandangnya termasuk perkara-perkara yang baik bagi mayoritas ulama. Wallahua’lam. Mufti: Markazul Fatwa dibawah supervisi Abdullah Al-Faqih (Fatawa As-Syabakah Al-Islamiyyah, vol.6, hlm 2746)
Semua komentar, penjelasan dan fatwa ulama di atas menunjukkan bahwa mereka secara eksplisit atau implisit mengakui bahwa hadis berkurban Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah pelafalan niat berkurban, sehingga dari situ biasa ditarik kesimpulan yang lebih umum yakni melafalkan niat dalam ibadah hukumnya mubah sebagaimana pelafalan niat dalam haji dan umroh.
Ucapan nabi yang berbunyi;
ini adalah dariku dan dari orang yang belum berkurban dari kalangan umatku
ucapan ini tidak bisa difahami sebagai doa, karena doa adalah permintaan hamba kepada Robbnya, sementara lafadz yang diucapkan Nabi bukanlah permintaan. Lafadz tersebut adalah ekspresi maksud dari melakukan ibadah berkurban, sehingga lebih tepat disebut sebagai pelafalan niat, bukan doa. Lafadz yang lebih layak difahami sebagai doa adalah lafadz semisal “Allahumma taqobbal minni..” (ya Allah terimalah dariku) dan yang semakna dengannya.
Keenam;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Puasa Sunnah Saat tidak Ada Makanan
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat puasa sunnah ketika tidak ada makanan:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ فَقُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ
dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata; Pada suatu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” kami menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” (H.R.Muslim)
An-Nawawy berkata ketika mensyarahi hadis ini;
وفيه دليل لمذهب الجمهور أن صوم النافلة يجوز بنية في النهار قبل زوال الشمس
Dalam hadis ini terdapat dalil bagi madzhab Jumhur, yakni bahwa puasa nafilah boleh niatnya di siang hari sebelum matahari tergelincir (Syarah An-Nawawy ‘Ala Muslim, vol.8, hlm 35)
An-Nawawy dengan tegas menjelaskan bahwa hadis tersebut menjadi dalil bagi jumhur ulama yang membolehkan niat puasa sunnah di siang hari. Maknanya Jumhur termasuk An-Nawawy memahami bahwa ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;
“Kalau begitu, saya akan berpuasa.”
Ucapan ini adalah niat berpuasa setelah tidak mendapati makanan yang bisa dimakan. Jadi, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niatnya, sehingga hadis ini bisa menjadi dalil kemubahan pelafalan niat, karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah melafalkan niat puasa.
Pemaknaan yang sama dengan an-Nawawy diberikan oleh ‘Athiyyah Muhammad Salim. Beliau berkata;
وإذا ثبتت لفظة (إذاً) فهي تدل على إنشاء النية نهاراً
Jika lafadz Idzan sudah diakui memang ada, maka hal tersebut menunjukkan pemunculan niat dilakukan di siang hari (Syarah Bulughu Al-Marom Lisy-Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim, vol.2, hlm 145)
Demikian pula Ubaidullah Al-Mubarokfury dalam Mirqot Al-Mafatih Syarah Misykat Al-Mashobih. Beliau berkata;
فإني إذن أصوم يدل على جواز نية النفل في النهار وبه قال الأكثرون
Lafadz “kalau begitu aku berpuasa” menunjukkan bolehnya berniat puasa nafilah pada siang hari. Ini adalah pendapat mayoritas (Mirqot Al-Mafatih Syarah Misykat Al-Mashobih, vol.6, hlm 406)
Termasuk Ibnu ‘Utsaimin. Yang menarik, meskipun Ibnu ‘Utsaimin termasuk ulama yang mengharamkan pelafalan niat, namun ketika mensyarah hadis ini beliau tidak mengingkari bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ َ berniat puasa saat mengucapkan tersebut. Artinya bisa difahami bahwa Ibnu ‘Utsaimin juga mengakui bahwa hadis tersebut adalah pelafalan niat puasa oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Beliau berkata;
يعني في الحال فنوى الصيام في الحال
Yakni saat itu juga. Jadi, beliau (Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) berniat puasa saat itu juga (Asy-Syarh Al-Mukhtashor ‘Ala Bulugh Al-Marom, vol.5 hlm 6)
Ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Kalau begitu, saya akan berpuasa” tidak bisa disebut Ikhbar (pemberian informasi), karena pemberian informasi hanya bisa dilakukan jika sesuatu sudah terjadi. Sebelum ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tersebut Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ belum berpuasa, sehingga mustahil Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberitahu sesuatu yang belum terjadi dan belum ada. Jadi ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ lebih tepat dan sesuai konteks hadis jika difahami pelafalan niat, bukan yang lain.
Memberi takwil bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sudah berniat puasa sejak malam adalah takalluf (memaksa-maksa) yang berlebihan. Hal itu dikarenakan klaim ini sama sekali tidak didukung oleh Nash apapun, dan bertentangan dengan redaksi riwayat yang menunjukkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencari makanan di pagi hari. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mencari makanan maka hal itu adalah bukti yang jelas bahwa beliau tidak sedang berpuasa. Lagi pula niat harus jazim (pasti) dan tidak boleh ragu-ragu. Niat membatalkan maka bermakna batal seterusnya tanpa bisa dikoreksi. Seandainya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memang sudah berniat puasa di malam hari, dengan upaya mencari makanan itu berarti beliau telah membatalkan puasanya. Niat membatalkan puasa tidak bisa digagalkan dengan niat baru. Lagipula seandainya beliau sudah berniat puasa di malam hari seharusnya beliau mengatakan: “kalau begitu saya meneruskan puasa”, bukan “kalau begitu saya akan berpuasa”.
Ketujuh;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Melafalkan Niat Puasa Tasu’a
Hadis menunjukkan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah melafalkan niat puasa Tasu’a’, yaitu puasa tanggal 9 Muharram. Imam Muslim meriwayatkan;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya tahun depan aku masih hidup, niscaya saya benar-benar akan berpuasa pada hari ke sembilan –Muharram-.” (H.R.Muslim)
An-Nawawy menjelaskan dalam Syarahnya, bahwa berpuasa tanggal 9 Muharram hukumnya sunnah karena Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berniat puasa Tasu’a, meskipun secara riil beliau belum pernah puasa dihari itu karena didahului wafat. An-Nawawy berkata;
قال الشافعي وأصحابه وأحمد واسحاق وآخرون يستحب صوم التاسع والعاشر جميعا لأن النبي صلى الله عليه و سلم صام العاشر ونوى صيام التاسع
As-Syafi’i dan murid-muridnya, Ahmad, Ishaq dan yang lainnya menganjurkan puasa tanggal 9 dan 10 Muharrom karena nabi berpuasa tanggal 10 dan berniat puasa tanggal 9 (Syarh An-Nawawy ‘Ala Muslim, vol.8, hlm 12)
Penjelasan An-Nawawy terkait ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang berbunyi;
“Seandainya tahun depan aku masih hidup, niscaya saya benar-benar akan berpuasa pada hari ke sembilan –Muharram-.”
Yang mana ucapan tersebut ditafsiri sebagai niat berpuasa tanggal 9 Muharram, menunjukkan An-Nawawy mengakui bahwa ucapan tersebut adalah ucapan niat. Hal ini bermakna Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niatnya untuk berpuasa Tasu’a, sehingga hadis ini juga menjadi dalil mubahnya melafalkan niat.
Kedelapan;
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengisahkan cerita seorang lelaki yang melafalkan niatnya untuk bershodaqoh.
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah menceritakan sebuah kisah kepada shahabat tentang cerita seorang lelaki yang bershodaqoh, namun tidak tepat sasaran. Pesan dalam cerita tersebut adalah hendaknya setiap muslim tidak merasa rugi ketika bershodaqoh, meski orang yang dishodaqohi tidak seperti yang diinginkan. Tidak perlu merasa rugi karena niat yang baik sudah dibalas oleh Allah. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ زَانِيَةٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ غَنِيٍّ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى سَارِقٍ وَعَلَى زَانِيَةٍ وَعَلَى غَنِيٍّ فَأُتِيَ فَقِيلَ لَهُ أَمَّا صَدَقَتُكَ عَلَى سَارِقٍ فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعِفَّ عَنْ سَرِقَتِهِ وَأَمَّا الزَّانِيَةُ فَلَعَلَّهَا أَنْ تَسْتَعِفَّ عَنْ زِنَاهَا وَأَمَّا الْغَنِيُّ فَلَعَلَّهُ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ
dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berkata,: “Ada seorang laki-laki berkata,: Aku benar-benar akan bershadaqah. Lalu dia keluar dengan membawa shadaqahnya dan ternyata jatuh ke tangan seorang pencuri. Keesokan paginya orang-orang ramai membicarakan bahwa dia telah memberikan shadaqahnya kepada seorang pencuri. Mendengar hal itu orang itu berkata,: “Ya Allah segala puji bagiMu, Aku benar-benar akan bershadaqah lagi”. Kemudian dia keluar dengan membawa shadaqahnya lalu ternyata jatuh ke tangan seorang pezina. Keesokan paginya orang-orang ramai membicarakan bahwa dia tadi malam memberikan shadaqahnya kepada seorang pezina. Maka orang itu berkata, lagi: Ya Allah segala puji bagiMu, (ternyata shadaqahku jatuh) kepada seorang pezina, Aku benar-benar akan bershadaqah lagi. Kemudian dia keluar lagi dengan membawa shadaqahnya lalu ternyata jatuh ke tangan seorang yang kaya. Keesokan paginya orang-orang kembali ramai membicarakan bahwa dia memberikan shadaqahnya kepada seorang yang kaya. Maka orang itu berkata,: Ya Allah segala puji bagiMu, (ternyata shadaqahku jatuh) kepada seorang pencuri, pezina, dan orang kaya. Setelah itu orang tadi bermimpi dan dikatakan padanya: “Adapun shadaqah kamu kepada pencuri, mudah-mudahan dapat mencegah si pencuri dari perbuatannya, sedangkan shadaqah kamu kepada pezina, mudah-mudahan dapat mencegahnya berbuat zina kembali dan shadaqah kamu kepada orang yang kaya mudah-mudahan dapat memberikan pelajaran baginya agar menginfaqkan harta yang diberikan Allah kepadanya”. (H.R.Bukhari)
Faishol Al-Mubarok dalam kitabnya Tath-riz Riyadh As-Sholihin menjelaskan berdasarkan hadis ini bahwa niat baik sudah cukup untuk membuat shodaqoh seseorang diterima, meski shodaqoh tersebut tidak tepat sasaran, seperti diterima oleh orang kaya, pelacur, pencuri dll. Beliau berkata;
وفيه: أن نية المتصدق إذا كانت صالحة، قبلت صدقته ولو لم تقع الموقع
Diantara makna hadis ini: Niat orang yang bershodaqoh jika baik maka shodaqohnya diterima meskipun shodaqoh tersebut tidak tepat sasaran (Tath-riz Riyadh As-Sholihin, hlm 1057)
Penafsiran beliau terkait niat dan ketepatan sasaran shodaqoh dalam hadis ini menunjukkan pengakuan beliau bahwa ucapan lelaki dalam hadis di atas yang berbunyi;
Aku benar-benar akan bershadaqah
Ucapan tersebut maknanya adalah pelafalan niat shodaqoh. Karena itu hadis ini juga menjadi dalil kebolehan melafalkan niat ibadah, karena shodaqoh termasuk ibadah sebagaimana haji, puasa, dan berkurban. Diamnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terhadap pelafalan lelaki yang berniat bershodaqoh tanpa pengingkaran menjadi taqrir beliau bahwa pelafalan niat itu mubah dan tidak termasuk kemunkaran.
Tidak bisa dikatakan bahwa kisah lelaki yang mengucapkan niat shodaqoh itu adalah syariat umat sebelum umat Islam, sehingga berlaku pada umat itu dan tidak berlaku bagi umat Islam. Gugatan ini tidak dapat diterima, karena dalil pelafalan niat bukan hanya hadis ini tetapi juga banyak Nash yang lain. Lagipula, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menceritakan kisah lelaki ini adalah sebagai penjelasan syariat untuk dilaksanakan umatnya, bukan sekedar cerita hiburan. Tambahan lagi, syariat umat sebelum kita jika tidak bisa diterapkan oleh umat Islam, maka harus ada dalil yang menunjukkannya, misalnya cara bertaubat dari syirik. Dalam syariat bani Israil cara bertaubat dari syirik adalah membunuh diri sementara dalam syariat Islam cukup taubat Nashuha.
Kesembilan;
Seorang Arab Badui Melafalkan Niat Hijrah Di Hadapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Tanpa Ada Pengingkaran.
An-Nasai meriwayatkan;
عَنْ شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَعْرَابِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَآمَنَ بِهِ وَاتَّبَعَهُ ثُمَّ قَالَ أُهَاجِرُ مَعَكَ فَأَوْصَى بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْضَ أَصْحَابِهِ
dari Syaddad bin Al Had bahwa seorang laki-laki dari seorang badui datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia beriman dan mengikuti beliau. Kemudian dia berkata, “Aku akan berhijrah bersama engkau”. Maka Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berpesan kepada sebagian Shahabat beliau agar berbuat baik kepada orang tersebut. (H.R.An-Nasai)
Ucapan arab badui yang berbunyi;
“Aku akan berhijrah bersama engkau”
Ucapan tersebut menunjukkan bahwa badui tersebut melafalakan niatnya berhijrah bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . As-Sindy menjelaskan makna lafadz tersebut sebagai berikut;
أي أسكن معك مهاجرا
Artinya; aku tinggal bersamamu dengan ikut berhijrah (Hasyiyah As-Sindy ‘Ala An-Nasai, vol.4, hlm 60)
Yakni, arab badui itu berniat hijrah untuk tinggal bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, karena niat adalah menyengaja dan memaksudkan sesuatu. Keinginan secara sengaja dan maksud untuk tinggal bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menunjukkan arab badui tersebut berniat hijrah dan tinggal bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ketika pelafalan niat tersebut tidak diingkari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka hal ini menunjukkan mubah hukumnya melafalkan niat dalam ibadah hijrah, sebagaimana ibadah-ibadah yang lain.
Kesepuluh:
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niatnya berjihad memerangi Quraisy.
Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا وَاللَّهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا ثُمَّ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
dari Ikrimah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, sungguh aku akan memerangi Quraisy, demi Allah, sungguh aku akan memerangi Quraisy, demi Allah, sungguh aku akan memerangi Quraisy.” Kemudian beliau bersabda: “insya Allah.” (H.R.Abu Dawud)
Jihad adalah ibadah. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan keinginanannya untuk berjihad memerangi orang-orang Quraisy, maka hal ini menunjukkan bahwa beliau melafalkan niat jihad. Meskipun para fuqoha’ dalam membahas hadis ini sorotan utamanya adalah terkait hukum sumpah, namun dari segi bahwa niat adalah menyengaja untuk melakukan perbuatan dan tekat kuat untuk berbuat sesuatu, maka keinginan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berjihad memerangi orang-orang quraisy itu termasuk dalam cakupan keumuman definisi niat. Karena itu hadis ini bisa dijadikan sebagai dalil untuk menunjukkan mubahnya pelafalan niat dalam ibadah.
Yang semakna dengan ini adalah pelafalan niat yang dilakukan sejumlah shahabat yang bertekad puasa terus menerus dan shalat malam terus menerus. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ أَخْبَرَهُ وَأَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَقُولُ وَاللَّهِ لَأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلَأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتَ الَّذِي تَقُولُ وَاللَّهِ لَأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلَأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ قَالَ إِنَّكَ لَا تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ وَصُمْ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ فَقُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ قَالَ قُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ وَهُوَ أَعْدَلُ الصِّيَامِ قُلْتُ إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ
dari Ibnu Syihab bahwa Sa’id bin Al Musayyab dan Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman mengabarkan kepadanya bahwa ‘Abdullah bin ‘Amru radliallahu ‘anhuma berkata; Disampaikan kabar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa aku berkata; “Demi Allah, sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku akan shalat malam sepanjang hidupku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya (‘Abdullah bin ‘Amru): “Benarkah kamu yang berkata; “Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku pasti akan shalat malam sepanjang hidupku?“. kujawab; “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya”. Maka Beliau berkata: “Sungguh kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya. Akan tetapi berpuasalah dan berbukalah, shalat malam dan tidurlah dan berpuasalah selama tiga hari dalam setiap bulan karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu seperti puasa sepanjang tahun.” Aku katakan; “Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah”. Belau berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah selama dua hari”. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu”. Beliau berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasa Nabi Allah Daud ‘alaihi salam yang merupakan puasa yang paling utama”. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu”. Maka beliau bersabda: “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu”. (H.R.Bukhari)
Kesebelas;
Sejumlah Shahabat Merekomendasikan Pelafalan Niat Dan Melakukan Pelafalan Niat Dalam Ibadah
As-Syafi’i meriwayatkan bahwa Aisyah merekomendasikan pelafalan niat saat Haji. Beliau berkata;
( أخبرنا ) : سُفْيانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عن هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عن أبيه قال :
– قالتْ لي عائشةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها : هَلْ تَثْتَثْنِي إذَا حَجَجْتَ ؟ قال : فقُلْتُ لها مَاذَا أقُولُ ؟ فقالتْ قُلْ اللَّهُمَّ الحَجَّ أرَدْتُ ولهُ عَمَدْتُ فَإنْ يَسَّرْتَهُ فَهُو الحَجُّ وإنْ حَبَسَني حَابِسٌ فَهِيَ عُمْرَةٌ
Sufyan bin ‘Uyainah memberitahu kami dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya beliau berkata. Aisyah Ra. berkata; Apakah engkau mengucapkan perkecualian jika berhaji? Urwah bertanya; Apa yang aku katakan?Aisyah menjawab, katakan; Ya Allah, aku ingin berhaji, dan untuk berhaji aku menyengaja. Jika engkau memudahkanku maka itu adalah haji. Jika ada yang menghalangiku, maka itu adalah umroh (H.R.As-Syafi’i)
At-Thohawy juga meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah melafalkan niatnya untuk berpuasa. Dalam Ma’ani Al-Atsar disebutkan;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ حَتَّى يُظْهِرَ , ثُمَّ يَقُولُ ( وَاَللَّهِ لَقَدْ أَصْبَحْتُ , وَمَا أُرِيدُ الصَّوْمَ , وَمَا أَكَلْت مِنْ طَعَامٍ وَلاَ شَرَابٍ مُنْذُ الْيَوْمِ , وَلاََصُومَنَّ يَوْمِي هَذَا
Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya beliau berada di pagi hari hingga waktu dhuhur, kemudian beliau berkata; Demi Allah aku telah berada di waktu pagi sementara aku belum menginginkan/berniat puasa. Dan aku tidak makan makanan ataupun minuman apapun di hari ini. Aku sungguh akan berpuasa hari ini (Ma’ani Al-Atsar, vol.4, hlm 104)
Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahihnya secara Mu’allaq dengan Shighot Jazm bahwa Abu Ad-Darda’ melafalkan niat puasa. Bukhari meriwayatkan;
وَقَالَتْ أُمَّ الدَّرْدَاءِ كَانَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُولُ عِنْدَكُمْ طَعَامٌ فَإِنْ قُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ يَوْمِي هَذَا وَفَعَلَهُ أَبُو طَلْحَةَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَحُذَيْفَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Ummu Ad-Darda’ berkata: Kebiasaan Abu Ad-Darda’ jika bertanya: Apakah ada makanan?,lalu kami menjawab: Tidak, maka beliau berkata; Aku puasa hari ini. Abu Tholhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah juga melakukan kebiasaan ini (H.R.Bukhari)
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa shahabat-shahabat besar seperti Aisyah, Ibnu Abbas, Abu Ad-Darda’, Abu Hurairah, Abu Tholhah, dan Hudzaifah memandang bahwa pelafalan niat ibadah bukanlah suatu hal yang tabu. Mereka melakukannya dan tidak memandangnya sebagai suatu hal yang haram. Apa yang dilakukan saudara Syubrumah ketika melafalkan niat haji dan juga arab badui ketika melafalkan niat hijrah semakin menguatkan kesimpulan ini.
Inilah argumentasi-argumentasi terpenting yang menunjukkan mubahnya pelafalan niat. Semua argumentasi di atas saling menguatkan satu sama lain dan menunjukkan bahwa melafalkan niat dalam ibadah hukumnya adalah mubah. Melafalkan niat hukumnya mubah selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan syara’ baik untuk kepentingan mengajari, menguatkan niat, menghilangkan was-was, menegaskan maksud, memberitahu, dan semua kepentingan yang syar’i. Tidak dibatasinya kepentingan pelafalan dikarenakan tidak ada Nash yang membatasi kebolehan tersebut, sehingga kebolehannya berlaku umum sebagaimana keumuman lafadz yang menunjukkan kemubahannya.
Kemubahan tersebut adalah kemubahan dari segi pelafalan itu sendiri, sehingga pelafalan niat tidak menjadi syarat sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Sesuatu menjadi syarat sah, sifat wajib, atau rukun harus dinyatakan dengan dalil sementara dalil-dalil yang ada tidak menunjukkan bahwa pelafalan adalah syarat sah, sifat wajib atau rukun.
Hanya saja, jika niat dilafalkan, hendaknya hal tersebut tidak dilakukan secara terus menerus karena tidak ada riwayat bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ terus menerus melafalkan niat, sebagaimana para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in juga tidak didapati diriwayatkan melafalkan niat secara terus menerus. Jadi, yang lebih dekat kepada cara ibadah genarasi terbaik umat ini adalah cukup berniat dalam hati dan itulah bentuk yang paling afdhol. Jika problem yang dihadapi adalah penyakit was-was, maka obatnya adalah ilmu terhadap syariat sebagaimana keterangan As-Syafi’i. As-Suyuthy menulis;
وقال الشافعي رحمه الله: الوسوسة في نية الصلاة والطهارة من جهل بالشرع أو خبل في العقل.
As-Syafi’i berkata: was-was dalam niat shalat dan Thaharoh adalah dikarenakan kebodohan terhadap syariat atau kekacauan dalam pikiran (Al-Amru bil Ittiba’ Wn-Nahyu ‘An Al-Ibtida’, hlm 31)
Jika pelafalan itu dilakukan dalam sebuah situasi bersama orang lain, maka disyaratkan pelafalan itu tidak boleh dilakukan sampai taraf mengganggu orang lain. Mengeraskan suara yang mengganggu ibadah orang lain hukumnya haram. Dalil yang menunjukkan keharamannya adalah hadis-hadis berikut ini;
عَنِ الْبَيَاضِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ « إِنَّ الْمُصَلِّىَ يُنَاجِى رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ ».
dari Al Bayadli, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui orang-orang ketika mereka sedang shalat. Mereka mengeraskan bacaan di dalamnya, maka beliau bersabda: “Sesungguhnya orang yang shalat itu sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka lihatlah apa yang dia bisikkan. Janganlah sebagian dari kalian mengeraskan bacaannya atas sebagian yang lain! ” (H.R.Malik)
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ : اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ : « أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقِرَاءَةِ ». أَوْ قَالَ : « فِى الصَّلاَةِ ».
dari Abu Sa’id dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di Masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al Qur’an) mereka. kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah bermunajat dengan Rabbnya, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur’an) atau dalam shalatnya.” (H.R.Abu Dawud)
Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah, syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi kemubahannya tanpa ada perselisihan karena semua hal itu terkait muamalah.
bersambung ke bahasan mendiskusikan pendapat yang mengharamkan pelafalan niat