Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Makna ‘imādul qasmi (عِمَادُ الْقَسْمِ) secara mudah adalah “standar pembagian jatah hari” (untuk istri yang dipoligami). Makna ‘imād sendiri secara bahasa adalah tumpuan, atau tiang atau topangan. Secara bebas bisa kita terjemahkan menjadi standar. Makna qasm secara bahasa adalah pembagian, maksudnya dalam konteks fikih poligami adalah pembagian jatah hari. Oleh karena itu imādul qasmi boleh kita terjemahkan “standar pembagian jatah hari”.
Pembahasan topik ini penting karena ia berguna untuk mengetahui kapan dimulai waktu ekslusif yang menjadi hak istri yang tidak boleh di ganggu istri manapun. Jika waktu eksklusif itu sudah dimulai, maka haram hukumnya suami menggunakannya untuk istri yang lain atau kegiatan lain di luar rumah yang tidak bersifat darurat. Jika sampai waktu tersebut dipakai untuk istri yang lain, atau kegiatan di luar rumah yang tidak urgen, berarti suami telah berdosa karena dia telah menzalimi hak waktu istri yang mendapatkan jatah hari.
Pembahasan ini juga penting untuk mengetahui start waktu kapan suami harus berpindah tempat menuju lokasi istri yang mendapatkan giliran berikutnya. Sebab, pembagian jatah waktu dalam rumah tangga poligami itu bisa saja per satu hari sekali atau dua hari sekali atau tiga hari sekali, bahkan bisa tujuh hari sekali atau sebulan sekali atau lebih dari itu. Oleh karena itu, diperlukan standar waktu yang jelas agar tahu kapan harus berpindah tempat.
Pembahasan ini juga penting untuk menandai kapan waktu yang mana suami dituntut ketat dan super hati-hati terkait penggunaan waktu. Sebab jika ‘imādul qasmi sudah jelas, maka di waktu ‘imād harus benar-benar jadi “milik” istri yang mendapatkan giliran sementara waktu di luar ‘imād yang bersifat tābi‘ (mengikuti) tidak ada keharusan berbuat adil kepada istri-istri.
KAPAN ‘IMĀDUL QASMI DALAM POLIGAMI?
Hukum asal ‘imādul qasmi dalam poligami adalah malam hari, tidak boleh siang. Definisi malam hari dimulai saat terbenam matahari dan berakhir saat terbit fajar (tiba waktu subuh). Artinya jika seorang suami membagi hari untuk istri-istrinya, maka penghitungan hari itu dimulai sejak tiba waktu malam.
Misalnya Azhar punya dua istri yaitu Rina dan Ratna. Azhar membagi jatah waktu istri masing-masing satu hari. Jika Rina mendapatkan jatah hari Senin, berarti pada waktu hari Ahad malam, Azhar sudah wajib menginap di tempat Rina. Kemudian begitu masuk hari Senin malam, Azhar sudah wajib menginap di tempat Ratna.
Jika pembagian jatah hari per dua hari sekali, berarti hari Ahad malam, Azhar sudah wajib menginap di rumah Rina. Kemudian begitu masuk hari Selasa malam, Azhar sudah wajib menginap di rumah Ratna. Demikian seterusnya.
Adapun waktu siang untuk melengkapi definisi satu hari, maka boleh diambil dari waktu siang sebelumnya maupun sesudahnya, yang penting standar yang dipakai tetap malam. Maksudnya begini; Misalnya Azhar mulai menginap di rumah Rina pada Ahad malam. Nah, definisi satu hari itu boleh memakai siang sebelumnya (yakni siang miliknya hari Ahad) atau siang sesudahnya (yakni siang miliknya hari Senin). Semua ini bebas diputuskan suami tanpa pertimbangan istri sekalipun sebab sudah merealisasaikan jatah waktu satu hari untuk istri.
Dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal pembagian hari harus memakai malam sebagai standar titik awal waktu adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Dialah yang menjadikan malam bagimu agar kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang.” (Yūnus: 67)
Dalam ayat di atas Allah menerangkan bahwa malam dijadikan tempat orang beristirahat dan memperoleh ketenangan. Hikmah penting pernikahan adalah untuk mewujudkan ketenangan itu. Oleh karena itu, malam hari harus menjadi milik pasutri karena waktu itulah terwujud ketenangan untuk mereka.
Dalil lain yang menguatkan adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Kami menjadikan malam sebagai pakaian.” (An-Naba’: 10)
Dalam ayat di atas, Allah menyebut malam hari sebagai pakaian, yakni menutupi manusia sebagaimana pakaian menutupi aurat manusia. Allah juga menyebut pasangan suami-istri itu sebagai pakaian satu sama lain. Oleh karena itu, waktu malam adalah waktu asal dan waktu spesial pasangan suami istri, karena semua kegiatan suami istri lebih longgar dilakukan di malam hari.
Dalil lain yang menguatkan adalah ayat berikut ini,
Artinya,
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya.” (Ar-Rūm: 21)
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan bahwa hikmah pernikahan adalah untuk mewujudkan ketentraman. Malam hari juga dibuat Allah untuk ketentraman manusia. Maknanya, pasangan suami istri berkumpul bersama dan dihimpun Allah adalah melalui malam itu.
Lagipula, menjadikan malam hari sebagai hukum asal standar pembagian hari adalah yang paling utama, karena awal bulan dalam Islam diawali malam hari sehingga awal hari dihitung semenjak terbenam matahari.
Lagipula umumnya istimtā’ itu dilakukan malam hari, bukan di waktu siang. Oleh karena itu, jika seorang tuan menikahkan budak wanitanya, maka wajib baginya menyerahkan budaknya di malam hari.
Dengan demikian, wajib menjadikan malam sebagai hukum asal standar pembagian hari untuk istri-istri. Meskipun waktu kerja lelaki berganti-ganti, misalnya terkadang bekerja siang dan terkadang bekerja malam, maka tetap wajib menjadikan malam ini sebagai standar untuk memulai penghitungan hari saat membagi jatah hari kepada istri-istrinya. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Standar pembagian jatah hari adalah malam sementara siangnya mengikuti.” (Raiḍatu al-Ṭālibīn, juz 7 hlm 348)
Adapun jika suami kerjanya memang selalu malam hari dan waktu istirahatnya siang hari semisal satpam, nelayan, polisi piket malam atau kalau di zaman dulu seperti penjaga perapian tempat pemandian umum, maka ‘imādul qasmi baru bisa dibalik. Siang hari sebagai standar dan waktu malamnya mengikuti.
Adapun dalam kondisi safar dan mengajak semua istri-istrinya, maka ‘imādul qasmi adalah saat singgah untuk istirahat. Tidak peduli singgahnya siang maupun malam juga tidak peduli apakah singgahnya berkali-kali (banyak) ataukah beberapa kali (sedikit) saja.
***
28 Zulhijah 1442/ 7 Agustus 2021