Oleh Ustadz Muafa
MENDISKUSIKAN PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN PELAFALAN NIAT
Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah haram, bahkan bid’ah. Berikut ini akan dipaparkan argumentasi-argumentasi dari pendapat tersebut untuk didiskusikan lebih lanjut dan diulas secukupnya.
Pendapat yang mengharamkan pelafalan niat dalam ibadah mendasarkan kesimpulan hukum tersebut pada argumen-argumen di bawah ini;
Pertama;
Tidak ada riwayat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut- Tabi’in, imam Madzhab yang empat, dan ulama-ulama salaf yang menunjukkan mereka melafalkan niat. Mereka adalah generasi terbaik umat ini. Seandainya pelafalan niat disyariatkan, seharusnya mereka yang pertama kali melakukannya. Tidak adanya riwayat menunjukkan pelafalan niat tidak disyariatkan, haram, dan termasuk kemunkaran.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah melakukan pelafalan niat terbantahkan dengan riwayat-riwayat yang dengan lugas menunjukkan bahwa beliau pernah melafalkan niat (saat haji-umroh, puasa, berkurban, dan jihad), merekomendasikan pelafalan niat (seperti kisah Dhuba’ah) , mendiamkan pelafalan niat (seperti kasus saudara Syubrumah dan orang Arab Badui yg mau berhijrah), dilapori pelafalan niat (seperti niat shahabat yg mau shalat malam seumur hidup dan berpuasa seumur hidup), dan menceritakan pelafalan niat (seperti kasus lelaki yang berniat shodaqoh).
Ibnu Hajar Al-Haitamy dalam kitabnya Tuhfatu Al-Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj membantah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada riwayat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melafalkan niat. Beliau berkata;
( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ الْمُنْدَفِعِ بِهِ التَّشْنِيعُ بِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ
Dianjurkan melafalkan sesuatu yang diniatkan sesaat sebelum Takbirotul Ihram agar lisan membantu hati, dan demi menghindar dari berselisih dengan orang yang mewajibkan pelafalan niat meskipun pendapat yang mewajibkan tersebut adalah syadz. Juga sebagai bentuk Qiyas terhadap riwayat pelafalan niat dalam haji, yang dengannya tertolak kritikan keras yang menyatakan bahwa pelafalan niat tidak pernah diriwayatkan (Tuhfatu Al-Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj, vol 5, hlm 285)
Lebih tepat jika dikatakan; tidak ada riwayat bahwa Nabi terus menerus melafalkan niat ibadah. Statemen ini lebih tepat karena jika pelafalan niat itu dilakukan secara terus-menerus kontinyu dan istiqomah, maka status hukumnya bukan lagi mubah, tetapi bisa naik menjadi sunnah atau bahkan wajib. Maka tatkala riwayat yang ada nabi hanya sesekali melafalkan niat, hal itu menunjukkan hukum mubahnya, bukan haram, sunnah apalagi wajib.
Lagipula, sesuatu yang tidak dilakukan nabi tidak bisa serta merta langsung dihukumi haram karena apa yang ditinggalkan/tidak dilakukan Nabi memiliki sejumlah kemungkinan makna.
Sesuatu yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bisa karena hukumnya tidak wajib. Misalnya berwudhu setelah memakan makanan yang dimasak api. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak berwudhu setelah memakan makanan yang dimasak oleh api. Wudhu yang ditinggalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ini bermakna hukum melakukannya tidak wajib. Maksudnya, tidak wajib orang yang memakan makanan yang dimasak dengan api untuk berwudhu sesudahnya. Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ آخِرُ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ
dari Jabir dia berkata; Akhir dari dua perkara dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah; Beliau tidak berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh api (H.R.Abu Dawud)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena perasaan jijik/tidak terbiasa saja sementara hukum sebenarnya adalah halal. Misalnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak mau memakan biawak panggang yang dihidangkan di depan beliau. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ قَالَ
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لَا وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
dari Ibnu Abbas dari Khalid bin Al Walid ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diberi daging biawak yang terpanggang. Maka beliau pun berselera hendak memakannya, lalu dikatakanlah kepada beliau, “Itu adalah daging biawak.” Dengan segera beliau menahan tangannya kembali. Khalid bertanya, “Apakah daging itu adalah haram?” beliau bersabda: “Tidak, akan tetapi daging itu tidak ada di negeri kaumku.” Beliau tidak melarang. Maka Khalid pun memakannya sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat. (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena lupa, seperti beliau shalat dengan rokaat yang tidak lengkap pada kisah Dzul Yadain. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ مِنْ اثْنَتَيْنِ فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ
dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, ketika Rasulullah menyelesaikan shalatnya yang baru dua raka’at, Dzul Yadain berkata kepada Beliau: “Apakah shalat diqashar ataukah anda lupa, wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Apakah benar yang dikatakan Dzul Yadain?” Orang-orang menjawab: “Benar”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan mengerjakan shalat dua raka’at yang kurang tadi kemudian memberi salam. Kemudian Beliau bertakbir lalu sujud seperti sujudnya (yang biasa) atau lebih lama lagi (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena khawatir menjadi wajib seperti shalat tarawih berjamaah yang ditinggalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
dari Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anha mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat dibelakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan Beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.” (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu hanya karena tidak tergagas semata, misalnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak membuat mimbar untuk khutbah jum’at, dan baru membuat mimbar setelah diusulkan salah seorang shahabat. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَجْعَلُ لَكَ شَيْئًا تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلَامًا نَجَّارًا قَالَ إِنْ شِئْتِ قَالَ فَعَمِلَتْ لَهُ الْمِنْبَرَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ قَعَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ الَّذِي صُنِعَ فَصَاحَتْ النَّخْلَةُ الَّتِي كَانَ يَخْطُبُ عِنْدَهَا حَتَّى كَادَتْ تَنْشَقُّ فَنَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَخَذَهَا فَضَمَّهَا إِلَيْهِ فَجَعَلَتْ تَئِنُّ أَنِينَ الصَّبِيِّ الَّذِي يُسَكَّتُ حَتَّى اسْتَقَرَّتْ قَالَ بَكَتْ عَلَى مَا كَانَتْ تَسْمَعُ مِنْ الذِّكْرِ
dari Jabir bin ‘Abdullah radliallahu ‘anhu bahwa ada seorang wanita kaum Anshar berkata, kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tidakah sebaiknya aku buatkan sesuatu yang bisa baginda pergunakan untuk karena aku punya pembantu yang pekerjaannya sebagai tukang kayu?” Beliau menjawab: “Silakan bila kamu kehendaki”. Sahal berkata: “Maka wanita itu membuatkan mimbar. Ketika hari Jum’at Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk diatas mimbar yang telah dibuat tersebut. Lalu batang pohon kurma yang biasanya beliau berkhathbah di atasnya berteriak hingga hampir-hampir batang pohon itu terbelah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam turun menghampiri batang kayu tersebut lalu memegang dan memeluknya hingga akhirnya batang kayu tersebut merintih dengan perlahan seperti bayi hingga akhirnya berhenti dan menjadi tenang. Beliau berkata: “Batang kayu itu menangis karena dzikir yang pernah didengarnya ” (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena sudah termasuk keumuman Nash,seperti puasa Dawud. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak melakukan pausa Dawud namun menjelaskan dengan ucapan bahwa puasa tersebut adalah puasa yang paling afdhol.
Bukhari meriwayatkan;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَنْكَحَنِي أَبِي امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ فَكَانَ يَتَعَاهَدُ كَنَّتَهُ فَيَسْأَلُهَا عَنْ بَعْلِهَا فَتَقُولُ نِعْمَ الرَّجُلُ مِنْ رَجُلٍ لَمْ يَطَأْ لَنَا فِرَاشًا وَلَمْ يُفَتِّشْ لَنَا كَنَفًا مُنْذُ أَتَيْنَاهُ فَلَمَّا طَالَ ذَلِكَ عَلَيْهِ ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ الْقَنِي بِهِ فَلَقِيتُهُ بَعْدُ فَقَالَ كَيْفَ تَصُومُ قَالَ كُلَّ يَوْمٍ قَالَ وَكَيْفَ تَخْتِمُ قَالَ كُلَّ لَيْلَةٍ قَالَ صُمْ فِي كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةً وَاقْرَإِ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَالَ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْجُمُعَةِ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ أَفْطِرْ يَوْمَيْنِ وَصُمْ يَوْمًا قَالَ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ صُمْ أَفْضَلَ الصَّوْمِ صَوْمَ دَاوُدَ صِيَامَ يَوْمٍ وَإِفْطَارَ يَوْمٍ
dari Abdullah bin Amru ia berkata; Bapakku menikahkanku dengan seorang wanita yang memiliki kemuliaan leluhur. Lalu bapakku bertanya pada sang menantunya mengenai suaminya. Maka sang menantu pun berkata, “Dia adalah laki-laki terbaik, ia belum pernah meniduriku dan tidak juga memelukku mesra semenjak aku menemuinya.” Maka setelah selang beberapa lama, bapakku pun mengadukan hal itu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akhirnya beliau bersabda: “Bawalah ia kemari.” Maka setelah itu, aku pun datang menemui beliau, dan belaiau bersabda: “Bagaimanakah ibadah puasamu?” aku menjawab, “Yaitu setiap hari.” Beliau bertanya lagi, “Lalu bagaimana dengan Khataman Al Qur`anmu?” aku menjawab, “Yaitu setiap malam.” Akhirnya beliau bersabda: “Berpuasalah tiga hari pada setiap bulannya. Dan bacalah (Khatamkanlah) Al Qur`an sekali pada setiap bulannya.” Aku katakan, “Aku mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, berpuasalah tiga hari dalam satu pekan.” Aku berkata, “Aku masih mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, berbukalah sehari dan berpuasalah sehari.” Aku katakan, “Aku masih mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda: “Berpuasalah dengan puasa yang paling utama, yakni puasa Dawud, yaitu berpuasa sehari dan berbuka sehari. (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena khawatir memberatkan shahabat, seperti pelaksanaan shalat isya’ di tengah malam. Sebenarnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ingin shalat isya’ berjamaah di tengah malam atau sepertiga malam, namun karena khawatir memberatkan umatnya maka hal tersebut tidak dilakukan. An-Nasai meriwayatkan;
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْمَغْرِبِ ثُمَّ لَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَخَرَجَ فَصَلَّى بِهِمْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا وَنَامُوا وَأَنْتُمْ لَمْ تَزَالُوا فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرْتُمْ الصَّلَاةَ وَلَوْلَا ضَعْفُ الضَّعِيفِ وَسَقَمُ السَّقِيمِ لَأَمَرْتُ بِهَذِهِ الصَّلَاةِ أَنْ تُؤَخَّرَ إِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ
dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata; “Kami shalat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, kemudian beliau Shallallahu’alaihi wasallam keluar kepada kami hingga telah lewat separuh malam. Lalu beliau keluar dan shalat bersama mereka, lantas bersabda: “Orang-orang sudah shalat dan mereka telah tidur dan kalian selalu dalam keadaan orang yang shalat selama masih menunggu shalat. Seandainya tidak menambah lemah orang yang lemah dan tidak menambah sakit orang yang sakit, maka aku pasti memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat ini sampai pertengahan malam.” (H.R.An-Nasai)
hadis yang senada juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzy;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sekiranya tidak memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya hingga sepertiga atau pertengahan malam.” (H.R.At-Tirmidzi)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena khawatir mengubah hati shahabat dan menimbulkan masalah di tengah-tengah umatnya seperti rencana membangun kembali Ka’bah. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebenarnya ingin membongkar Ka’bah dan membangun kembali pondasinya menurut pondasi yang semestinya. Namun, karena beliau melihat Shahabat-shahabtnya masih dekat dengan masa Jahiliyyah, maka beliau meninggalkan keinginan tersebut. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا حَدَاثَةُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ ثُمَّ لَبَنَيْتُهُ عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّ قُرَيْشًا اسْتَقْصَرَتْ بِنَاءَهُ وَجَعَلْتُ لَهُ خَلْفًا
dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, kepadaku: “Seandainya bukan karena zaman kaummu yang masih dekat dengan kekufuran tentu aku sudah membongkar Ka’bah lalu aku bangun kembali diatas pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam karena orang-orang Quraisy telah mengurangi pembangunannya dan aku akan buatkan pintu (dari belakangnya) ” (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggalkan sesuatu karena persoalan memang belum terjadi, misalnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf, tidak pernah memberi hukum untuk kasus waris kombinasi antara kakek dengan saudara, tidak pernah membagi warisan dengan cara ‘Aul, dll.
Jadi, apa yang ditinggalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak bisa langsung dimaknai haram, namun harus dikaitkan dengan Nash-Nash yang lain dan dihubungkan dengan qorinah-qorinah seputar topik tersebut untuk memahami status apa yang ditinggalkan apakah bermakna haram, mubah, sunnah, dll. Seandainya apa yang ditinggalkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ secara mutlak semuanya bermakna haram, niscaya para shahabat sedikitpun tidak akan berani melakukan apapun secara mutlak apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Faktanya, dalam sejarah ada banyak hal yang dilakukan shahabat yang tidak dilakukan oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ baik terkait ibadah maupun selain Ibadah. Para shahabat shalat tarawih berjamaah sebulan penuh, adzan dua kali saat Jum’at, puasa sepanjang masa, mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, memperluas masjid Nabawy, dll yang semuanya menunjukkan bahwa apa yang tidak dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak langsung difahami sebagai hal yang haram.
Mengharamkan sesuatu harus dinyatakan oleh dalil, tidak cukup hanya dengan argumentasi: Tidak pernah dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Keharaman sesuatu yang didasarkan dalil bentuknya bisa berupa larangan tegas seperti larangan berzina dalam ayat berikut;
dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isro’ 32)
Bisa juga berupa lafadz lugas tahrim (mengharamkan), misalnya haramnya bangkai, darah, daging babi dalam ayat berikut;
diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi (Al-maidah;3)
Bisa juga berupa ancaman keras atau kecaman tajam terhadap sesuatu seperti ancaman hukuman potong tangan dan larangan Tasyabbuh dalam hadis;
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Al-Maidah; 38)
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
dari ‘Amru bin Syu’aib dari Ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan termasuk golonganku orang yang Tasyabbuh (menyerupai atau mengikuti) kepada selain kami (H.R. At-Tirmidzi)
Pendeknya, sesuatu bisa dikatakan haram jika dinyatakan oleh dalil dengan qorinah yang tegas menunjukkan keharoman. Tidak semata-mata hanya karena tidak pernah dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Ibnu Umar pernah mengkritik orang yang menyimpulkan langsung bahwa lafadz nahaa (melarang) adalah bermakna harom. Ibnu umar mengkritik cara menyimpulkan yang demikian karena lafadz naha bisa bermakna makruh, bukan haram. Ibnu Rojab menulis dalam kitabnya Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam:
قالَ ابنُ المبارك : أخبرنا سلاَّمُ بن أبي مطيع ، عن ابن أبي دخيلةَ ، عن أبيه ، قالَ : كنتُ عندَ ابن عمر ، فقالَ : نهى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الزَّبيب والتَّمر ، يعني : أنْ يُخلطا ، فقال لي رجل من خلفي : ما قال ؟ فقلتُ: حرَّم رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – الزبيب والتمر ، فقال عبد الله بنُ عمر : كذبتَ ، فقلتُ : ألم تقل : نهى رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – عنه ، فهو حرامٌ ؟ فقال : أنت تشهد بذاك ؟ قال سلاَّم : كأنه يقول : من نهي النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ما هو أدب .
Ibnu Al-Mubarok berkata; Sallam bin Abi Muthi’ memberitahu kami dari Ibnu Abi Dakhilah beliau berkata: Aku berada di sisi Ibnu Umar. Beliau berkata: Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam melarang anggur kering dan kurma kering, yakni untuk dicampur. Maka seorang lelaki dibelakangku bertanya: Apa yang dia katakan? Maka aku menjawab: Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam mengharamkan anggur kering dan kurma kering (untuk dicampur). Maka Abdulah bin umar berkata: Engkau berdusta. Aku berkata: bukankah engkau mengatakan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam telah melarangnya, bukankah itu bermakna haram?beliau bertanya; Engkau bersaksi atas hal tersebut?Sallam berkata; seakan-akan beliau menjelaskan: diantara larangan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam ada yang termasuk adab -tidak disukai/makruh– (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, vol 12. Hlm 32)
Ulama-ulama Faqih di kalangan ulama salaf seperti Malik, As-Syafi’i dll justru sangat berhati-hati untuk menghukumi harom. Mereka lebih suka mengatakan makruh terhadap persoalan yang belum diyakini keharomannya, atau ada sejenis kesamaran, atau ada ikhtilaf. Ibnu Rojab menyatakan;
وقد ذكرنا فيما تقدم عن العلماء الورعين كأحمد ومالك توقيا إطلاق لفظ الحرام على ما لم يتيقن تحريمه ما فيه نوع شبهة أو اختلاف وقال النخعي كانوا يكرهون أشياء لا يحرمونها وقال ابن عون
Telah kami sebutkan sebelumnya ulama-ulama Wara’ seperti Ahmad dan Malik yang menjauhi memvonis dengan lafadz Haram terhadap sesuatu yang tidak diyakini keharamannya, selama di dalamnya masih ada sejenis kesamaran atau ikhtilaf. An-Nakho’iy berkata: mereka memakruhkan sesuatu, tidak mengharamkannya. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Hlm 280)
Dari sini jelaslah, bahwa menentukan status haram haruslah hati-hati. Memvonis haram hanya karena nabi tidak pernah melakukan dikhawatirkan termasuk kekurang hati-hatian yang bertentangan dengan sifat Wara’. Dikhawatirkan pula sikap demikian tercakup dalam kandungan ayat yang mencela orang yang mengharamkan yang dihalalkan Allah atau sebaliknya. Allah berfirman;
dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (An-Nahl; 116)
Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah ?” (Yunus; 59)
Sampai titik ini bisa dilanjutkan; Jika apa yang tidak dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ saja tidak bisa langsung difahami sebagai haram, maka apa yang tidak dilakukan Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan ulama-ulama salaf lebih utama untuk tidak difahami sebagai haram apalagi menjadi dalil. Hal itu dikarenakan apa yang tidak dilakukan mereka lebih banyak lagi faktornya sehingga kemungkinan maknanya juga semakin banyak. Apalagi perbuatan selain nabi bukanlah menjadi dalil, sehingga tidak bisa dibahas dalam diskusi hukum syara’.
Tambahan lagi, klaim bahwa shahabat tidak pernah melafalkan niat terbantahkan dengan riwayat Aisyah yang merekomendasikan lafadz niat untuk haji yang disertai Isytiroth yang mana lafadz yang beliau rekomendasikan berbeda dengan lafadz yang dibaca nabi saat berniat haji. Ibnu Abbas juga diriwayatkan melafalkan niat puasa sebagaimana Abu Ad-Darda’ Abu Hurairah, Abu Tholhah, dan Hudzaifah. Jadi, berdasarkan riwayat-riwayat ini, klaim bahwa shahabat tidak pernah melafalkan niat tidak bisa diterima.
Demikian pula klaim bahwa tidak ada ulama salaf atau Imam 4 madzhab yang melafalkan niat. Klaim ini tidak bisa diterima karena ada riwayat bahwa Imam As-Syafi’i melafalkan niat sebelum shalat. Ibnu Al-Muqri’ meriwayatkan dalam Mu’jamnya dengan sanad yang terang seperti matahari sebagai berikut;
أخبرنا ابن خزيمة ، ثنا الربيع قال : « كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة قال : بسم الله ، موجها لبيت الله مؤديا لفرض الله عز وجل الله أكبر »
Ibnu Khuzaimah memberitahu kami, Ar-Robi’ memberitahu kami, beliau berkata; Adalah Asy-Syafi’I jika hendak memasuki shalat beliau berkata; Bismilllah, muwajjihan libaitillah, mu-addiyan lifardhillah ‘azza wajalla Allahu akbar -dengan nama Allah, dalam keadaan menghadap rumah Allah, untuk menunaikan kewajiban yang dibebankan Allah Azza wajalla Allahuakbar- (Mu’jam Ibnu Al-Muqri’, vol 1, hlm 318)
Jelas sekali dalm riwayat ini Imam Syafi’I melafalkan niat. Riwayatnya bahkan memakai lafadz كان yang secara bahasa menunjukkan istimror (terus menerus) atau sering dilakukan. Bagaimana bisa keharoman dinisbatkan kepada seorang Imam besar yang menjadi panutan umat dari berbagai masa? Bagaimana bisa bid’ah dinisbatkan kepada seorang ulama salaf yang telah diakui permusuhannya terhadap bid’ah, yang memiliki reputasi ilmu tinggi dan kesalihan yang menjadi teladan? Riwayat pelafalan niat oleh imam As-Syafi’i ini dalam sejumlah forum diskusi memaksa para syaikh (rahimahumullah) yang mengharamkan pelafalan niat menjadi bertawaqquf, karena sulit menjelaskannya.
Kedua; (argumentasi kedua pendapat yang mengharomkan pelafalan niat)
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah memerintahkan pelafalan niat ketika menyampaikan perintah ibadah atau mengajarkannya. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidk pernah memerintahkan membaca niat ketika mengajarkan shalat, wudhu, Tayamum, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah yang lain. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajari orang shalat, misalnya dalam hadis berikut ini;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَصَلَّى وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَجَاءَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَقَالَ لَهُ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ سَلَّمَ فَقَالَ وَعَلَيْكَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ فَأَعْلِمْنِي قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ وَاقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ….
dari Abu Hurairah, ada seorang laki-laki masuk masjid dan shalat, sedang Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam ketika itu berada di pojok masjid. kemudian lelaki tersebut datang menemui Nabi dan memberi salam, tapi beliau berujar: “kembali dan shalaatlah, (karena) kamu belum melakukan shalat!” Orang itu mengulangi shalatnya dan mengucapkan salam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi; “kembalilah dan lakukan shalat (lagi), sebab engkau belum melakukan shalat!” Pada kali ketiganya, orang itu berujar; ‘ajarilah aku! ‘ Nabi menjawab: “Jika kamu hendak melakukan shalat, sempurnakanlah wudhu dan menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah dan bacalah al qur`an yang mudah bagimu… (H.R.Bukhari)
Pelafalan pertama yang diajarkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah takbir, bukan pelafalan niat. Demikian pula ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyampaikan perintah berwudhu sebelum shalat dalam ayat berikut;
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku (Al-Maidah;6)
Tidak ada perintah melafalkan niat dalm ayat tersebut sebagaimana juga tidak ada perintah pelafalan niat dalam hadis. Karena itu pelafalan niat adalah batil, dan hukumnya haram.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Kesalahan utama pendapat yang mengkritik pelafalan dengan memakai banyak kutipan Nash demi membuktikan bahwa Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan pelafalan niat adalah karena mempersepsikan pelafalan itu bagian dari kaifiyah ibadah yang mempengaruhi status ibadah seakan-akan menjadi syarat sah, rukun, dan shifat. Berusaha mencari perintah lugas dalam Nash yang memerintahkan pelafalan niat memang tidak akan ketemu, karena jika ada perintah langsung maka status hukumnya akan menjadi wajib (dan tidak akan ada ikhtilaf) baik statusnya adalah syarat sah atau rukun. Atau minimal sunnah yang pelakunya mendapat pahala jika melakukannya. Penjelasan yang diberikan terkait hukum pelafalan niat di sini adalah mubah, sehingga pembuktian dengan cara mencari kutipan Nash yg menjelaskan perintah pelafalan secara langsung menjadi tidak relevan.
Perintah takbir ketika memulai shalat dalam hadis yang dikutip misalnya, para fuqoha sepakat memaknainya sebagai sesuatu yang wajib, yakni menjadi rukun shalat. Takbir pertama kali untuk memulai shalat dihukumi wajib berdasarkan adanya perintah langsung dan diistilahkan dengan nama Takbirotul Ihram.
Tambahan lagi, dalil syara’ itu bukan hanya perintah. Ucapan Rasulullah misalnya, yang menjadi dalil bukan hanya perintah-perintahnya tetapi seluruh ucapan beliau secara mutlak meski redaksinya bukan perintah. Perintah (amr) hanyalah salah satu redaksi dalil, bukan satu-satunya redaksi dalil. Meski tidak ada perintah, jika Rasulullah telah pernah mengucapkan, maka hal itu menjadi dalil kebolehannya sebagaimana pada persoalan pelafalan niat ini.
Ketiga;
Melafalkan niat termasuk beramal dengan sesuatu yang tidak diperintahkan, padahal hadis nabi menunjukkan siapapun yang beramal tanpa ada perintah, maka amalnya tersebut tertolak. Imam Muslim meriwayatkan;
عن عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengamalkan suaru perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.” (H.R.Muslim)
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Yang dicela oleh syariat dalam hadis di atas adalah amalan yang keluar dari syariat dan tidak terikat oleh syariat. Ubaidullah Al-Mubarokfury berkata dalam kitabnya Mirqot Al-Mafatih, Syarh Misykat Al-Mashobih:
يعني من عمل عملاً خارجاً عن الشرع ليس متقيداً بالشرع فهو مردود. قال الحافظ: قوله: “من عمل” أعم من قوله: ” من أحدث” فيحتج به في إبطال جميع العقود المنهية، وعدم وجود ثمراتها المرتبة عليها
Maksudnya; barangsiapa melakukan perbuatan di luar syariat dan tidak terikat syariat, maka perbuatan tersebut tertolak. Ibnu Hajar berkata; Sabda beliau: barangsiapa melakukan perbuatan, lebih umum daripada sabda beliau yang lain “barang siapa membuat-buat”. Sehingga dengan hadis tersebut bisa dijadikan hujjah untuk membatalkan semua akad-akad yang terlarang, dan tidak adanya efek-efek akad yang bisa dianggap (Mirqot Al-Mafatih, Syarh Misykat Al-Mashobih, vol.1, hlm 236)
Adapun amalan yang disimpulkan hukumnya mubah berdasarkan Nash, berarti amalan tersebut tidak keluar dari Nash dan bahkan terikat oleh Nash. Mubahnya pelafalan niat digali dari Nash, sehingga bisa dikatakan bahwa pelafalan niat itu masih terikat oleh hukum syara dan tidak keluar dari hukum syara’. Yang digolongkan amal tertolak itu jika tidak didasarkan oleh Nash, dan tidak terikat oleh Nash, misalnya amal yang didasarkan oleh akal atau hawa nafsu.
Keempat;
Melafalkan niat termasuk hal baru, dan setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka sebagaimana diisyaratkan dalam hadis berikut ini;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
dari Jabir bin ‘Abdullah dia berkata; “ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkhutbah, maka beliau memuji dan menyanjung Allah dengan hal-hal yang menjadi hak-Nya, kemudian bersabda: ‘Barangsiapa telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Barangsiapa telah disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk kepadanya. Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka’. (H.R.An-Nasai)
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Bid’ah bukanlah perbuatan yang baru, juga bukan benda baru, juga bukan pemikiran baru hasil eksperimen, juga bukan pemikiran baru yang dirumuskan untuk memahami dien, juga bukan pemikiran baru yang merupakan hasil pemahaman Nash. Bid’ah adalah pemikiran baru yang bertentangan dengan ajaran Islam. Setiap produk pemikiran baru yang bertentangan dengan Nash, maka itu adalah bid’ah dan perbuatan untuk melaksanakan ide baru tersebut adalah perbuatan harom, dan boleh disebut sebagai perbuatan bid’ah.
Bid’ah bukan setiap perbuatan baru, karena jika perbuatan baru diharamkan Syara, Niscaya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ akan mengontrol seluruh perbuatan shahabat agar tidak memproduksi perbuatan baru apapun.
Bid’ah juga bukan setiap benda baru yang muncul, karena jika benda baru diharamkan syara’ niscaya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ akan melarang seluruh penemuan benda baru untuk apapun kepentingannya.
Bid’ah juga bukan pemikiran baru hasil eksperimen yang menyingkap rahasia hukum sebab-akibat di alam semesta, karena ilmu sains termasuk perkara duniawi yang diserahkan syara’ kepada manusia.
Bid’ah juga bukan pemikiran baru yang dirumuskan untuk membantu memahami dien seperti ushul fikih, ulumul quran, ulumul hadist, nahwu shorof dll karena semua itu justru bagian dari tafaqquh fiddin.
Bid’ah juga bukan pemikiran baru yang merupakan hasil pemahaman Nash, misalnya cara pembagian waris dengan cara ‘Aul, mengqishos pembunuh berkelompok dll, karena semua ini disebut ijtihad, ijtihad jika salah pahalanya satu dan jika benar pahalanya dua.
Bid’ah adalah pemikiran baru yang bertentangan dengan Nash, misalnya menggagas bahwa malaikat itu berpasang-pasangan, shalat wajib hanya dua kali, wanita tidak wajib menutup aurot, penghapusan kepemilikan, kedaulatan membuat hukum ditangan manusia dll. Semua produk pemikiran seperti ini adalah bid’ah, dan haram diikuti, karena siapapun yang mengikuti bid’ah pasti dia meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah dan mengikuti selain Allah dan RasulNya.
Pemikiran mubahnya melafalkan niat dalam ibadah tidak bisa disebut bid’ah, karena pemikiran itu didasarkan pada pemahaman Nash. Seandainya bid’ah difahami perbuatan baru secara mutlak, maka konsep ini akan sulit diterapkan mengingat banyak perbuatan baru yang dilakukan shahabat dan para ulama assalafus sholih yang tidak pernah dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dalam hal doa misalnya, para shahabat banyak membaca doa yang dibuat sendiri dan tidak pernah diucapkan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Diriwayatkan Abubakar berdoa dengan doa sebagaimana tampak dalam riwayat berikut;
وكان آخرُ دُعاء أبي بكر الصدِّيق رضي الله عنه في خُطْبته: اللهم اجعلْ خيرَ زَماني آخرَه، وخيرَ عَملي خواتِمَه، وخيرَ أيامي يومَ لِقائك.
Akhir doa Abu Bakar As-Shiddiq dalam khutbahnya: Ya Allah jadikanlah waktu terbaikku adalah akhir umurku, dan sebaik-baik amalku yang penghabisan dan sebaik-baik hariku adalah hari aku bertemu denganMu (Al-‘Iqdu Al-Farid, vol.1, hlm 336)
Demikian pula umar. Diantara doa yang diriwayatkan dibaca oleh umar ada dalam riwayat berikut;
عن عمر بن الخطاب يقول ثلاث كلمات إذا قلتها فهيمنوا عليها اللهم إني ضعيف فقوني اللهم إني غليظ فليني اللهم إني بخيل فسخني
Dari Umar bin Khattab, beliau berkata: Tiga hal jika aku mengucapkannya maka aminkanlah. Ya Allah sesungguhnya aku lemah, maka kuatkanlah aku. Ya Allah sesungguhnya aku keras, maka lunakkanlah aku. Ya Allah sesungguhnya aku pelit, maka jadikan aku dermawan (At-Thobaqot Al-Kubro, vol.3,hlm 275)
Demikian pula Ibnu Al-Jauzy. Diantara doa yang dibaca Ibnu Al-Jauzy ada dalam riwayat berikut;
دعاء ابن الجوزي
الهي لا تعذب لسانا يخبر عنك ولا عينا تنظر إلى علوم تدل عليك ولا قدما تمشي إلى خدمتك ولا يدا تكتب حديث رسولك فبعزتك لا تدخلني النار فقد علم أهلها أني كنت أذب عن دينك
Ilahi, jangan Engkau siksa lisan yang memberi kabar tentangMu, jangan Engkau siksa mata yang melihat ilmu yang menunjukkan kepadaMu, jangan Engkau siksa kaki yang berjalan untuk berkhidmat kepadaMU, jangan pula Engkau siksa tangan yang menulis hadis RasulMu. Dengan kemuliaanmu, jangan Engkau masukkan aku ke dalam neraka. Sungguh, penghuninya telah mengetahui bahwa aku membela dienMu (Syadzarot Adz-Dzahab, vil.4, hlm 331)
Bahkan, ada riwayat bahwa Ibnu Taimiyah berdoa dalam sujudnya memakai bait syair seorang penyair penjilat yang pernah mengaku sebagi nabi yang bernama Al-Mutanabby. Ibnu Katsir menulis;
قوله: يا من ألوذ به فيما أؤمله * ومن أعوذ به مما أحاذره لا يجبر الناس عظما أنت كاسره * ولا يهيضون عظما أنت جابره وقد بلغني عن شيخنا العلامة شيخ الاسلام أحمد بن تيمية رحمه الله أنه كان ينكر على المتنبي هذه المبالغة في مخلوق ويقول: إنما يصلح هذا لجناب الله سبحانه وتعالى.وأخبرني العلامة شمس الدين بن القيم رحمه الله أنه سمع الشيخ تقي الدين المذكور يقول: ربما قلت هذين البيتين في السجود أدعو لله بما تضمناه من الذل والخضوع.
Syair Al-Mutanabby;
Wahai yang aku bersimpuh padanya karena apa yang aku harapkan
Wahai yang aku berlindung kepadanya dari apa yang aku takutkan
Orang-orang tak ‘kan sanggup menyatukan tulang yang kaupatahkan,
Dan mereka juga tak ‘kan sanggup mematahkan tulang yang kau satukan.
Telah sampai berita kepadaku bahwa Syaikh kita Al-‘Allamah Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah rahimahullah mengingkari Al-Mutanabby yang berlebihan memuji makhluk dengan syair ini. Beliau berkata; Ucapan seperti ini hanya layak ditujukan kehadirat Allah. Al-‘Allamah Syamsuddin Ibnu Al-Qoyyim rahimahullah juga memberitahu aku bahwasanya beliau mendengar Syaikh ibnu Taimaiyah berkata; Kadang-kadang aku mengucapkan dua bait syair ini dalam sujud sebagai doa kepada Allah karena kandungan maknanya yang berisi kehinaan dan kerendahan diri (Al-Bidayah Wa An-Nihayah)
Lafadz-lafadz doa ini tidak pernah diriwayatkan dibaca oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Namun bisakah divonis bahwa membuat doa adalah aktivitas bid’ah, dan perbuatan membaca doa dari doa buatan sendiri adalah perbuatan bid’ah dengan argumen Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah melakukannya? Bisakah Ibnu Taimiyah divonis berbuat bid’ah karena membaca dalam sujudnya sebuah doa yang dicuplik dari syair seorang penyair penjilat yang bernama Al-Mutanabby dengan alasan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak pernah melakukannya dan tidak pernah memerintahkannya?
Bid’ah, bukan perbuatan yang baru, tapi pemikiran baru yang bertentangan dengan syara’ baik diekspresikan dengan perbuatan ataukah tidak.
Adapun klaim bahwa As-Suyuthi menggolongkan pelafalan niat sebagai bid’ah, maka hal tersebut tidak benar dan merupakan jenis kesilapan (jika tidak sengaja) atau ketidakamanahan (jika kesalahan mengutip itu dilakukan dengan sengaja). Yang benar, yang digolongkan bid’ah oleh As-Suyuthi adalah was-was, bukan melafalkan niat. As-Suyuthi berkata;
ومن البدع أيضاً الوسوسة في نية الصلاة، ولم يكن ذلك من فعل النبي ولا أصحابه، كانوا لا ينطقون بشيء من نية الصلاة سوى التكبير.
Diantara bid’ah juga adalah was-was dalam niat shalat sementara hal tersebut (was-was) bukan perbuatan nabi juga bukan perbuatan shahabat-shahabatnya. Mereka tidak mengucapkan apapun dalam niat shalat selain takbir. (Al-Amru bil Ittiba’ Wn-Nahyu ‘An Al-Ibtida’, hlm 31)
Jadi yang dikritik As-Suyuthi adalah was-wasnya, bukan pelafalannya. Sejauh dugaan kami (wallahua’alam) maksudnya adalah jika orang melafalkan niat sebagai bentuk kewajiban yang mempengaruhi keabsahan niat. Sehingga karena keyakinannya seperti ini, maka dia selalu ditimpa was-was terus menerus setiap kali berniat shalat.
Dalam kitab Al-Asybah Wa An-Nadho-ir, As-Suyuthi hanya menerangkan bahwa pelafalan niat bukan syarat sah niat. Sama sekali tidak ada kata-kata bahwa beliau membid’ahkan pelafalan niat. As-Suyuthy berkata;
والحاصل أن هنا أصلين الأول أنه لا يكفي التلفظ باللسان دونه والثاني أنه لا يشترط مع القلب التلفظ
Kesimpulannya, disini ada dua dua hal pokok/prinsip. Pertama; tidak cukup pelafalan dengan lisan tanpa (niat) hati. Kedua; tidak disyaratkan pelafalan lisan bersama niat hati (Al-Asybah wa An-Nadho-ir, hlm 30)
Kelima;
Dien Islam sudah sempurna, sebagaimana dinyatakan Allah;
pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu (Al-Maidah; 3)
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah wafat dalam keadaan tidak melafalkan niat dalam ibadahnya. Melafalkan niat dalam ibadah berarti memahami Islam belum sempurna, sehingga masih perlu ditambah syariat baru.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Argumen bahwa Islam sudah sempuna, sehingga melafalkan niat dimaknai menambah dien tidak bisa diterima karena hukum mubah tidak bermakna menambah kaifiyyah ibadah baik terkait syarat, rukun,maupun shifat. Melafalkan niat tidak menambah syarat sah ibadah, tetapi masuk pembahasan wasilah/uslub (teknis) melaksanakan perintah syara’. Hukum mubah digali dari Nash, bukan dikarang menurut hawa nafsu. Sesuatu dianggap melengkapi jika berasal dari unsur luar yang ditambahkan pada sesuatu tersebut. Seluruh ijtihad yang shahih tidak boleh dianggap melengkapi kekurangan hukum Islam, tetapi justru malah menampilkan kesempurnaan Islam yang digali dari Nash-Nash yang ada yang mencakup seluruh problematika manusia yang sanggup menjawab tantangan zaman dari berbagai masa.
Keenam;
Al-Quran melarang Tasyri’ (mensyariatkan) dien karena Tasyri’ hanyalah hak Allah saja. Allah berfirman;
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (Asy-Syuro; 21)
Melafalkan niat tidak pernah diperintahkan Allah dan RasulNya, juga tidak pernah dicontohkan. Karena itu melafalkan niat termasuk Tasyri’ dien yang dilarang.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memang benar kita harus berhati-hati agar tidak sampai melakukan Tasyri’ Dien, namun pada saat yang sama kita juga harus berhati-hati agar tidak mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Yang demikian itu dilarang keras dalam Al-Quran dan pelakunya sama seperti rahib-rahib dan pendeta-pendeta ahli kitab yang menjadi Robb selain Allah. Allah berfirman;
dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (An-Nahl;116)
mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah (T-Taubah; 31)
Berargumen haramnya melafalkan niat dengan larangan Tasyri’ tidak bisa diterima, karena yang dilarang adalah Tasyri’ (membuat hukum) bukan Istinbath hukum. Istinbath adalah ijtihad dan ijtihad terpuji meskipun salah. Bedanya Tasyri’ dengan Istinbath; Tasyri’ itu membuat hukum dengan akal, sementara Istinbath itu memahami hukum dari Nash. Menjelaskan pelafalan niat hukumnya mubah tidak bermakna mensyariatkan ibadah. Karena tidak ada ibadah yang hukumnya mubah. Semua ibadah terpuji, ada yang sunnah ada yang wajib. Menjelaskan kemubahan pelafalan mubah semakna dengan menjelaskan hukum mengarang doa sendiri yang hukumnya mubah selama tidak bertentangan dengan Nash. Berdoanya adalah sunnah dan termasuk ibadah, namun mengarang lafadz doa untuk berdoa hukumnya mubah sebagaimana Ibnu Taimiyah yang berdoa dengan bait seorang penyair.
Ketujuh;
Hukum asal ibadah adalah Tauqifi sehingga, sesuatu tidak boleh dimasukkan dalam ibadah kecuali ada dalil. Mensyariatkan ibadah tanpa dalil adalah bid’ah yang haram
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Alasan bahwa hukum asal ibadah bersifat Tauqifi sehingga siapapun tidak bisa mengklaim bahwa sesuatu sebagai ibadah kecuali dengan dalil tidak bisa diterima karena pelafalan niat tidak dikatakan sebagai ibadah. Istilah ibadah merujuk pada perbuatan yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga status hukumnya tidak lepas dari status wajib atau sunnah. Tidak ada ibadah yang hukumnya mubah. Suatu perbuatan yang dilakukan untuk mengantarkan pada ibadah bukan ibadah itu sendiri, namun wasilah/uslub untuk melaksanakan ibadah. Sesuatu jika dikatakan mubah, maka hal tersebut jika dilakukan tidak ada keutamaan namun boleh saja melakukannya. Lagi pula bagi yang berpendapat sunnah, maka kesimpulan sunnah itu telah didasarkan dalil, yakni pelafalan niat nabi saat haji/umroh dan dalil-dalil lain yg semakna.
Kedelapan;
Mensyariatkan pelafalan bermakna menjadikannya sebagai syarat sementara isytiroth dalam ibadah tidak boleh kecuali dengan dalil sebagaimana suci adalah syarat sah shalat yang dinyatakan oleh dalil
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memubahkan pelafalan niat bukan berarti menjadikan pelafalan sebagai syarat. Jelas ini adalah kekeliruan fatal dalam menyimpulkan karena keabsahan niat tidak tergantung pada pelafalan.
Menjelaskan bahwa hukum melafalkan niat mubah tidak bermakna menjadikan pelafalan sebagai syarat, karena jika sesuatu menjadi syarat maka sesuatu tersebut hukumnya wajib dilakukan dan ibadah menjadi tidak sah jika dilakukan. Suci misalnya, adalah syarat shalat. Bersuci hukumnya wajib, dan shalat tidak sah tanpa bersuci. Tidak ada ulama yang mewajibkan pelafalan niat selain Abu Abdillah Az-Zubairy yang bermadzhab Syafi’i, dan itupun sudah dikritik oleh ulama2 syafi’iyyah.
Kesembilan;
Allah mengetahui yang nampak maupun tersembunyi sebagaimana disebutkan dalam firmannya;
Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, Padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Al-Hujurot;16)
Tidak perlu Allah diberitahu tentang dien seorang hamba, karena Allah mengetahui semua yang ada di langit dan dibumi. Dia juga mengetahui apa yang tampak dan tersembunyi. Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Argumentasi yang melarang pelafalan karena Allah adalah Dzat yang Maha tahu yang tampak maupun yang tersembunyi adalah argumen yang kurang mengena, karena maksud pelafalan niat bukan memberitahu Allah, tetapi mengajari orang lain, memantapkan niat, menghilangkan was-was dan hal-hal yang semakna dengan ini. Bukan berarti karena Allah mengetahui segala sesuatu dan isi hati hamba lalu melafalkan niat hukumnya haram. Kaharoman ucapan harus dinyatakan oleh dalil seperti haramnya dusta, ghibah/menggunjing, mengejek dan semisalnya. Dalam beberapa kasus melafalkan justru diperintahkan, misalnya doa. Meski Allah tahu keinginan kita, tetapi melafalkan doa justru diperintahkan.
Kesepuluh;
Ibnu Umar mengkritik orang yang melafalkan niat haji dengan keras.Ibnu Rojab menulis;
وصح عن ابن عمر أنه سمع رجلا عند إحرامه يقول اللهم إنى أريد الحج والعمرة فقال له أتعلم الناس أو ليس الله يعلم ما في نفسك
Ada riwayat shahih dari Ibnu Umar bahwasanya beliau mendengar seorang lelaki yang berkata saat Ihromnya; Ya Allah sesungguhnya aku ingin berhaji dan umroh. Maka ibnu Umar bertanya; Apakah engkau mengajari orang-orang? bukankah Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu? (Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, hlm 22)
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Atsar ibnu Umar, dengan asumsi shahih maka bisa difahami bahwa yang dikritik beliau adalah mengucapkan niat haji dengan keras, bukan melafalkan secara mutlak. Bisa juga difahami bahwa yang dikritik adalah ucapannya yang keras seakan-akan memberitahu niatnya kepada Allah. Jika difahami celaan pelafalan niat secara mutlak, maka hal itu bertentangan dengan perbuatan Rasulullah dan juga bertentangan dengan fatwa Aisyah yang merekomendasikan pelafalan niat haji saat isytiroth. Bagaimana mungkin Ibnu Umar mencela sesuatu yang dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ? Lagi pula perbuatan Ibnu Umar bukan dalil syara’, terlebih diketahui ada fatwa shahabat yang bertentangan dengannya sehingga tidak bisa menjadi hujjah.
Kesebelas;
Para ulama sepakat bahwa niat itu tempatnya di hati, sementara pelafalan lisan saja tidak cukup dan bukan menjadi syarat.
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Memang benar seluruh ulama sepakat bahwa niat tempatnya di hati, pelafalan tidak menjadi syarat dan tidak sah niat yang hanya dengan pelafalan. Namun sungguh jauh jika prinsip ini difahami bahwa mereka mengharamkan pelafalan niat. Statemen-statemen ulama dari berbagai madzhab yang seperti ini semuanya tidak lebih bermakna bahwa niat dengan hati sudah sah, tetapi jika melafalkan saja tanpa niat dengan hati maka tidak sah. Pelafalan bukan syarat, maknanya seandainya jika berniat tanpa melafalkan maka itu sah. Dari statemen “bukan syaratpun” bisa ditarik mafhum bahwa melafalkan tidak apa-apa. Statemen-statemen para ulama tersebut maksimal yang bisa difahami; Pelafalan niat adalah topik tersendiri yang dibahas dalam bahasan tersendiri dari segi kebolehan/terlarangnya. Namun statemen bahwa niat hanya di hati dan pelafalan bukan syarat sama sekali tdk menunjukkan pelafalan hukumnya harom.
Hendaknya berhati-hati ketika menyimpulkan pendapat ulama. Karena jika kekeliruan itu dilakukan secara sengaja, dikhawatirkan termasuk melakukan iftiro’ (mengada-ada) yang haram. Contoh penukilan pendapat yang kurang tepat adalah nukilan terhadap fatwa ‘Alauddin Ibnu Al-‘Atthor. Sebagian kaum muslimin memberi kesan bahwa beliau mengharamkan pelafalan niat secara mutlak dan bersikap keras terhadapnya dengan mengutip fatwanya sebagai berikut;
Mengeraskan suara untuk melafalkan niat yang mengganggu orang-orang yang shalat haram secara Ijma’. Jika mengeraskan suara itu tidak disertai unsur menganggu, maka itu adalah bid’ah yang buruk. Jika pelafalan itu dimaksudkan untuk pamer, maka itu haram dari dua sisi: termasuk dosa besar (dan bid’ah?). orang yang mengingkarinya adalah benar, dan yang membenarkannya adalah salah. Menisbatkannya pada dinullah disertai keyakinan adalah kekufuran, dan jika tanpa keyakinan adalah maksiat (Majmu’ah Ar Rasail Al Kubra, 1/254-257)
Pencitraan ini tidak benar, karena kutipan yang diberikan tidak utuh. Jika kutipan fatwa belau ditampilkan secara utuh maka akan diketahui bahwa beliau justru termasuk ulama yang memubahkan pelafalan niat jika tidak disertai unsur mengganggu orang lain. Berikut fatwa lengkapnya;
الحمد لله لا يشرع تعيين عدد ركعات ولا الجماعة في النية. وأما التلفظ بها من غير التشويش فلا بأس به. إذا كان مطابقا للقلب ولا يشترط ولا يجب. ورفع الصوت به مع التشويش على المصلين حرام إجماعا، ومع عدمه بدعة قبيحة. فإن قصد به الرياء كان حراما من وجهين كبيرة من الكبائر: والمنكر عبيه مصيب ومصوبه مخطئ ونسبته إلى دين الله تعالى اعتقادا كفر وغير اعتقاد معصية
Alhamdulillah. Menentukan jumlah rokaat dalam niat tidak disyariatkan sebagaimana berniat jamaah juga tidak disyariatkan. Adapun melafalkan niat tanpa mengganggu orang lain, maka hal itu tidak mengapa jika pelafalan tersebut sesuai dengan hati. Namun tidak menjadi syarat dan tidak wajib. Mengeraskan suara untuk melafalkan niat yang mengganggu orang-orang yang shalat haram secara Ijma’. Jika mengeraskan suara itu tidak disertai unsur menganggu, maka itu adalah bid’ah yang buruk. Jika pelafalan itu dimaksudkan untuk pamer, maka itu haram dari dua sisi: termasuk dosa besar (dan bid’ah?). orang yang mengingkarinya adalah benar, dan yang membenarkannya adalahs alah. Menisbatkannya pada dinullah disertai keyakinan adalah kekufuran, dan jika tanpa keyakinan adalah maksiat (Majmu’ah Ar Rasail Al Kubra, 1/254-257)
Keduabelas;
Pelafalan niat adalah pintu syetan untuk memasukkan was-was yang terkadang menggiring orang sampai menjadi stres/kacau pikiran/gila
Jawaban untuk argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Tidak semua orang yang melafalkan niat terserang was-was. Justru pada sebagian orang pelafalan niat menjadi solusi. Obat was-was adalah ilmu, bukan mengharamkan sesuatu yg tdk ada Nash yang mengharamkannya. As-Suyuthi berkata;
وقال الشافعي رحمه الله: الوسوسة في نية الصلاة والطهارة من جهل بالشرع أو خبل في العقل.
As-Syafi’i berkata: was-was dalam niat shalat dan Thaharoh adalah dikarenakan kebodohan terhadap syariat atau kekacauan dalam pikiran (Al-Amru bil Ittiba’ Wn-Nahyu ‘An Al-Ibtida’, hlm 31)
Lagi pula pintu was-was dan stres banyak sekali, seperti istri, anak, kendaraan, usaha, tabungan, perhiasan dll. Tetapi fakta bahwa hal tersebut bisa mengantarkan was-was tidak cukup untuk menjadi dalil keharaman sesuatu.
Ini semua adalah catatan untuk pendapat yang mengharamkan pelafalan niat.
Bersambung ke bahasan pendapat yang mewajibkan pelafalan niat