Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Penjelasan kewajiban menerapkan hukum Islam dan hukum yang diturunkan Allah sudah banyak yang membahas. Akan tetapi penjelasan tentang kapan hukum Allah harus ditunda pelaksanaannya, atau bahkan dilarang masih sangat jarang atau bahkan sama sekali belum ada yang membahasnya secara khusus. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya hendak mengupas topik ini lebih dalam agar paling tidak kita mendapatkan gambaran bahwa keinginan menerapkan hukum Allah itu tidak bisa hanya bermodal semangat, tetapi harus dibekali dengan ilmu mendalam, fikih yang mumpuni, kebijaksanaan dan pemahaman yang komprehensif terhadap syariat. Jika tidak, maka keinginan menerapkan hukum Allah malah akan menjadi fitnah, merusak citra Islam dan membuat orang-orang yang awalnya tertarik dengan Islam menjadi mundur atau malah berbalik benci karena keliru menggambarkan secara utuh bagaimana bangunan ajaran Islam itu.
Sesungguhnya jika kita kaji dalam hadis Nabi ﷺ , atsar Shahabat, dan juga penjelasan para fukaha seputar topik ini, maka kita akan mendapati bagaimana Rasulullah ﷺ melarang pelaksanaan hukum tertentu dalam kondisi tertentu. Salah satu contohnya adalah hadis berikut ini,
عن جُنادَة بن أبي أُمية، قال: كنا مع بُسْرِ بنِ أبي أرطاةَ في البحرِ، فأتي بسارقٍ يقال له: مِصْدَرٌ، قد سرقَ بُخْتِيَّةً، فقال: سمعتُ رسولَ الله – صلَّى الله عليه وسلم – يقول: “لا تُقطَعُ الأيدي في السَّفر” (سنن أبي داود ت الأرنؤوط (6/ 458)
Artinya,
“Dari Junadah bin Abu Umayyah ia berkata: “Ketika aku dan Busr bin Arthah berlayar di lautan, seorang pencuri yang bernama Mishdar dihadapkan kepada kami. Ia telah mencuri unta yang berleher panjang. Busr bin Arthah berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tangan (pencuri) tidak boleh dipotong dalam perjalanan.” (H.R.Abū Dāwūd)
Selain Abū Dāwūd, hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al-Nasā’ī, Al-Tirmiżī, Aḥmad, Al-Dārimī, dan lain-lain.
Hadis ini dipuji Al-żahabi sebagai jayyid (baik), disebut sanadnya jayyid oleh Al-Munāwī, disahihkan oleh Al-Iṡyūbī, dan juga disahihkan oleh Al-Albānī.
Dalam hadis di atas sangat lugas dinyatakan bahwa Rasulullah ﷺ melarang memotong tangan pencuri. Larangan memotong tangan pencuri bermakna larangan melaksanakan hukum Allah dan sanksi yang diturunkan Allah dalam Al-Qur’an. Sanksi memotong tangan pencuri ini bukan perkara ẓannī dalam agama, bahkan ia adalah perkara qaṭ‘ī. Dengan kata lain, ayat yang jelas qaṭ‘ī seperti ini ternyata dilarang untuk diterapkan Rasulullah ﷺ dalam kondisi khusus!
Pertanyaannya, “Kondisi apa yang membuat hukuman potong tangan itu dilarang Rasulullah ﷺ untuk diterapkan?”
Jawaban pertanyaan ini sudah ada dalam lanjutan hadis. Rasulullah ﷺ menerangkan bahwa pencuri itu jangan dipotong tangannya jika berada dalam kondisi safar. Rasulullah ﷺ bersabda,
لا تُقطَعُ الأيدي في السَّفر
Artinya,
“Tangan (pencuri) tidak boleh dipotong dalam safar/perjalanan.”
Lalu safar seperti apa yang dimaksud dalam hadis ini?
Jika kita kumpulkan riwayat serupa dan semakna dengan ini, maka kita akan mendapati bahwa yang dimaksud safar dalam hadis ini adalah bukan sambarang safar, tetapi safar dalam rangka jihad fisabilillah, yakni memerangi orang-orang kafir di negeri yang bukan Islam. Al-Munāwī berkata,
لا تقطع الأيدي في السفر) أي سفر الغزو بدليل الرواية الأخرى في الغزو بدل السفر (فيض القدير (6/ 416)
Artinya,
“(hadis Nabi ﷺ yang berbunyi) ‘Tangan (pencuri) tidak boleh dipotong dalam perjalanan’, maknanya adalah safar peperangan berdasarkan bukti riwayat lain yang menyebut lafal ‘perang’ sebagai pengganti lafal ‘safar’ (Faiḍu Al-Qadīr, juz 6 hlm 416)
Dengan demikian, bisa difahami, jika ada tentara Islam yang ikut berjihad, lalu dia mencuri, sementara tempat kejadiannya di Dārul Ḥarbi yang tidak diterapkan hukum Islam, maka dalam kondisi itu hukum ḥudūd tidak diterapkan kepadanya. Dengan kata lain, pencuri muslim yang melakukan tindakan kriminal dalam kondisi safar jihad di Dārul Ḥarbi, tidak boleh diterapkan hukum Allah kepadanya.
Adapun alasan atau minimal hikmah mengapa ada larangan memotong tangan pencuri di Dārul Ḥarbi, maka Al-Auzā‘ī menerangkan bahwa hal itu adalah karena dikhawatirkan iman pencuri tersebut lemah yang akan membuat setan punya jalan untuk mempengaruhinya, sehingga dia bisa malah membelot dari tentara kaum muslimin, berpihak kepada orang-orang kafir, dan mengkhianati saudaranya yang seiman. Al-Zaila‘ī berkata,
وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ، مِنْهُمْ الْأَوْزَاعِيُّ يَرَوْنَ أَنْ لَا يُقَامَ الْحَدُّ فِي الْغَزْوِ بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ، وَمَخَافَةَ أَنْ يَلْحَقَ مَنْ يُقَامُ عَلَيْهِ الْحَدُّ بِالْعَدُوِّ، فَإِذَا رَجَعَ الْإِمَامُ إلَى دَارِ الْإِسْلَامِ أَقَامَ عَلَيْهِ الْحَدَّ (نصب الراية (3/ 344)
Artinya,
“Sejumlah ulama mengamalkan hadis. Di antara mereka adalah Al-Auzā‘ī. Mereka berpendapat bahwasanya ḥudūd tidak ditegakkan dalam peperangan di depan musuh karena kuatir bahwa mereka yang dihukum dengan ḥudūd akan membelot dan bergabung dengan musuh. Jika imam sudah kembali ke Dārul Islam maka dia bisa menegakkan ḥudūd tersebut” (Naṣbu Al-Rāyah, juz 3 hlm 344)
Sejumlah ulama memang menegaskan tidak ditegakkannya ḥudūd di Dārul Ḥarbi. Di antara mereka adalah Ahmad, Isḥāq bin Rāhawaih, Al-Auzā‘ī, Al-Khiraqī dan sejumlah ulama Islam yang lain. Ibnu Qayyim berkata,
وَقَدْ نَصَّ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهْوَيْهِ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَغَيْرُهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْإِسْلَامِ عَلَى أَنَّ الْحُدُودَ لَا تُقَامُ فِي أَرْضِ الْعَدُوِّ، وَذَكَرَهَا أَبُو الْقَاسِمِ الْخِرَقِيِّ فِي مُخْتَصَرِهِ فَقَالَ: لَا يُقَامُ الْحَدُّ عَلَى مُسْلِمٍ فِي أَرْضِ الْعَدُوِّ (إعلام الموقعين عن رب العالمين (3/ 13)
Artinya,
“Aḥmad, Isḥāq bin Rāhawaih, Al-Auzā‘ī dan selain mereka di antara ulama-ulama Islam telah menyatakan bahwa ḥudūd tidak ditegakkan di negeri musuh. Abu Al-Qāsim Al-Khiraqī menyebutkan dalam Mukhtaṣar-nya dan berkata, ‘Ḥudud tidak ditegakkan pada seorang muslim di negeri musuh” (I‘lām Al-Muwaqqi‘īn, juz 3 hlm 13)
Saya sepakat dengan penjelasan ini karena dikuatkan dengan banyak dalil lain terkait kebijaksanaan dakwah dan juga dikuatkan oleh aṡar Umar berikut ini,
عَنِ الْأَحْوَصِ بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ كَتَبَ إِلَى النَّاسِ: «أَنْ لَا يَجْلِدَنَّ أَمِيرُ جَيْشٍ وَلَا سَرِيَّةٍ رَجُلًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ حَدًّا وَهُوَ غَازٍ حَتَّى يَقْطَعَ الدَّرْبَ قَافِلًا لِئَلَّا تَحْمِلَهُ حَمِيَّةُ الشَّيْطَانِ فَيَلْحَقَ بِالْكُفَّارِ» سنن سعيد بن منصور (2/ 235)
Artinya,
“Dari Al-Aḥwaṣ bin Ḥakīm dari ayahnya, bahwasanya Umar menulis kepada kaum muslimin, “ Amir tentara atau detasemen sekali-kali jangan mencambuk seorang lelaki di kalangan kaum muslimin sebagai hukuman/ ḥadd sementara dia sedang berperang sampai dia menempuh jalan pulang. Agar emosi setan tidak membuatnya membelot dan berpihak kepada musuh” (H.R. Sa‘īd bin Manṣūr)
Termasuk juga yang menguatkan adalah adanya syarat-syarat penerapan hukuman dalam fikih Islam. Tidak boleh, bahkan haram menerapkan hukum Allah jika syaratnya tidak mencukupi. Contoh, tidak boleh merajam pezina jika saksi kurang dari 4 dan tidak melihat sejelas timba masuk ke dalam sumur. Tidak boleh membunuh pelaku pembunuhan dengan kisas, jika pelaku tersebut dimaafkan, atau dia adalah ayah korban, atau masih anak-anak, atau gila. Tidak boleh mencambuk orang yang mabuk hanya dengan mencium bau khamr dalam mulutnya. Tidak boleh memotong tangan pencuri jika mencuri karena lapar, dan semisalnya.
Jadi, sampai di sini bisa difahami bahwa menerapkan hukum Allah itu harus dibarengi dengan pemahaman din yang mendalam. Harus disertai dengan kefakihan yang mumpuni. Hukum Allah bukan datang untuk membantai manusia, memburu para pendosa, dan membasmi para durjana. Hukum Allah datang untuk menyayangi manusia, memberi mereka jalan keluar, dan menyelamatkan mereka dari neraka. Hukum-hukum yang bersifat sanksi dalam kondisi tertentu harus ditunda pelaksanannya, bahkan bisa jadi harus dibatalkan secara total karena akan bertentangan esensi dari dakwah para Nabi.
Di negeri yang masih jauh dari ketundukan terhadap syari’at, maka akan jadi fitnah besar jika diterapkan sanksi dan ḥudūd, karena akan membuat orang malah tidak bisa melihat keindahan islam dan salah membayangkan islam hanya dari sebagian sistem sanksinya.
Ini kebijaksanaan dakwah sekaligus kebijaksanaan penerapan hukum islam dan fikih yang hanya diketahui orang yang mendalam ilmunya.
Hanya saja, terkait alasan mengapa Rasulullah ﷺ melarang memotong tangan pencuri saat safar jihad, pendapat Al-Auzā‘ī yang saya kutip di atas bukan satu-satunya penafsiran. Dengan kata lain, pemahaman terhadap hadis ini adalah muḥtamal dan memungkinkan dipahami sebab yang lainnya.
Di antara ulama ada yang berpendapat alasan tidak boleh memotong tangan pencuri saat safar jihad adalah karena ḥudūd memang tidak boleh diterapkan di Darul Ḥarbi, dan hanya boleh di Darul Islam
Ada yang berpendapat alasannya adalah mujahid itu memang punya hak ganimah, sehingga apa yang dicurinya bisa mengandung haknya juga sehingga tangannya tidak perlu dipotong karena ada syubhat hak.
Ada yang menafsirkan alasannya adalah bisa jadi kejadian pencurian itu terjadi di darat sementara laporan pencurian itu dilaksanakan di laut.
Ada yang menafsirkan, alasannya adalah yang dilarang menegakkan ḥudūd adalah panglima perang, sebab dia bukan imam atau wakilnya.
Apapun dari tafsiran-tafsiran ini, semuanya menunjukkan penerapan ḥudūd itu ada fikihnya. Ada kaidahnya. Ada ketentuannya. Tidak bisa hantam rata begitu saja, lalu yang tidak melaksanakan divonis zalim, fasik, apalagi kafir.
Hadis Nabi ﷺ sendiri memberi petunjuk, ada kondisi-kondisi khusus yang membuat pelaksanaan hudud justru dilarang.
Wallahua’lam