Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Setelah kita mengetahui bahwa dalam berbuat kebaikan itu wajib motivasinya dimurnikan semata-mata karena ingin membuat Allah rida (sebagaimana saya kupas panjang lebar dalam catatan berjudul “Menghayati Makna Ikhlas“), kadang-kadang muncul pertanyaan, “Bagaimana jika orang bersedekah tapi diniatkan agar urusannya dimudahkan oleh Allah, atau bersedekah dengan harapan nanti diberi rezeki pengganti berlipat-lipat?”
Memang, dalam upaya seorang hamba memurnikan motivasi dan niat semata-mata karena Allah, kadang-kadang hati itu digoda atau terbersit atau bahkan sengaja dan serius diniatkan untuk memperoleh kemaslahatan-kemaslahatan duniawi. Misalnya,
- Salat malam sambil berharap agar mukanya bercahaya, atau peredaran darah lancar sehingga terbebas berbagai macam penyakit
- Berhaji sambil berharap mendapatkan untung banyak dengan berdagang
- Berjihad sambil berharap mendapatkan ganimah
- Mengeluarkan zakat sambil berharap hartanya berkah dan berkembang
- Bersedekah sambil berharap sembuh dari penyakit atau urusannya lancar atau rezekinya berlipat ganda atau hajatnya dipenuhi
- Menyambung silaturahmi sambil berharap umurnya panjang atau rezekinya diluaskan
- Ikut kajian sambil berharap bisa menikahi salah satu peserta
- Haji dan umrah sambil berharap menghilangkan kefakiran
- Istigfar sambil berharap punya anak setelah lama tidak punya anak atau sembuh dari penyakit atau melancarkan rezeki
- Berzikir sambil berharap dilindungi gangguan tertentu
- Salat subuh berjamaah sambil berharap mendapat penjagaan Allah
- Memudahkan orang kesulitan sambil berharap Allah memudahkan urusannya di dunia
- Bersalawat kepada Rasulullah ﷺ sambil berharap Allah melepaskannya dari kesusahan
- Memperbanyak ibadah sambil berharap keturuannya dijaga Allah
- Berbakti kepada ortu sambil berharap dimudahkan segala urusannya
- Dan lain-lain.
Jika kita sudah tahu bahwa amal yang diterima Allah dan mendapatkan ganjaran hanyalah amal yang motivasinya benar-benar murni karena Allah, lalu bagaimana dengan amal salih yang kecampuran atau sengaja dicampuri motif-motif seperti di atas?
Jawaban dari pertanyaan di atas adalah perlu dibedakan tiga kondisi.
Pertama, motif duniawinya full seratus persen.
Kedua, motif duniawinya dominan atau berimbang dengan motif akhirat.
Ketiga, motif akhirat lebih kuat daripada motif duniawi.
Jika amal salehnya sepenuhnya didorong oleh motif dunia dan tidak ada target dalam hatinya selain mendapatkan dunia itu, maka dalam kondisi ini sudah jelas amal tersebut tertolak dan dia hanya berpeluang mendapatkan dunia saja. Allah berfirman,
{ مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ} [هود: 15، 16]
Artinya,
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Aku berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S.Hud 16-16)
Dalam ayat di atas Allah menegaskan bahwa siapapun yang hanya ingin dunia saja, maka dia hanya mendapatkan dunia sementara di akhirat dia tidak akan mendapatkan apapun. Ini bermakna jika ada orang beramal saleh seperti puasa, sementara motivasi dia sepenuhnya ingin sehat atau ingin langsing, berarti dia tidak mendapatkan pahala apa-apa.
Rasulullah ﷺ juga menegaskan prinsip ini. Beliau mengajarkan bahwa siapapun yang beramal dengan amalan akhirat tapi tujuannya adalah dunia, maka dia khirat dia tidak akan mendapatkan bagian apapun. Ibnu Hibban meriwayatkan,
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِالنَّصْرِ وَالسَّنَاءِ وَالتَّمْكِينِ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ». صحيح ابن حبان – مخرجا (2/ 132)
Artinya,
“Dari Ubay bin Ka’ab, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Berikanlah umat in kabar gembira dengan adanya kemenangan, keluhuran dan kedudukan. Maka barangsiapa yang melakukan amalan akhirat untuk memperoleh dunia, maka ia di akhirat nanti tidak akan mendapat balasan apapun dari amalannya itu” (H.R. Ibnu Hibban)
Ibnu Abbas juga memfatwakan prinsip ini. Dalam tafsir Al-Ṭabarī disebutkan Ibnu ‘Abbās berkata,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا الْتِمَاسَ الدُّنْيَا صَوْمًا أَوْ صَلَاةً أَوْ تَهَجُّدًا بِاللَّيْلِ لَا يَعْمَلُهُ إِلَّا لِالْتِمَاسِ الدُّنْيَا؛ يَقُولُ اللَّهُ: أُوَفِّيهِ الَّذِي الْتَمَسَ فِي الدُّنْيَا مِنَ الْمَثَابَةِ، وَحَبِطَ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُ الْتِمَاسَ الدُّنْيَا، وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (تفسير الطبري = جامع البيان ط هجر (12/ 347)
Artinya,
“Barang siapa beramal saleh untuk memperoleh dunia, baik puasa atau salat atau tahajud di malam hari, yang mana dia tidak mengerjakannya kecuali untuk memperoleh dunia, maka Allah berfirman, ‘Aku akan memberikan dunia yang ia cari sebagai ganjaran dan sia-sialah amalnya yang ia lakukan untuk memperoleh dunia dan di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Tafsir Al-Ṭabarī, juz 12 hlm 347)
Bahkan, kata Al-Qurṭubī, motif seperti ini bukan hanya tidak mendapatkan pahala, tetapi lebih dari itu amal salihnya itu statusnya berubah menjadi menjadi maksiat yang membinasakan yang tarafnya bisa sampai syirik akbar atau minimal riya’. Al-Qurṭubī berkata,
فأما إذا كان الباعثُ عليها غير ذلك من أعراض الدُّنيا؛ فلا يكونُ عبادة، بل يكون مصيبة موبقة لصاحبها، فإما كفرٌ، وهو: الشرك الأكبر، وإما رياء، وهو: الشركُ الأصغر. ومصيرُ صاحبه إلى النار، كما جاء في حديث أبي هريرة في الثلاثة المذكورين فيه. (المفهم لما أشكل من تلخيص كتاب مسلم (3/ 742)
Artinya,
“Adapun jika motivasinya adalah selain itu yakni untuk memperoleh keuntungan dunia maka itu tidak menjadi ibadah bahkan menjadi musibah yang membinasakan pelakunya. Bisa jadi statusnya adalah kekufuran yakni syirik akbar dan bisa jadi juga hanya riya’, yakni syirik asghar. Nasib akhir pelakunya adalah ke neraka sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah terkait 3 orang yang diceritakan dalam hadis tersebut” (Al-Mufhim, juz 3 hlm 742)
Adapun jika kondisinya seperti kondisi kedua, yakni motif duniawi lebih dominan, tapi tidak 100% sementara sisanya adalah motif akhirat, atau motif duniawi berimbang dengan motif akhirat, maka amal saleh seperti ini juga tidak mendapatkan ganjaran apa-apa, karena masih belum bisa disebut murni motivasinya karena Allah. Dalam riwayat Muslim, ada hadis qudsi yang mengabarkan bahwa Allah tidak akan menerima amal yang masih kecampuran motif selain Dia. Allah menuntut amal harus murni karena-Nya. Muslim meriwayatkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ “( صحيح مسلم (4/ 2289)
Artinya,
“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Aku paling tidak memerlukan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan dengan menyekutukanKu dengan selainKu, maka Aku menyerahkannya untuk sekutunya’. (H.R.Muslim)
Fatwa inilah yang dijelaskan oleh para ulama yang mendalami topik ini. Al-Qurṭubī berkata,
فأما لو انبعث لتلك الحالة (1) لمجموع الباعثَينِ- باعث الدنيا وباعث الدين-؛ فإن كان باعثُ الدنيا أقوى، أو مساويًا ألحق القسم الأول في الحكم بإبطال ذلك عند أئمة هذا الشأن، (المفهم لما أشكل من تلخيص كتاب مسلم (3/ 743)
Artinya,
“Adapun jika dia beramal berdasarkan dua motivasi yakni motivasi dunia dan motivasi agama, maka jika motivasi dunia lebih kuat atau sama (dengan motivasi agama) maka status hukumnya disamakan dengan jenis pertama yakni sia-sianya amal tersebut sebagaimana menjadi pendapat para imam dalam topik ini” (Al-Mufhim juz 3 hlm 743)
Adapun jika motif akhirat lebih dominan, maka jumhur ulama berpendapat mudah-mudahan motif dunianya dimaafkan sehingga masih ada harapan mendapatkan pahala amalnya. Alasannya ada sejumlah dalil yang menyebut kemaslahatan duniawi untuk mendorong beramal saleh tertentu. Misalnya syariat salat hajat, salat istikharah, salat minta hujan, orang bertakwa akan diberi jalan keluar, orang bersedekah maka hartanya tidak akan berkurang, saat haji tidak dilarang sambil berdagang, doa rabbanā ātinā fiddunyā ḥasanah wafil ākhirati ḥasanah, janji diberi hujan lebat dan harta banyak jika mau istighfar, janji dibuat Allah hidup didunia dengan nyaman jika menaati-Nya, janji dibuka berkah dari langit jika mau menaati Allah, hadis bahwa haji dan umrah itu bisa menghilangkan dosa dan kefakiran, hadis bahwa siwak itu bisa membersihkan mulut, hadis bahwa mujahid itu berhak salab, dan dalil-dalil lain yang semakna dengan ini. Adanya dalil-dalil seperti itu menunjukkan bahwa adanya motif duniawi yang tidak dominan dimaafkan karena bermanfaat membuat orang lebih bersemangat dalam beramal saleh. Hanya saja, sebagian ulama yang sangat berhati-hati tetap menghukumi jenis motivasi seperti ini sebagai motif penghancur amal juga. Di antara mereka Al-Muḥāsibī dan Ibnu ‘Abdissalām. Al-Qurṭubī berkata,
فأما لو كان باعثُ الدِّين أقوى؛ فقد حكم المحاسبي (3) رحمه الله بإبطال ذلك العمل؛ متمسكًا بالحديث المتقدِّم، وبما في معناه، وخالفه في ذلك الجمهور، وقالوا بصحة ذلك العمل، (المفهم لما أشكل من تلخيص كتاب مسلم (3/ 743)
Artinya,
“Adapun jika motivasi agama lebih kuat, maka Al-Muhasibi menghukumi sia-sianya amal tersebut dengan berpegang teguh memakai hadits sebelumnya termasuk juga hadis yang semakna dengannya. Jumhur ulama berbeda pendapat dengannya. Mereka mengatakan amal tersebut sah -mendapatkan pahala- (Al-Mufhim juz 3 hlm 743)
Wallahua’lam