Oleh Ust. Muafa
Hukum
Hukum khutbah setelah salat gerhana adalah “mustahab” (dianjurkan) jika salat gerhana dilakukan secara berjamaah. Dalilnya adalah hadis berikut ini,
“Dari ‘Aisyah bahwasanya dia berkata, “Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah ﷺ . Rasulullah ﷺ lalu mendirikan shalat bersama orang banyak. Beliau berdiri dalam shalatnya dengan memanjangkan lama berdirinya, kemudian rukuk dengan memanjangkan rukuknya, kemudian berdiri dengan memanjangkan lama berdirinya, namun di bawah yang pertama. Kemudian beliau rukuk dan memanjangkan lama rukuknya, namun di bawah rukuknya yang pertama. Kemudian beliau sujud dengan memanjangkan lama sujudnya, beliau kemudian mengerjakan rakaat kedua seperti pada rakaat yang pertama. Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali. Kemudian beliau menyampaikan khutbah kepada orang banyak, beliau memulai khutbahnya dengan memuji Allah dan mengangungkan-Nya, lalu bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka banyaklah berdoa kepada Allah, bertakbirlah, dirikan shalat dan bersedekahlah.” Kemudian beliau meneruskan sabdanya: “Wahai ummat Muhammad! Demi Allah, tidak ada yang melebihi kecemburuan Allah kecuali saat Dia melihat hamba laki-laki atau hamba perempuan-Nya berzina. Wahai ummat Muhammad! Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis.” (H.R. Al-Bukhari, juz 4 hlm 159)
Lafaz yang berbunyi,
“…Kemudian beliau menyampaikan khutbah kepada orang banyak..”
Lafaz ini cukup jelas menunjukkan Rasulullah ﷺ berkhutbah setelah selesai salat gerhana. Oleh karena itu, perbuatan Rasulullah ﷺ ini menjadi dalil sunnahnya diadakan khutbah setelah salat gerhana.
Lagipula, khutbah setelah salat gerhana yang sangat jarang kejadiannya itu bisa memberikan kemaslahatan dien yang penting untuk kaum muslimin, karena momentum tersebut bisa menjadi kesempatan bagus untuk mengajarkan hukum-hukum seputar salat gerhana, hikmahnya, hubungannya dengan tauhid, dan amalan-amalan akhirat yang berguna bagi setiap hamba beriman.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa khutbah setelah salat gerhana tidak dianjurkan maka pendapat ini didasarkan argumentasi sebagai berikut.
Pidato Nabi ﷺ setelah salat gerhana adalah pidato dalam rangka menjelaskan hukum salat gerhana dan penjelasan hakikat gerhana menurut akidah Islam. Lagi pula konteks pidato Nabi ﷺ adalah untuk mengoreksi persepsi keliru sebagian kaum muslimin yang menyangka bahwa gerhana matahari waktu itu terjadi karena matahari iktu “berduka” atas kematian Ibrahim, putra Rasulullah ﷺ dari Mariah Al-Qibthiyyah. Oleh karena itu, pidato Nabi ﷺ ini bersifat “‘aridh” (insindental), bukan sunnah yang menjadi bagian dari tatacara salat gerhana. Pidato Nabi ﷺ cukup dipahami sebagai “bayan”, “mau’izhoh”, “ikhbar”, “tadzkir” atau istilah-istilah lain yang semakna, bukan khutbah yang disunnahkan.
Argumentasi ini bisa dijawab sebagai berikut,
Pidato Nabi ﷺ setelah salat gerhana zhohirnya adalah khutbah yang merupakan bagian ibadah salat gerhana, bukan sekedar sebagai “bayan”, “mau’izhoh”, “ikhbar”, dan “tadzkir”. Apalagi lafaz hadis menggunakan kata “khothoba” yang bermakna berkhutbah. Lagipula Rasulullah ﷺ memulai nasihatnya itu dengan “tahmid” dan “tsana’”, padahal kalimat ini adalah kalimat yang lazim digunakan untuk berkhutbah sebagaimana digunakan dalam khutbah jumat dan menjadi rukun khutbah Jumat.
Selain itu, tema yang dibicarakan Nabi ﷺ pada saat berpidato setelah salat gerhana tidak hanya berbicara tentang gerhana saja untuk memberi penjelasan bahwa itu tidak terkait dengan kematian Ibrahim, putranya. Tetapi Nabi ﷺ juga berbicara tentang kecemburuan dan tidak senangnya Allah terhadap hambanya yang berzina, berbicara tentang surga, berbicara tentang neraka, bicara penghuni neraka terbanyak adalah wanita, lalu memerintahkan mereka banyak sedekah dan lain-lain. Pembicaraan dengan tema yang melebar nan luas seperti ini adalah ciri-ciri khutbah, bukan sekedar “ikhbar”/”bayan”/”tadzkir” yang merespon peristiwa gerhana saja.
Lagi pula salat gerhana adalah salat yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah dan mengumpulkan banyak orang, meskipun salat secara munfarid tetap sah. Ketentuan sunnahnya berjamaah untuk salat gerhana ini sama dengan sunnahnya berjamaah untuk salat ‘id, jadi khutbah disyariatkan sebagaimana salat ied juga disyariatkan khutbah.
Adapun alasan yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ hanya memerintahkan salat pada saat terjadi gerhana, tapi tidak memerintahkan khutbah, maka argumentasi ini bisa dibantah; sunnah Nabi itu bukan hanya ucapan tapi juga perbuatan Nabi ﷺ . Ketika telah terbukti bahwa sunnah fi’liyyah Rasulullah ﷺ melakukan khutbah, maka hal ini menunjukkan khutbah setelah selesai salat gerhana juga disunnahkan.
Sunnahnya khutbah setelah salat gerhana adalah pendapat Asy-Syafi’i dan juga pendapat jumhur salaf. An-Nawawi berkata,
“Telah kami sebutkan, bahwa mazhab kami adalah dianjurkannya dua khutbah setelah salat gerhana. Ini adalah pendapat jumhur salaf. Ibnu Al-Mundzir menukilnya dari jumhur (Al-Majmu’, juz 5 hlm 53)
Ulama yang berpendapat tidak sunnah khutbah setelah salat gerhana adalah Abu Hanifah, Malik, Abu Yusuf, dan Ahmad dalam satu riwayat. Malik berpendapat disunnahkan “mau’izhoh”/”tadzkir” tapi tidak dengan tatacara khutbah.
Khutbah setelah salat gerhana hukumnya “mustahabb” dan bukan syarat sah apalagi rukunnya. Hal yang menunjukkan khutbah setelah salat gerhana bukan syarat sah adalah khutbahnya diletakkan setelah salat, bukan sebelumnya seperti salat jumat.
Waktu pelaksanaan
Waktu pelaksanaan khutbah berdasarkan hadis Al-Bukhari di atas adalah setelah salat gerhana. Perhatikan lafaz yang berbunyi,
“…Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali. Kemudian beliau menyampaikan khutbah kepada orang banyak…”
Lafaz di atas cukup lugas menunjukkan bahwa setelah Rasulullah ﷺ selesai salat gerhana, beliau berpaling, menghadap khalayak lalu berkhutbah. Oleh karena itu, lafaz hadis ini cukup jelas menunjukkan bahwa khutbah dilakukan setelah salat. Pada pembahasan sebelumnya juga telah disinggung bahwa diletakkannya khutbah setelah salat menunjukkan hukum khutbah ini sunnah bukan wajib. Tidak seperti salat jumat. Khutbah pada salat jumat dilakukan sebelum salat jumat, sehingga dipahami khutbah jumat itu hukumnya wajib, bukan sunnah.
Satu Atau Dua Kali?
Hadis-hadis sahih yang menjelaskan tentang khutbah salat gerhana Nabi ﷺ, termasuk hadis Al-Bukhari yang telah disebutkan sebelumnya, zhohirnya menunjukkan khutbah setelah salat gerhana itu dilakukan cukup satu kali, bukan dua kali. Lagipula, salat gerhana yang dilakukan secara berjamaah hukumnya sunnah. Telah diketahui dalam sejumlah riwayat, bahwa dalam sebagian khutbah-khutbah nabi ﷺ untuk salat sunnah yang dilakukan secara berjamaah beliau pernah melakukannya di atas unta. Khutbah di atas unta wajarnya dilakukan sambil duduk. Cara seperti ini tidak memungkinkan duduk di antara dua khutbah. Oleh karena itu, riwayat ini memberi kesan kesimpulan bahwa nabi ﷺ hanya berkhutbah satu kali, tidak dua kali. Khutbah di atas kendaraan hewan ini diriwayatkan juga pernah dilakukan sebagian shahabat dan tabi’in.
Lagipula pada salat seperti ied, ada riwayat sahih yang lugas menyebut bahwa Nabi ﷺ khutbah tidak di atas mimbar, tetapi khutbah dengan bertumpu pada Bilal. Khutbah dengan berdiri di atas dua kaki dan bertumpu pada manusia tentu saja yang tidak memungkinkan dua kali khutbah. Jadi riwayat ini juga memperkuat kesan bahwa Nabi ﷺ hanya berkhutbah sekali.
Lagipula, untuk kasus salat ied, khutbah yang dilakukan Nabi ﷺ adalah ibadah tahunan yang dilakukan dua kali dalam setahun. Para shahabat meriwayatkan tatacara salat ied dan khutbah Nabi ﷺ sampai level yang sangat detail seperti informasi bahwa Nabi ﷺ salat ied dulu sebelum khutbah, beliau khutbah di atas unta, beliau bersandar pada Bilal, beliau menghadap audien, beliau datang ke jaamah wanita setelah selesai khutbah dan lain-lain. Bagaimana mungkin khutbah kedua tidak dinukil jika memang ada? Dijadikannya contoh khutbah ied disini untuk menunjukkan persamaannya dengan khutbah setelah salat gerhana dari sisi khutbah sunnahnya.
Selain itu ada riwayat yang terdapat dalam Mushonnaf Abdurrozzaq dari jalur ‘Atho’ yang menyebut bahwa kebiasaan genarasi khulafaur rosyidin adalah berkhutbah dengan berdiri tanpa mimbar, dan tanpa duduk.
Semua ini menguatkan bahwa khutbah salat kusuf dilakukan sekali, bukan dua kali.
Hanya saja, banyak ulama dari empat mazhab yang berpendapat bahwa khutbah setelah salat gerhana itu dilakukan sebanyak dua kali. Dasar utamanya adalah diqiyaskan/dianalogikan dengan khutbah jumat yang dikuatkan oleh riwayat Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah (seorang tabi’in) sebagaimana tersebut dalam kitab “Al-Umm”,
“Dari Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata, ‘adalah sunnah seorang imam berkhutbah dalam dua salat ied dengan dua khutbah yang dipisah dengan duduk (sebentar) di antara dua khutbah itu” (Al-Umm, juz , hlm 272)
Meskipun “atsar” di atas berbicara tentang khutbah salat ied, tetapi kemudian diqiyaskan dengan salat gerhana, juga salat istisqo’, khutbah haji, dan semua khutbah dalam situasi berjamaah karena kesamaan sifatnya.
Argumentasi penguat lain, salat gerhana Nabi ﷺ dilakukan di masjid. Di dalam masjid ada mimbar. Oleh karena itu, lebih dekat dipahami khutbah yang dilakukan Nabi ﷺ dilakukan dua kali dengan duduk sebentar di antara dua khutbah sebagaimana khutbah Jumat.
Hujjah lain yang dijadikan “isti’nas” adalah riwayat bahwa Rasulullah ﷺ menasihati wanita secara khusus setelah khutbah secara umum setelah salat ied. Ini dijadikan penguat bahwa khutbah itu dua kali.
Sebagian fuqoha’ bahkan mengklaim dasar utama dari sunnahnya dua khutbah adalah ijma’ yang dinukil secara mutawatir. Misalnya seperti yang dinyatakan Ibnu Al-Humam berikut ini,
“Kemudian beliau (imam) berkhutbah setelah salat dengan dua khutbah. Ketentuan ini didasarkan pada riwayat yang telah tersebar luas” (Fathu Al-Qodir, juz 3 hlm 266)
Asy-Syafi’i termasuk yang berpendapat khutbah salat gerhana dilakukan sebanyak dua kali. Beliau berkata,
“Pada salat kusuf siang hari, imam berkhutbah dua kali. Pada khutbah pertama dia duduk pada saat (setelah) naik mimbar, kemudian berdiri. Jika sudah selesai khutbah pertama, dia duduk (lagi), kemudian berdiri lalu berkhutbah dengan khutbah kedua. Jika sudah selesai turun (Al-Umm, juz 1 hlm 280)
Barangkali Asy-Syafi’i berijtihad sunnahnya dua khutbah untuk seluruh salat sunnah yang dilakukan secara berjamaah didasarkan pada praktek yang telah meluas di zamannya tanpa satupun yang mengingkari, sementara beliau tidak mendapatkan satupun nash sahih yang menyebut secara lugas bahwa khutbah salat sunnah dilakukan sebanyak dua kali. Yang beliau temukan hanyalah “atsar” dari Ubaidullah bin Abdillah bin “Utbah saja yang beliau tulis dalam Al-Umm.
Berdasarkan paparan dua pendapat di atas, barangkali yang lebih dekat adalah memahami sebagaimana pemahaman Ibnu Jarir Ath-Thobari, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al-Hasan, yakni seorang imam boleh memilih antara khutbah satu kali atau dua kali. Dasar berkhutbah satu kali adalah karena zhohir nash menunjukkan satu, sementara dasar khutbah dua kali adalah karena ada riwayat yang serupa dengan mutawatir bahwa dua khutbah itu dipraktekkan di berbagai masa sejak zaman khulafaur rosyidin sampai ini menjadi pendapat jumhur dari empat mazhab.
Untuk praktekknya di zaman sekarang, sebaiknya para dai dan ustaz yang mendapatkan amanah untuk khutbah gerhana memperhatikan kebiasaan masyarakat setempat agar tidak menimbulkan keresahan yang tidak perlu.
Tata Cara Khutbah Gerhana
Khutbah gerhana dilakukan dengan sifat dan “kaifiyyah” sama dengan khutbah jumat. Hal itu dikarenakan lafaz khutbah yang disebutkan dalam hadis adalah lafaz syar’i. Lafaz syar’i memiliki makna khas terkait tatacaranya mengikuti penjelasan dan contoh dari Nabi ﷺ. Karena sudah menjadi lafaz khas, maka harus dimaknai seperti yang dijelaskan dan dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.
Dengan demikian khutbah setelah salat gerhana harus diawali dulu dengan “tahmid” (puji-pujian) dan “tsana’” (sanjungan) terhadap Allah, kemudian disusul salawat. Kemudian tidak lupa khotib memberikan wasiat takwa, membacakan sebagian ayat Al-Qur’an, lalu memberi nasihat dan ditutup dengan doa kebaikan untuk seluruh kaum muslimin. Durasi khutbah pendek saja. Jangan sampai membuat bosan dan jangan sampai membebani, karena pendeknya khutbah dikatakan Nabi ﷺ sebagai tanda kefakihan seorang imam.
Isi Khutbah
Adapun isi khutbah, pada prinsipnya khotib mengajak kaum muslimin untuk bertaubat, berbuat kebaikan, bertaqorrub ilallah, banyak bersedekah, banyak berdoa, banyak beristighfar, dan banyak berdzikir. Terutama sekali dalam situasi seperti gerhana itu, kaum muslimin harus diajak untuk memperbarui rasa takut kepada Allah. Suasananya dibuat takut kepada Allah, bukan bersuka ria dan gegap gempita. Hal itu dikarenakan Rasulullah ﷺ memerintahkan “faza’ jika terjadi gerhana. “Faza’” bermakna “takut, gentar, dan bersegera melakukan sesuatu menghindar dari bahaya karena rasa takut tersebut”. Bukhari meriwayatkan:
“Dari Abu Musa:….Jika kalian melihat hal itu maka bersegeralah dengan gentar untuk mengingatnya, berdoa kepadanya dan meminta ampun kepadanya” (H.R.Bukhari, juz 4 hlm 184)
Adapun tatacara singkat salat gerhana sudah pernah saya buat catatannya. Lihat tulisan yang berjudul” Tata Cara Shalat Gerhana”
Wallahua’lam.