Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Nama saya adalah Abu Haura Muafa bin Mualip bin Kasiran bin Karbi bin Sowinangun Al-Jawy Al-Indunisy At-Timasy (أبو حوراء معافى بن مؤلف بن كسيران بن كاربي بن سوويناغون الجاوي الإندونيسي التماسي). Abu Haura adalah kun-yah saya, karena anak pertama saya bernama Haura. Nama Muafa adalah nama yang saya pakai semenjak saya duduk di bangku SMU. Awalnya menjadi nama pena, dan sampai sekarang tetap saya gunakan karena saya sangat suka dengan maknanya. Adapun nama yang diberikan orang tua saya, lengkapnya adalah Mokhamad Rohma Rozikin (محمد رحمة رازقين). Kata pertama nama saya memang tertulis begitu (“Mokhamad”, bukan “Muhammad”) karena demikianlah petugas pencatat kelahiran menulisnya pada zaman itu (tahun 1402 H). Mungkin karena belum ada pembakuan transliterasi huruf Arab ke Indonesia, maka tiap orang berkreasi dalam mengalih-rupakan huruf-huruf khas Arab ke lafaz Indonesia sesuai “ijtihad” masing-maisng. Akhirnya kata “Mokhamad” itulah yang sampai hari ini tercatat dalam akta kelahiran, ijazah, KTP dan berbagai dokumen-dokumen resmi lainnya.
Saat saya bertanya kepada ayah mengapa diberi nama dengan tiga kata itu, beliau menjelaskan bahwa pemberian nama Mokhamad adalah karena saya diharapkan seperti (bisa meniru) Nabi Muhammad. Nama Rohma karena saya diharapkan senantiasa mendapatkan rahmat Allah. Adapun nama Rozikin, karena saya diharapkan mendapatkan rezeki lancar. Khusus nama Rozikin ini, beberapa kali saya mendapat sorotan dari sejumlah syaikh Arab pada saat kami bertemu dalam momen tertentu. Mereka mengatakan “laa, lasta roziqin. Anta marzuq” (“Tidak, Anda bukan yang memberi rezeki, tapi Anda orang yang diberi rezeki”). Saya hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa menjawab dan berkomentar. Mau bagaimana lagi? Memang seharusnya jika mau tertib dengan tatabahasa Arab, seharusnya nama saya berbunyi Muhammad Rohma Marzuq. Tetapi mungkin karena keterbatasan bahasa Arab orangtua waktu itu, maka nama Rozikin-lah yang muncul. Tak mengapa. Kekeliruan kecil ini harus dimaklumi. Lagipula, untuk mengurus pengubahan nama dan penggantian seluruh dokumen itu prosesnya benar-benar njilmet dan memakan waktu lama di negeri ini. Jadi saya biarkan saja nama itu sampai sekarang.
Adapun laqob Al-Jawy, hal itu dikarenakan suku saya adalah Jawa. Ayah saya bersuku Jawa, tepatnya dari kota Batu, Jawa Timur. Ibu saya juga bersuku Jawa, tepatnya dari kota Blitar Jawa Timur, meskipun masa hidupnya banyak habis di Banyuwangi. Laqob Al-Indunisy karena saya tinggal di negeri yang bernama Indonesia. Sementara laqob At-Timasy menunjuk pada nama daerah setingkat kelurahan di kota Batu yaitu Temas. Susunan laqob Al-Jawy Al-Indunisy At-Timasy adalah susunan yang saya pilih karena dalam hal laqob, ketentuan yang dijelaskan para ulama adalah berangkat dari yang umum dulu, baru kemudian yang lebih khusus agar terbedakan dengan yang lain. Misalnya kita menyebut Al-Qurosyi Al-Hasyimi. Tidak boleh dibalik menjadi Al-Hasyimi, Al-Qurosyi karena Quraisy lebih umum daripada Hasyim. Adapun laqob yang penisbahannya ke negeri, biasanya disebut setelah kabilah. Misalnya kita menyebut Al-Qurosyi Al-Makki. Jika negeri yang disinggahi lebih dari satu, maka yang didahulukan adalah negeri yang terlama ditinggali, kemudian disusul negeri yang paling anyar. Misalnya kita menyebut Al-Qurosyi, Al-Makki Ad-Dimasyqi. Di antara laqob negeri yang lebih dari satu itu boleh disela-selai harf “tartib/ta’qib” yaitu “tsumma”. Misalnya kita mengatakan Al-Qurosyi, Al-Makki, tsumma Ad-Dimasyqi dan seterusnya.
Moyang terjauh saya yang bisa terlacak hanyalah sampai leluhur keempat, yaitu Sowinangun. Lebih dari itu sudah tidak ada yang tahu. Ayah saya tidak tahu, kerabat-kerabat yang lain juga tidak ada yang tahu. Jadi, sampai hari ini hanya sampai buyut Sowinangun itulah yang kita hafalkan. Dari sisi validitas nasab, hanya sampai Sowinangun itupula yang bisa dipastikan kevalidannya. Info-info yang masih simpangsiur dan belum bisa dibuktikan kebenarannya tidak saya pedulikan. Saya pernah diberitahu nenek saya dari pihak ayah, bahwa beliau masih ada keturunan dengan Sunan Giri. Hanya saja, saya masih ragu dengan info ini karena infonya hanya bersumber dari beliau saja dan sampai hari ini saya masih belum punya akses untuk meneliti lebih jauh.
Nasab leluhur sampai generasi keempat untuk tradisi di negeri kita ini sudah saya pandang lumayan. Pernah saya meminta mahasiswa di kelas untuk menyebut nasab mereka secara lengkap. Ternyata rata-rata mereka hanya tahu sampai level kakek/nenek (orangtua ayah-ibu mereka) saja. Sebagian kecil malah hanya tahu nama ayah dan ibunya. Bahkan saya ingat ada salah satu kawan yang sampai usia SMP tidak tahu nama ayah dan ibunya karena selama ini hanya mengenal dengan panggilan mama-papa saja! Hanya sebagian kecil sekali yang saya temukan di kalangan mahasiswa yang mengetahui nasab panjang keluarganya. Saya perhatikan, mereka yang menjaga nasab ini ada tiga kelompok. Pertama, keturunan Arab (termasuk keturunan habaib, sayyid dan sayyidah). Kedua, keluarga kyai pesantren. Ketiga, orang umum yang sering diajak orang tuanya ziarah ke makam leluhur.
Beginilah kondisi umat Islam di negeri kita. Rata-rata tidak peduli dengan upaya menjaga nasab, padahal menjaga nasab adalah salah satu ajaran Islam yang penting. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Kenalilah nasab kalian, dengan demikian kalian bisa menyambung tali silarurrahim” (H.R. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro)
Paling tidak ada tiga urgensi mengenali nasab diri. Pertama, untuk melaksanakan hukum waris Islam. Kedua, untuk menghindari pernikahan yang haram karena menikahi mahram. Ketiga, untuk melaksanakan perintah silaturrahim. Mereka yang mengabaikan nasab, hampir bisa dipastikan juga tidak terlalu sensitif dengan tiga kewajiban di atas dan cenderung mengabaikannya.
Orang Arab terkenal sangat menjaga nasabnya. Tidak heran jika untuk nasab Rasulullah ﷺ ada yang mengurutkan dan menyambungkan nasabnya sampai ke Nabi Adam, meskipun nasab yang sahih dan disepakati hanya sampai generasi ke 21 saja, yakni sampai Adnan saja.
Beberapa shahabat juga terkenal sebagai pakar dan menguasai ilmu nasab. Di antara mereka adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khotthob, Aisyah, Ibnu Abbas, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jubair bin Muth’im, Hassan bin Tsabit, Hakim bin Hizam, Huwaithib bin Abdul Uzza, Makhromah bin Naufal Az-Zuhri, Daghfal bin Hanzholah, dan lain-lain . Kebijakan Umar yang mendaftar nama tentara berdasarkan kabilahnya dalam sistem Diwan semakin menyuburkan dan menguatkan ilmu nasab di kalangan Arab. Hanya saja, ilmu nasab saat itu masih belum tertulis dan terdokumentasi dengan baik apalagi terkodifikasi rapi. Saat itu ilmu nasab masih ditularkan dan diturunkan dari mulut ke mulut.
Pelopor yang mula-mula berusaha menulis dan mendokumentasikan ilmu ini adalah Ibnu As-Sa-ib Al-Kalbi (w. 204 H). Beliau mengarang lima kitab dalam bidang ini yaitu “Al-Manzil”, “Jamharotu An-Nasab”, “Al-Wajiz”, “Al-Farid” dan “Al-Muluki”. Setelah itu muncul ahli nasab yang lain yakni putranya yang bernama Ibnu Hisyam (w. 213 H) pengarang As-Siroh An-Nabawiyyah yang terkenal itu dengan kitabnya; “Ansabu Himyar wa Mulukiha”, lalu muncul Ibnu Sa’ad (w. 231 H) dengan kitabnya; “Ath-Thobaqot Al-Kubro”, Abu Ja’far An-Nahwi (w. 245 H) dengan kitabnya; “Ansabu Asy’-Syu’aro’”, Zubair bin Bakkar (w. 256 H) dengan kitabnya; “Ansab Quraisy”, Al-Baladzuri (w. 279 H) dengan kitabnya; “Ansabu Al-Asyrof”, Al-Hamadani (w. 334 H) dengan kitabnya; “Al-Iklil”, Ibnu Hazm (w. 456 H), dengan kitabnya; “Jamharotu Ansabi Al-‘Arob”, As-Sam’ani (w. 562 H) dengan karyanya; “Al-Ansab”, An-Najjar (w. 643 H) dengan karyanya; “Ansab Al-Muhadditsin”, dan lain-lain.
Hanya saja, jika dibuat statistik, orang yang ahli dalam ilmu nasab memang tidak banyak. Apalagi di zaman sekarang. Dalam hitungan Bakr Abu Zaid, pada abad pertama hijriyyah jumlah pakar ilmu nasab hanyalah 47 orang. Setelah itu, pada abad kedua naik menjadi 58 orang. Setelah itu pada abad-abad berikutnya berturut-turut jumlah pakar ilmu nasab adalah sebagai berikut;
Abad ketiga; 82 orang
Abad keempat; 88 orang
Abad kelima; 101 orang
Abad keenam; 48 orang
Abad ketujuh; 46 orang
Abad kedelapan; 35 orang
Abad kesembilan; 31 orang
Abad kesepuluh; 17 orang
Abad kesebelas; 24 orang
Abad keduabelas; 21 orang
Abad ketiga belas; 32 orang
Abad keempat belas; 46 orang
Abad kelima belas; 2 orang
Dari data di atas, tampaklah bahwa abad yang paling parah adalah abad kita sekarang ini. Dalam pendapat Bakr Abu Zaid, ulama zaman sekarang yang bisa disebut ahli nasab hanya dua orang yaitu Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syanqithi dan Abdurrahman bin Abdul Lathif Alu Asy-Syaikh.
Jadi, Andakah yang akan menjadi pakar nasab berikutnya untuk menunaikan fardhu kifayah ini?
Jika menghafal nama pemain sepak bola, lengkap dengan data perpindahan klubnya, nilai transfernya, jumlah golnya dan semisalnya saja bisa (padahal itu bukan ilmu yang menyelamatakan di akhirat), maka seharusnya menghafal nama-nama nasab juga bisa.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصاالحين