Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Contoh penggunaan lafal jauf (الجوف) dalam pembahasan fikih puasa adalah kaidah yang disebutkan oleh al-Nawawī dalam kitab Rauḍatu al-Ṭālibīn berikut ini,
مِنَ الْمُفْطِرَاتِ دُخُولُ شَيْءٍ فِي جَوْفِهِ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (2/ 356)
Artinya,
“Di antara hal-hal yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke dalam jauf-nya.”
Dalam kaidah di atas ditegaskan bahwa benda apapun (syai’un) yang masuk ke dalam jauf, maka membatalkan puasa.
Syai’un (sesuatu) yang dimaksud dalam pernyataan di atas bersifat umum, tidak membedakan apakah yang bisa dimakan seperti nasi dan obat ataukah yang tidak bisa dimakan seperti kerikil dan pisau. Jadi nasi, obat, kerikil, ataupun pisau jika masuk ke dalam jauf, maka batallah puasanya. Lafal syai’un yang dipakai oleh al-Nawawī di sini oleh ulama-ulama Al-Syāfi‘iyyah yang lain diungkapkan dengan lafal ‘ain (العين)/benda konkrit. Dengan demikian sesuatu yang tidak termasuk ‘ain, seperti angin/bau atau rasa jika masuk ke dalam jauf, maka puasanya tidak batal.
Dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu yang masuk ke dalam jauf itu membatalkan puasa adalah aṡar Ibnu Abbās berikut ini,
وإِنَّما الفِطرُ ممّا دَخَلَ ولَيسَ ممّا خَرَجَ (السنن الكبرى للبيهقي ت التركي (9/ 5)
Artinya,
“Batalnya puasa itu hanyalah karena sesuatu yang masuk, bukan karena sesuatu yang keluar”
Dalam aṡar di atas cukup jelas dikatakan bahwa benda asing yang masuk bisa membatalkan puasa, sementara yang keluar dari tubuh (misalnya darah melalui pembekaman) itu tidak membatalkan puasa.
Hadis Laqīṭ bin Ṣabirah menguatkan ketentuan ini. Abū Dāwūd meriwayatkan,
عَنْ أَبِيهِ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا» سنن أبي داود (2/ 308)
Artinya,
“Dari Laqīṭ bin Ṣabirah beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Bersungguh-sungguhlah saat ber-istinsyāq kecuali jika engkau berpuasa.”
Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ memerintahkan agar bersungguh-sungguh (mubālagah) saat ber-istinsyāq (menghirup air melalui hidung). Tetapi Rasulullah ﷺ melarang mubālagah saat ber-istinsyāq dalam keadaan berpuasa. Hal ini memberi isyarat bahwa mubālagah saat ber-istinsyāq dalam keadaan berpuasa berpotensi membatalkan puasa karena masuknya air ke dalam tubuh.
BATASAN JAUF
Pertanyaannya, “Apa sebenarnya pengertian jauf itu?”
Jawaban pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Jauf itu bermakna RONGGA TUBUH (body cavity). Sebab, secara bahasa jauf itu bermakna khalā’ (rongga). Al-Fayyūmī berkata,
Artinya,
“Jauf bermakna rongga.”
Secara medis, rongga tubuh manusia terbagi menjadi dua kelompok besar yakni ventral cavity (rongga perut) dan dorsal cavity (rongga punggung). Lebih spesifik lagi rongga dalam tubuh manusia ada beberapa macam yaitu cranial cavity (rongga tengkorak), spinal cavity (rongga tulang belakang), thoracic cavity (rongga dada), abdominal cavity (rongga abdomen), dan pelvic cavity (rongga panggul).
Inilah pendapat mu‘tamad mazhab al-Syāfi‘ī terkait definisi jauf.
Sebenarnya di kalangan internal Al-Syāfi‘iyyah sendiri ada pendapat lain. Yakni membatasi definisi jauf pada organ tubuh yang memiliki kemampuan mengubah zat yang masuk (baik makanan maupun obat) menjadi zat lain (fīhi quwwatun tuḥīlu al-wāṣil ilaihi min giżā’in au dawā’). Ini juga menjadi pendapat Ibnu al-Aṡīr dalam al-Nihāyah fī Garībi al-Ḥadīṡ wa al-Aṡar. Contoh organ seperti ini adalah bagian dalam otak (bāṭinu al-dimāg), perut (al-baṭn), usus (al-am‘ā’), dan kandung kencing (al-maṡānah). Tetapi pendapat mu‘tamad mazhab al-Syāfi‘ī tidak membedakan antara organ tubuh yang punya kemampuan mengubah zat yang masuk menjadi unsur lain maupun tidak. Jadi, definisi jauf dalam pendapat mu‘tamad itu lebih luas. Keluasan definisi jauf ini akhirnya membuat mazhab al-Syāfi‘ī menjadi mazhab yang paling berhati-hati dalam urusan perkara yang membatalkan puasa.
Dalam kitab-kitab fikih mazhab al-Syāfi‘ī diberikan beberapa contoh kasus untuk memperjelas dan memberi batasan organ tubuh mana yang termasuk jauf dan mana yang tidak termasuk jauf.
- Kemaluan (al-farj) dan perut (al-baṭn) termasuk jauf berdasarkan hadis bahwa yang paling banyak membuat orang mausk neraka adalah dua organ berrongga (ajwafāni) yakni perut dan kemaluan
- Saluran kencing (iḥlīl) termasuk jauf
- Bagian dalam tengkorak kepala (bāṭinu al-dimāg) termasuk jauf
- Usus (al-am‘ā’) termasuk jauf
- Kandung kemih (al-maṡānah) termasuk jauf
- Bagian dalam hidung yang melebihi khaisyūm (pangkal hidung) termasuk jauf
- Bagian dalam telinga termasuk jauf karena meskipun tidak ada saluran ke otak, tetapi ada saluran ke bagian dalam tengkorak
- Kerongkongan (halq) termasuk jauf. Batasan paling luarnya adalah area yang terpakai saat melafalkan huruf ḥā’ (الحاء) atau khā’ (خ)
Otot tidak termasuk jauf.
Sumsum tidak termasuk jauf.
Mata bukan jauf karena tidak ada manfaż dari mata ke kerongkongan.
PENERAPAN DALAM FIKIH PUASA
Oleh karena kaidahnya berbunyi, “Segala sesuatu yang masuk ke dalalam jauf mambatalkan puasa” maka kita bisa mempraktekkannya pada sejumlah contoh kasus berikut ini,
- Ada ingus yang keluar sampai ke mengalir ke bibir, kemudian dijilat dan terasa sampai area yang dipakai melafalkan khā’, maka batallah puasanya karena ingus dimasukkan ke dalam jauf
- Vaksinasi polio jenis OPV/oral membatalkan puasa dalam mazhab al-Syāfi‘ī, karena vaksinasi ini dilakukan dengan cara meneteskan vaksin ke dalam mulut dan harus ditelan. Jadi, ada benda asing yang masuk ke dalam jauf melalui mulut.
- Di perut ada luka, lalu diberi obat lalu obat tersebut masuk ke abdominal cavity, maka batallah puasanya
- Di kepala ada luka lalu diberi obat, kemudian masuk ke cranial cavity, maka batal puasanya
- Menusuk tubuh sendiri dengan pisau hingga tembus ke kandung kemih, maka batallah puasanya
Tetapi,
- Jika obat dimasukkan ke dalam daging betis, maka tidak batal puasa karena daging betis bukan jauf
- Vaksinasi untuk covid-19 tidak membatalkan puasa karena teknik vaksinasinya memakai suntikan pada lengan yang termasuk jenis injeksi intramuscular, sehingga vaksin dimasukkan pada otot, bukan jauf
Hanya saja, batalnya puasa karena benda asing yang masuk ke dalam jauf ini diikat 3 syarat,
Pertama: Benda asing tersebut dimasukkan dengan sengaja.
Kedua: Masuknya benda asing tersebut melalui saluran/”jendela” terbuka (manfaż maftūḥ) baik alami (seperti mulut, hidung, telinga, kubul, dubur ) maupun rekayasa (seperti luka). Pori-pori kulit tidak masuk definisi manfaż maftūḥ.
Ketiga: Saat memasukkan benda asing tersebut dalam kondisi ingat sedang berpuasa.
Wallahua’lam.
***
10 Sya’ban 1442 H