Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Dalam mazhab al-Syāfi‘ī, jika istri sakit maka biaya membeli obat, jasa medis, dan semua yang terkait pengobatan itu bukan tanggungan wajib suami. Minimal ada dua alasan yang mendasari ijtihad ini.
Pertama, hukum berobat dalam mazhab al-Syāfi‘ī itu sunah, bukan wajib. Jadi, jika orang tidak berobat, maka dia tidak berdosa. Malahan, jika bisa tabah dia berpeluang besar masuk surga, berpotensi tergolong mukmin yang sempurna tawakalnya dan berpotensi termasuk salah satu dari 70.000 umat Islam yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa.
Dalil yang menunjukkan bahwa berobat hukumnya sunah, bukan wajib di antaranya adalah kisah wanita berkulit hitam di zaman Nabi ﷺ yang terkena sakit epilepsi. Wanita ini merasa menderita dengan penyakitnya, lalu memohon kepada Rasulullah ﷺ supaya didoakan sembuh. Rasulullah ﷺ tidak langsung mengiyakan, tapi memberi dua tawaran. Tawaran pertama adalah didoakan Nabi ﷺ untuk sembuh, tapi tidak ada jaminan surga. Tawaran kedua adalah memilih tabah/ṣabr dan dijamin masuk surga. Akhirnya wanita itu memilih tabah saja tapi minta supaya Rasulullah ﷺ mendoaakan agar auratnya tidak tersingkap saat epilepsi itu datang. Rasulullah ﷺ menyetujuinya.
Al-Bukhārī meriwayatkan kisah ini sebagai berikut,
Artinya:
“Dari Imran bin Abu Bakar dia berkata; ‘Telah menceritakan kepadaku ‘Atha` bin Abu Rabah, dia berkata; ‘Ibnu Abbas pernah berkata kepadaku; ‘Maukah aku tunjukkan kepadamu seorang wanita dari penduduk surga?’ Jawabku; ‘Tentu.’ Dia berkata; ‘Wanita berkulit hitam ini, dia pernah menemui Nabi ﷺ sambil berkata; ‘Sesungguhnya aku menderita epilepsi dan auratku sering tersingkap (ketika sedang kambuh), maka berdoalah kepada Allah untukku.’ Beliau bersabda: ‘Jika kamu berkenan, bersabarlah, maka bagimu surga, dan jika kamu berkenan, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.’ Ia berkata; ‘Baiklah, aku akan bersabar.’ Wanita itu berkata lagi; ‘Namun, berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak tersingkap.’ Maka beliau mendoakan untuknya.’”
Dari kisah ini bisa diambil kesimpulan, bahwa jika orang memilih tabah dan tidak berobat saat sakit, maka itu tidak dicela. Hal ini menunjukkan bahwa hukum berobat itu tidak wajib, tetapi turun statusnya menjadi sunah/dianjurkan.
An-Nawawi berkata,
Artinya:
“Disunahkan untuk berobat berdasarkan apa yang disebutkan oleh pengarang dan juga hadis-hadis masyhur yang lain terkait berobat.” (Abu Zakariyya Yahya bin Syarof An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzdzab, Dar Al-Fikri, Beirut, tanpa tahun, juz 5 hlm. 105)
Jika hukum berobat adalah sunah, maka pembiayaannya juga tidak wajib. Jadi, saat istri sakit, biaya pengobatan tidak termasuk yang menjadi beban wajib suami.
Kedua, qiyās pada kasus ijārah. Pengobatan istri termasuk jenis ḥifẓul aṣl (memelihara pokok obyek akad), jadi ini menjadi tanggungan yang punya aṣl tersebut, bukan orang yang mengakadinya. Perumpamannya seperti orang yang meyewa rumah. Jika sampai tembok rumah roboh atau ada atap yang ambruk, maka kewajiban pemilik rumahlah untuk merenovasinya, bukan tanggungan penyewa rumah. Beban penyewa rumah hanyalah dari aspek pemeliharaan asesoris rumah itu, seperti biaya menyapu, biaya mengganti lampu dan semisalnya. Demikian pula istri. Yang wajib bagi suami adalah menafkahi makannya, pakaiannya dan tempat tinggalnya.
Adapun saat sakit, maka itu jenis hifẓul aṣl sehingga tidak termasuk tanggungan suami.
Hanya saja ada biaya nafkah yang wajib yang harus disediakan suami saat istri sakit yaitu,
Pertama, biaya makan, minum, dan semua nutrisi makanan yang dibutuhkan tubuh selama sakit. Jika tidak bisa makan, dan harus diganti infus, maka infus ini juga wajib bagi suami.
Kedua, biaya pelayan jika istri mengalami sakit yang butuh pelayan atau istri mengalami sakit yang membuat cacat tubuh (الزمانة) sehingga harus dilayani seperti buta, lumpuh kaki, lumpuh tangan dan semisalnya. Bahkan, seandainya dengan sakit seperti ini istri perlu pelayan lebih dari satu, maka suami wajib menyediakannya!
Jadi sungguh tidak benar jika dalam fikih mazhab al-Syāfi‘ī dibayangkan suami lepas tangan saat istri sakit. Justru fikihnya malah menata urusan pengobatan ini demikian tajam sehingga ada yang dikategorikan sebagai wajib dan ada yang tidak. Malahan, nafkah wajib saat istri sakit justru lebih berat daripada istri saat tidak sakit karena harus menjamin makan dan biaya pelayan juga!
Jika istri menolak pelayan, dan meminta biaya pelayan dialokasikan untuk biaya pengobatan, maka itu menjadi haknya. Termasuk juga jika istri mengalokasikan nafkah makanan untuk biaya pengobatan, maka itu menjadi haknya pula.
Dari sini sekarang kita bisa menjawab pertanyaan yang mungkin banyak menggelayuti benak para istri,
“Jika suami tidak wajib membiayai ongkos pengobatan, lalu siapa yang membiayai pengobatan istri?”
Jawaban dari pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Biaya pengobatan istri bisa diambil dari salah satu dari 3 pintu.
Pertama, nafkah makanan selama sakit yang dialihkan istri untuk biaya pengobatan.
Kedua, nafkah pembantu selama sakit yang dialihkan istri untuk biaya pengobatan.
Ketiga, uang pribadi istri yang bisa didapatkan dari hibah suami saat belum sakit, gaji kerjanya, hasil bisnisnya, warisan dari kerabat dan semua sumber-sumber sah yang lain.
Dari sisi hukum asal, yang wajib menanggung biaya pengobatan istri adalah istri sendiri. Akan tetapi istri bisa mengatur keuangan dari pintu-pintu lain sebagaimana dijelaskan di atas.
Oleh karena itu, saat istri mendapatkan nafkah makanan dan pakaian dari suami, selama memungkinkan akan sangat bijaksana jika sebagian ditabung untuk jaga-jaga biaya pengobatan.
Saat istri mendapatkan hibah suami atau uang jajan, maka menjadi langkah bijaksana jika tidak dihabiskan untuk hepi-hepi tetapi sebagian ditabung untuk jaga-jaga biaya pengobatan.
Termasuk juga jika istri bekerja dan mendapatkan gaji, lebih bijaksana jika sebagian dialokasikan untuk jaga-jaga biaya pengobatan selain digunakan untuk kebutuhan pribadi istri, sedekah dan belanja hal mubah.
Termasuk juga jika istri mendapatkan hibah dari ayahnya, dari ibunya, dari saudaranya, atau mendapatkan uang dari hasil bisnisnya atau warisan dari kerabatnya atau sumber-sumber uang sah lannya, lebih bijaksana jika istri mengalokasikan untuk jaga-jaga biaya pengobatan. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Istri tidak berhak obat untuk sakit, juga jasa medis, biaya bloodletting, biaya bekam dan biaya khitan. Sebab semua perkara ini tergolong untuk ḥifẓul aṣli, jadi ia menjadi tanggungan istri sebagaimana orang yang menyewakan barang harus menanggung biaya pemeliharaan benda yang disewakan. (Tapi) suami wajib menanggung biaya makan dan lauk (untuk istri) selama masa sakit itu. Istri juga punya hak mengalokasikan nafkah (wajib) yang diambil dari suami untuk dipakai pembiayaan obat dan semisalnya.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 9 hlm 50)
MELURUSKAN PERSEPSI KELIRU
Pembahasan hukum fikih terkait hak dan kewajiban itu bukan untuk memperburuk hubungan pasangan suami-istri atau membuat hubungan pasangan suami-istri menjadi kaku. Penjelasan hukum fikih juga tidak dimaksudkan agar hubungan pasangan suami istri menjadi formal, normatif, hitam-putih dan menghilangkan aspek persahabatan serta kasih sayang dalam kehidupan rumah tangga.
Jadi, ketika ada pembahasan biaya berobat istri bukan nafkah wajib suami, jangan sampai langsung dibayangkan suami membiarkan istrinya sakit, tidak peduli dan mengabaikannya sampai mati misalnya!
Tidak. Jangan dibayangkan seperti itu.
Pembahasan hukum fikih adalah salah satu aspek pengaturan rumah tangga. Bukan satu-satunya. Disamping fikih ada pembahasan akhlak, cinta, kasih sayang, pengorbanan, persahabatan, keteladanan, ketulusan dan sebagainya.
Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa suami terbaik adalah suami yang paling baik kepada istrinya. Tentu akhlak yang baik jika suami menanggung biaya pengobatan istri dan seyogyanya memang demikian. Sebab istri mau minta siapa saat sakit sementara beliau tidak punya uang sama sekali? Suami mempersulit hal ini padahal dia mampu berpotensi menimbulkan kekecewaan, menimbulkan ketegangan, menciptakan jarak, dan memasang bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Fikih itu dibahas untuk solusi problem, bukan menambah problem. Sebab fikih adalah hukum dan karakteristik hukum di mana-mana adalah menyelesaikan masalah dan memutuskan kasus perselisihan.
Maksud utama pembahasan hukum fikih justru untuk membantu pasangan suami istri mencapai level ketakwaan yang paling tinggi.
Ada dua dimensi yang diperhatikan di sini, yakni dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi.
Contoh dimensi duniawi misalnya begini,
Suami wajib memberi nafkah makan. Ketika dikatakan suami wajib menafkahi istri untuk makannya, hal ini bermakna dari sisi duniawi istri berhak menuntut suami, berhak minta cerai jika tidak diberi makan, dan berhak memaksa suami memberikannya melalui aduan ke pengadilan.
Dari sisi ukhrawi, para suami tahu bahwa Allah memerintahkan itu dengan keras dan suami takut Allah murka kepadanya di akhirat jika sampai melalaikannya dan kuatir Allah akan menyiksanya gara-gara kelaaian itu. Ini makna sesuatu dikatakan wajib.
Beda halnya jika hukum sesuatu tidak wajib. Misalnya hukum menyediakan kosmetik untuk kecantikan.
Menyediakan kosmetik kecantikan untuk istri tidak wajib bagi suami. Itu tidak lebih merupakan kebaikan tambahan. Tapi jika tidak dilakukan maka suami tidak berdosa.
Konsekuensinya, dari sisi duniawi istri tidak berhak menuntut suami menyediakan kosmetik kecantikan itu, tidak berhak minta cerai jika tidak diberi kosmetik, dan tidak berhak memaksa suami memberikannya melalui aduan ke pengadilan.
Dari sisi ukhrawi, para suami tahu bahwa Allah tidak mewajibkan suami menyediakannya. Tapi Allah senang jika suami menyediakannya sebagai tambahan kebaikan dan pergaulan yang indah pasangan suami istri. Jika suami tidak memprioritaskannya karena ada prioritas pembelanjaan lain yang lebih urgen, maka suami bisa tenang, karena tidak ada ancaman dosa dan tidak ada ancaman siksa jika tidak menyediakan kosmetik kecantikan untuk istri.
Inilah maksud pembahasan penataan mana yang wajib dan mana yang tidak wajib dalam fikih rumah tangga.
Lebih dari itu, dalam situasi-situasi sulit hukum tidak wajib menyediakan biaya pengobatan itu juga bisa menjadi solusi.
Misalnya kasus istri memiliki sakit yang butuh biaya luar biasa. Misalnya biaya pengobatan mencapai milyaran atau istri mengalami koma bertahun-tahun yang butuh biaya perawatan milyaran juga, padahal suami hanya seorang kuli bangunan. Ijtihad mazhab al-Syāfi‘ī menjadi solusi dalam hal ini. Saat suami memilih etanasia negatif, yakni menghentikan pengobatan, maka beliau tadi berdosa karena memang berobat hukumnya tidak wajib dan membiayai pengobatan juga tidak wajib. Berbeda halnya jika biaya pengobatan diwajibkan. Dalam kondisi seberat apapun suami wajib menyediakan, wajib berutang dan beliau bisa bangkrut sebangkrut-bangkrutnya karena tidak bisa melunasi sampai wafat.
Bisa jadi malah bisa menzalimi hak anaknya yang lebih butuh untuk nafkah makan dan yang semisal dengan itu.
***
4 Żulḥijjah 1442 H