Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Rasulullah ﷺ memerintahkan para suami agar memberi nafkah makanan kepada istrinya, dan nafkah makanan ini hukumnya wajib diberikan. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Mereka (istri-istri kalian) punya hak atas kalian. Yaitu nafkah makanan dan pakaian secara layak.” (H.R.Muslim)
Makanan yang diperintahkan Rasulullah ﷺ supaya diberikan kepada istri ini tidak disyaratkan harus siap saji agar bisa dikatakan suami telah menunaikan kewajiban. Sebab perintah Rasulullah ﷺ sifatnya mutlak, yakni menjamin nafkah makanan saja, tidak mengharuskan makanan tersebut sudah harus siap santap untuk istri. Dengan demikian, makanan yang disediakan untuk istri boleh siap santap dan boleh juga masih mentah.
Jika makanan itu diberikan suami dalam keadaan masih mentah, maka kebaikan dan akhlak mulia istri jika memasak sendiri.
Jika istri tidak bersedia memasak sendiri dan suami mengikuti mazhab al-Syāfi‘ī maka suaminya yang memasakkan atau memerintahkan pembantu yang dimilikinya atau digajinya untuk memasakkan.
Jika suami memilih pendapat Hanafi, Abū Tsaur, al-Ṭabarī, dan ulama semisal mereka yang memfatwakan bahwa istri wajib melayani suami dalam segala urusan rumah termasuk memasak, berarti istrilah yang wajib memasak sendiri makanan tersebut untuk dirinya sekaligus melayani suaminya. Dalam kondisi ini istri tidak bisa menolak memasak dan bahkan berdosa hukumnya jika menolak memasak.
Malahan, boleh juga nafkah makanan itu diberikan dalam bentuk uang, sebab dengan uang wanita juga bisa membeli bahan mentah makanan untuk dimasak atau membeli makanan siap santap. Artinya, nafkah makanan berupa uang pun tetap merealisasikan perintah memberi makanan kepada istri.
Lebih dari itu, nafkah makanan dirupakan pakaian pun juga boleh, karena nafkah makanan termasuk nafkah tamlīk, jadi istri bebas menggunakannya untuk apapun. Misalnya, istri sudah punya stok makanan sebulan dari rezeki lain yang diberikan Allah kepadanya, tapi istri belum mendapatkan nafkah makan dari suami. Di sisi lain, istri merasa pakaiannya sudah layak ganti. Kemudian istri minta kepada suami agar jatah nafkah makanan miliknya dibelikan pakaian baru saja untuknya. Yang seperti ini boleh dan sudah menggugurkan kewajiban suami memberi nafkah makanan. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Seandainya pasangan suami istri itu saling rida menggantikan nafkah (makanan) itu dengan dirham dan dinar (uang) atau baju atau semisal itu, maka yang demikian itu boleh berdasarkan pendapat yang terkuat dalam mazhab al-Syāfi‘ī.“ (Rauḍatu al-ṭālibīn, juz 9 hlm 54)
***
28 Żulqa‘dah 1442 H