Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kurban yang kita kenal selama ini biasa disebut kurban “udh-hiyah” (الأضحية), “idh-hiyyah” (الإضحية), “dhohiyyah” (الضحية) atau “adh-hat” (الأضحاة). Kita menyembelihnya pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah salat Idul Adha, dan masih boleh menyembelihnya pada tanggal 11, 12,s ampai maksimal tanggal 13 Dzulhijjah.
Kalau begitu, apa arti kurban “hadyu” (الهدي)?
Definisi “hadyu” sebagaimana keterangan An-Nawawi adalah sebagai berikut,
“Hadyu adalah hewan atau selain hewan yang ‘dihadiahkan’ ke tanah suci. Yang dimaksud hewan di sini adalah hewan yang sah digunakan untuk berkurban, yaitu unta, sapi dan kambing” (Tahriru Alfazhi At-Tanbih, hlm 156)
Jadi, berdasarkan definisi di atas, “hadyu” itu adalah kurban yang khusus “dipersembahkan” ke tanah suci. Orang mengirimkannya ke tanah suci dengan niat “taqorrub ilalah” (mendekat kepada Allah). Dengan ungkapan lain bisa kita katakan, kurban yang disembelih ditempat masing-masing muslim dinamakan biasa/”udh-hiyah”, sementara kurban yang khusus “dipersembahkan” ke tanah suci, disembelih di sana dan dibagi-bagi dagingnya di sana disebut dengan sitilah “hadyu”. Inilah perbedaan mendasar antara kurban biasa dengan kurban “hadyu”.
Perbedaan yang lain, kurban “hadyu” itu bisa dilaksanakan kapanpun yang diinginkan. Tidak terikat waktu. Boleh dilakukan di bulan Muharrom, Shofar, Ramadan, Dzulhijjah dan seterusnya. Tidak harus pada bulan tertentu atau tanggal tertetu. Kurban “hadyu” bisa dilaksanakan sekalian menjenguk kerabat ke Mekah, atau sekalian umroh, atau sekalian haji, atau titip kepada orang yang kebetulan menuju ke Mekah untuk keperluan pribadinya. Ini tidak seperti kurban biasa/”udh-hiyah”, karena waktu pelaksanaannya dibatasi di bulan Dzulhijjah, yakni tanggal 10-13 Dzulhijjah.
Dari sini juga bisa disimpulkan bahwa kurban “hadyu” itu adalah ibadah khusus yang tidak terkait dengan ibadah lainnya. Ibadah ini bisa dilakukan kapanpun yang diinginkan tanpa harus menunggu waktu tertentu. Ia bukan bagian dari ibadah umroh dan juga bukan bagian dari ibadah haji. Ia adalah ibadah “mustaqill”/independen yang pelaksanaannya tidak tergantung ibadah lainnya. Jika orang berhaji sambil berkurban “hadyu” maka itu baik, tetapi tidak menunjukkan kurban “hadyu” adalah bagian dari haji. Jika ada orang berumroh sekalian membawa kurban “hadyu”, maka itu juga baik, tetapi tidak menunjukkan bahwa kurban “hadyu” adalah bagian dari umroh. Jika ada “hadyu” yang terkait dan beririsan dengan manasik haji, maka itu hanya kondisi khusus yang tidak selalu ada. Kondisi khusus ini insya Allah akan diterangkan kemudian.
Hukum kurban “hadyu” adalah sunnah, bukan wajib. Sebagaimana sunnahnya kurban biasa, berkurban hadyu juga disunahkan bagi orang yang mampu baik dia berkurban “hadyu” dengan datang sendiri ke Mekah maupun mewakilkan kepada orang. Dasar sunnahnya kurban “hadyu” adalah perbuatan Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang melakukan kurban “hadyu” saat melakukan umroh pada peristiwa Hudaibiyah. Al-Bukhari meriwayatkan,
“Dari Al-Miswar bin Makhromah dan Marwan, mereka berkata, ‘ Rasulullah ﷺ keluar dari Madinah pada peristiwa Hudaibiyah bersama seribu sekian ratus shahabatnya. Ketika mereka sampai di Dzu Al-Hulaifah maka Rasulullah ﷺ mengalungi hewan kurban “hadyu”-nya dan memberi tanda pada punuknya dan beliau berihram dengan niat umroh” (H.R. Al-Bukhori)
Sunnahnya kurban “hadyu” adalah hukum asal. Hanya saja dalam kondisi-kondisi tertentu kurban “hadyu” bisa menjadi wajib. Kapan saja itu?
“Hadyu” bisa menjadi wajib jika orang berhaji dengan cara “tamattu’” (umroh dulu kemudian haji) atau “qiron” (umroh sekalian dibarengkan haji). Kurban “hadyu” juga bisa menjadi wajib jika orang yang berhaji meninggalkan salah satu atau lebih “nusuk” wajib haji atau melanggar larangan ihram. Kurban “Hadyu” juga bisa menjadi wajib jika dinadzarkan. Dengan sekian ragam “hadyu” ini, sebagian ulama membagi “hadyu” menjadi 4 macam kategori yaitu “hadyu tathowwu’ (هدي التطوع), “hadyu muhshor” (هدي المحصر), “hadyu syukr” (هدي الشكر), dan “hadyu jubron” (هدي الجبران). “Hadyu tathowwu” adalah “hadyu” sunnah. “Hadyu syukr” dan “hadyu jubron” adalah “hadyu” wajib, sementara “hadyu muhshor” bisa merupakan “hadyu” sunnah dan bisa juga merupakan “hadyu” wajib.
“Hadyu” ini sudah ada sejak zaman jahiliyyah kemudian ditaqrir (dikukuhkan) oleh Islam.
Adapun tanah suci yang menjadi tempat sasaran dikirimnya “hadyu”, maka yang dimaksud adalah Mekah dan sekitarnya. Dalil yang menunjukkan bahwa “hadyu” harus dikirim ke Mekah adalah ayat berikut ini,
“(untuk menentukan hewan penebus itu hendaklah) ada dua orang adil di kalangan kalian yang memberi keputusan, sebagai “hadyu” yang dikirimkan ke Ka’bah” (Al-Maidah; 95)
Allah menyebut dalam ayat di atas bahwa “hadyu” itu di kirimkan ke Ka’bah. Para ulama menjelaskan bahwa maksud Ka’bah dalam ayat ini adalah Mekah.
Dalil lain yang menguatkan adalah ayat ini,
“Kemudian waktu halalnya (menyembelih “hadyu” itu adalah ketika) sampai ke Al-Bait Al-‘Atiq” (Al-Hajj; 33)
Dalam ayat di atas Allah juga menegaskan bahwa “mahill” (waktu halalnya menyembelih) “hadyu” adalah ketika sudah sampai “Al-Bait Al-‘Atiq”. Yang dimaksud “Al-Bait Al-‘Atiq” adalah Ka’bah dan yang dimaksud Ka’bah adalah Mekah. Jadi, “hadyu” wajib dikirim ke Mekah, tidak boleh ke tempat lain.
Rasulullah ﷺ telah mencontohkan melakukan kurban “hadyu” dan digiring dari Medinah menuju Mekah. Saat peristiwa umroh Hudaibiyah, Rasulullah ﷺ membawa 70 “hadyu” berupa unta. Sayang, waktu itu Rasulullah ﷺ dihalang-halangi kafir Quraisy sehingga tidak berhasil masuk Mekah dan “hadyu” terpaksa disembelih di Hudaibiyah. Kisah umroh dan “hadyu” Rasulullah ﷺ di Hudaibiyah ini disebutkan Allah dalam Al-Qur’an,
“Merekalah orang-orang kafir dan menghalangi kalian untuk mencapai Al-Masjid Al-Haram dan menghalangi “hadyu” seraya menahannya untuk sampai ke tempat ia halal disembelih” (Al-Fath; 25)
Saat umroh qodho’ Rasulullah ﷺ juga membawa “hadyu”. Saat Haji Wada’ (Rasulullah ﷺ berhaji ifrod) beliau membawa 70 “hadyu” kemudian ditambahi Ali 30 sehingga genap 100 ekor.
Jadi, maksud tanah suci (Al-Harom) yang menjadi tempat target “hadyu” dalam definisi “hadyu” adalah menghadiahkan hewan kurban ke Mekah. Tidak mencakup Madinah. Seandainya mencakup Madinah, tidak mungkin Rasulullah ﷺ repot-repot membawa “hadyu”-nya ke Mekah pada peristiwa perjanjian Hudaibiyyah dan terpaksa menyembelihnya di Hudaibiyah.
Kecuali kondisi terpaksa seperti “ihshor” (ditahan tidak bisa masuk Mekah), maka “hadyu” boleh disembelih di tempat manapun yang dimampui sebagaimana Rasulullah ﷺ menyembelih “hadyu”nya di Hudaibiyah ketika terhalang masuk Mekah.
Adapun maksud ungkapan “hadyu “dipersembahkan” ke Ka’bah”, maka ini adalah bahasa majasi. Maknanya, “hadyu” disembelih kemudian dagingnya dibagi-bagi kepada ke penduduk dan pengunjung yang ada disekitar Ka’bah serta Mekah pada umumnya sebagai bentuk berkah doa Nabi Ibrahim di masa lalu.
Adapun batasan area tanah suci Mekah, maka hal tersebut dijelaskan dengan detail oleh banyak ulama seperti Abu Al-Walid Al-Azroqi dalam “Kitabu Makkah”, Al-Mawardi dalam “Al-Ahkam As-Sulthoniyyah”, An-Nawawi dalam “Al-Majmu’ dan lain-lain. Zaman sekarang sudah lebih mudah lagi membayangkannya. Banyak peta dibuat untuk menjelaskan area tanah suci Mekah agar diketahui batasan georafisnya sampai mana saja. Sekedar gambaran umum, Mina dan Muzdalifah itu termasuk area tanah suci Mekah. Adapun Arafah, maka dia sudah berada di luar tanah suci. Arafah digolongkan ulama bukan tanah suci (الحرم) tetapi selain tanah suci (الحل). Zaman dulu, ketika masjidil haram belum dibangun megah seperti sekarang, biasanya orang menyembeli “hadyu” di sekitar Marwah. Pada musim haji, biasanya orang menyembelih “hadyu” di Mina.
“Hadyu” sunnah boleh dilakukan sewaktu-waktu. Semua muslim berpeluang melakukannya selama mampu. Di antara yang berpeluang untuk melakukannya adalah orang yang berhaji “ifrod”, orang yang berumroh, dan muslim dari negerinya masing-masing, baik datang sendiri dengan membawa “hadyu” maupun mewakilkan kepada orang lain. Dalil bahwa “hadyu” sunnah bisa dilakukan sewaktu-waktu adalah ayat Al-Qur’an berikut ini,
“Allah menjadikan Ka’bah sebagai rumah suci, tempat nyaman untuk manusia, (sebab dibuat) bulan suci, (sebab disyariatkannya menyembelih) ‘hadyu’, dan kalung-kalung (Al-Maidah; 97(
Dalam ayat di atas disebutkan syariat “hadyu’ tanpa diikat waktu tertentu untuk melaksanakan. Jadi ayat ini memberi pengertian bahwa “hadyu” bisa dilakukan kapanpun yang diinginkan. Ayat yang senada adalah ayat berikut ini,
“Janganlah kalian merusak syi’ar Allah, bulan suci, “hadyu” dan kalung-kalung (Al-Maidah; 2)
Ayat ini juga menyebut “hadyu’ tanpa diikat waktu tertentu untuk melaksanakan. Jadi ayat ini memberi pengertian bahwa “hadyu” bisa dilakukan kapanpun yang diinginkan.
Hewan yang hendak dijadikan kurban “hadyu” disyariatkan dilakukan dua hal, yakni “taqlid” (التقليد) dan “isy’ar” (الإشعار). Maksud “taqlid hadyu” adalah memberi kalung pada leher hewan kemudian pada kalung tersebut digantungkan dua sandal agar diketahui hewan yang dibawa adalah “hadyu”. Maksud “isy’ar” adalah memberi tanda pada punuk unta dengan cara sedikit melukainya agar diketahui hewan yang dibawa adalah “hadyu”. Jika sudah diketahui bahwa seekor hewan adalah “hadyu”, harapannya hewan tersebut tidak diganggu, tidak dicuri, tidak disembelih, tidak dikendarai kecuali dibutuhkan, dan tidak diambil susunya kecuali yang lebih dari kebutuhan anak-anaknya,
Adapun masalah makan daging kurban “hadyu”, jika “hadyu” yang dilakukan adalah “hadyu” sunnah maka sudah disepakati bahwa orang yang berkurban boleh ikut makan. Adapun jika “hadyu” wajib, maka mazhab Asy-Syafi’i berpendapat orang yang berkurban tidak boleh ikut memakannya. An-Nawawi berkata,
“Semua “hadyu” yang wajib sejak awal tanpa adanya komitmen seperti “dam tamattu’, “dam qiron” dan ”jubronat” haji maka tidak boleh dimakan (oleh orang yang berkurban) tanpa ada perselisihan” (Al-Majmu’, juz 8 hlm 417)
Wallahua’lam.
Catatan tambahan:
Transliterasi “hadyu” adalah pilihan yang mempertimbangkan keumuman. Jika melihat lafaz Arabnya (الهدي) seharusnya ditulis “al-hadyu” (jika pakai “alif lam”) atau “hadyun” jika tanpa alif lam. Mungkin juga ditulis “hady” dengan mengasumsikan waqof. Hanya saja penulisan itu bisa menimbulkan ambiguitas karena memungkinkan dibaca “hadi”. Ringkasnya, sementara kita pakai istilah “hadyu” sampai ada transliterasi resmi dari orotitas yang mengurusi bahasa Indonesia di negeri ini.