Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Ringkasnya, lelaki yang berpoligami dan terkena kewajiban membagi jatah waktu untuk istri-istrinya diizinkan menghabiskan waktu siang untuk melakukan aktivitas wajib, sunah dan mubah.
Aktivitas wajib utama yang semestinya banyak menghabiskan waktu siang lelaki yang berpoligami adalah bekerja. Alasannya, bekerja hukumnya wajib bagi suami yang tidak berharta dan hanya bisa menafkahi istri dengan cara bekerja. Hukum bekerja dalam kasus ini adalah fardu ain bagi suami. Durasi bekerja di waktu siang yang diizinkan tidak ada batasan. Bahkan seandainya suami mengambil sedikit waktu malam yang menjadi jatah istri karena memang diperlukan, maka itu juga tidak mengapa.
Contoh,
- Suami kerja di kantor, berangkat jam 07.00 pagi dan sampai rumah jam 16.30 sore
- Suami berdagang di pasar. Berangkat jam 09.00 pagi dan sampai rumah jam 19.00 malam.
- Suami menjadi pengurus yayasan. Berangkat jam 08.00 pagi dan sampai rumah jam 17.00 sore.
Yang semacam ini semuanya boleh dilakukan suami karena bekerja adalah kewajiban suami dan suami juga tidak punya kewajiban tinggal bersama istri di siang hari sebagaimana juga tidak wajib berbuat adil dalam pemberian jatah waktu istri di siang hari (sudah dibahas dalam catatan-catatan sebelumnya bahwa waktu wajib tinggal bersama istri dan waktu wajib adil dalam durasi waktu adalah malam hari).
Termasuk penggunaan waktu siang suami adalah untuk melaksanakan fardu ain yang lain seperti menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua, silaturahmi, dan semisalnya. Yang semacam ini tentu saja boleh dan sudah semestinya menggunakan waktu siang untuk melakukannya.
Selain menggunakan waktu siang untuk melaksanakan fardu ain, suami juga menggunakannya untuk melaksanakan fardu kifayah seperti mengurus jenazah, berdakwah (jika dia orang berilmu), berjihad, mengurus anak yatim, mengurus korban bencana, menolong orang tenggelam, aktif di organisasi sosial, belajar ilmu sains (seperti matematika, kedokteran, kimia, teknik dan semisalnya) dan lain-lain.
Selain itu, suami juga boleh menggunakan waktu siang untuk melaksanakan aktivitas sunah seperti menjenguk orang sakit, mengajar agama istri yang lain, menolong pindahan rumah, menyebarkan salam, dan semisalnya.
Di waktu siang, suami juga boleh menggunakannya untuk aktivitas mubah seperti tamasya, memancing, naik gunung dan semua hobi mubah lain yang tidak haram.
Jadi, di siang hari, suami tidak dikenai kewajiban tinggal terus bersama istri yang mendapatkan jatah hari, karena itu bertentangan dengan fakta kehidupan manusia sebagaimana juga bertentangan dengan dalil. Karena itulah, para ulama menegaskan bahwa suami tidak wajib membagi waktu yang sama untuk istri-istrinya di waktu siang karena siang hari adalah waqtul intisyār wat taraddud (waktu beraktivitas dan bekerja hilir mudik).
MENDATANGI ISTRI LAIN DI SIANG HARI
Adapun mendatangi istri lain di siang hari padahal hari itu bukan jatah harinya, maka ini yang harus hati-hati sebab syariat wajibnya berbuat adil membuat aktivitas mendatangi istri lain di siang hari ada yang diharamkan dan ada yang dibolehkan.
Yang diharamkan ada tiga yaitu,
- Mendatangi istri lain tanpa ada keperluan
- Mendatangi istri lain dengan ada keperluan tapi waktunya melebihi keperluan
- Mendatangi istri lain dengan maksud untuk menyetubuhinya.
Tiga aktivitas itu haram dilakukan lelaki yang berpoligami dan jika dilanggar maka dia telah berdosa karena menzalimi hak waktu istri yang mendapatkan jatah hari dan dia wajib meng-qaḍā’. Tetapi kewajiban meng-qaḍā’ ini mempertimbangkan durasi yang dipakai untuk melakukan 3 aktivitas tersebut. Jika sebentar maka tetap berdosa tapi tidak wajib meng-qaḍā’. Jika lama maka berdosa dan wajib meng-qaḍā’.
Adapun aktivitas yang diizinkan, yang utama adalah istimtā’. Makna istimtā’ di sini adalah segala jenis bersenang-senang bersama istri tetapi tidak sampai berhubungan badan. Misalnya mencium, memeluk, meraba, meremas, mencumbu dan semisalnya.
Boleh juga suami mendatangi istri lain di siang hari untuk mengambil barang tertentu atau meletakkan barang tertentu. Termasuk juga hajat seperti memberi nafkah, mencari berita, mengajari ilmu, memecahkan masalah istri, dan hajat-hajat semisal. Dalil yang menunjukkan kebolehan ini adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, ia berkata: Aisyah berkata: Wahai keponakanku, Rasulullah ﷺ tidak mengistimewakan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam membagi waktu tinggalnya bersama kami. Jarang sekali tiba waktu siang kecuali beliau mendatangi kami semua dan mendekat kepada seluruh istri tanpa menyetubuhi hingga sampai kepada rumah istri yang hari itu merupakan bagiannya, kemudian beliau bermalam di tempatnya.” (H.R.Abū Dāwūd)
Dalam hadis di atas Aisyah menceritakan kebiasaan Nabi ﷺ yang hampir setiap hari mendatangi istri-istrinya di waktu siang (riwayat lain menyebut lugas setelah Asar) untuk melakukan istimtā‘ atau hajat yang lain. Baru setelah itu beliau akan menginap di tempat istri yang mendapatkan jatah hari. Perbuatan Rasulullah ﷺ ini menunjukkan mendatangi istri lain di siang hari karena ada hajat itu mubah meskipun tidak mendesak dan tidak termasuk kezaliman terhadap istri yang mendapatkan jatah waktu.
Jika untuk melakukan hajat tidak mendesak seperti istimtā’ atau menaruh barang boleh, maka untuk melakukan hajat mendesak seperti menjenguk istri yang sakit parah dan dikuatirkan wafat, menolong istri yang kebakaran dan semisalnya tentu lebih boleh.
Inilah rambu-rambu mendatangi istri di siang hari sementara giliran hari tidak jatuh pada dia. Ada yang boleh dan ada yang tidak boleh.
Adapun jika suami selalu bekerja di malam hari seperti satpam atau attūnī sehingga imādul qasmi-nya siang, maka suami boleh mendatangi istri yang lain di malam hari untuk kebutuhan yang tidak mendesak atau yang mendesak dengan rambu-rambu yang sama dengan di atas.
***
1 Muharam 1443/ 9 Agustus 2021