PERTANYAAN
Oh iya ustadz, ngapunten tanya lagi. Istri yang sudah ditalak dan ada di dalam rumah suaminya, apakah sehari-harinya menjadi seperti wanita asing: Menutup aurot, menjaga pandangan terhadap mantannya, atau tetap seperti saat menjadi istrinya: Melayani dalam hal membuatkan makannya dan lain-lain, kecuali berada di kamar suami. Atau seperti ustaz? (Mira Savitri)
JAWABAN
Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Betul bu. Dalam mazhab Asy-Syafi’i, wanita yang sudah ditalak dan menjalani masa idah di rumah suami serta masih tinggal bersama suami (dengan beda kamar) itu sudah “setengah” ajnabiyyah/asing.
Perlakuannya sudah seperti wanita asing.
Haram istimta’ (bersenang-senang), tidak boleh memeluk, tidak boleh mencium, tidak boleh memandang dengan syahwat, apalagi berhubungan suami istri.
Tapi dia bukan ajnabiyyah sempurna. Karena itulah saya menyebutnya “setengah” ajnabiyyah. Dia masih wajib taat kepada suami yang mentalaknya. Jadi tidak boleh keluar rumah tanpa izin suaminya. Zakariyya Al-Anshari berkata,
Artinya,
“Haram melakukan istimta’ (bersenang-senang) dengan wanita yang ditalak raj’i, melihatnya (dengan syahwat) dan semua jenis tamattu’ (berlezat-lezat). Alasannya, dia itu ditalak (mufaraqah) sebagaimana wanita yang sudah putus hubungan total dengan suaminya (ba-in). Dia dihukum ta’zir karena menyetubuhinya jika dia mengetahui dan meyakini keharaman menyetubuhi itu sementara penguasa menurut pendapatnya melihat bahwa perbuatannya itu karena dia sengaja menerjang maksiat. Jadi hukumannya bukan hadd (tapi ta’zir) karena ada perselisihan ulama terkait sah-tidaknya rujuk dengan persetubuhan. (tapi) tidak (dihukum jika melakukan persetubuhan itu ) dalam keadaan jahil (hukumnya) dan (tidak pula dihukum) dalam keadaan tidak meyakini kehalalannya karena ada uzur (di sini). Hukum yang sama juga berlaku bagi wanita. (Asna Al-Mathalib, juz 3 hlm 344)
Suami wajib mencukupi kebutuhannya dan menafkahinya sementara wanita yang ditalak itu tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izinnya. An-Nawawi berkata,
Artinya,
“Jika dia wanita yang ditalak raj’i maka dia (dihukumi) istrinya. Jadi, suami wajib untuk mencukupi kebutuhannya dan wanita itu dilarang keluar rumah kecuali dengan izinnya” (Raudhatu Ath-Thalibin, juz 8 hlm 416)
Jika wanita itu keluar rumah tanpa izin suami yang mentalaknya maka dia berdosa. Suami berhak mencegahnya dan jika suami yang mentalak ini wafat, maka ahli warisnya berhak mencegah wanita itu keluar rumah. An-Nawawi berkata,
Artinya,
“Wanita yang menjalani masa idah wajib tetap tinggal di rumah tempat idah dan dia tidak boleh keluar kecuali karena kebutuhan mendesak atau karena uzur. Jika dia keluar, maka dia berdosa dan suaminya berhak untuk mencegahnya. Demikian pula ahli warisnya (berhak mencegahnya) pada saat dia mati” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 8 hlm 415)