Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen di Universitas Brawijaya
Saya membayangkan, Samiri itu orang yang sangat berilmu di masa Nabi Musa dan memiliki semacam “linuwih” yang tidak dimiliki orang-orang Bani Israel pada umumnya. Buktinya Nabi Harun saja kalah pengaruh saat dia mengajak menyembah anak sapi!
Tidak mungkin ada orang yang sanggup mengalahkan pengaruh seorang nabi yang dibimbing oleh wahyu, kecuali dia di mata orang biasa tampak memiliki sejumlah “keistimewaan” baik dalam hal pengetahuan, sikap hidup maupun pengalaman sehingga bisa menarik sejumlah besar Bani Israel untuk mengikuti idenya. Al-Qurṭubī dalam tafsirnya menyebut kedudukan Samiri yang punya pengaruh besar di tengah-tengah Bani Israel dengan kalimat “wakāna muṭā‘an fīhim” (Dia-Samiri- itu ditaati di tengah-tengah mereka).
Al-Qur’an sendiri merekam pengakuan Samiri yang mengklaim bahwa dia bisa melihat yang tidak bisa dilihat oleh Bani Israel. Allah menceritakan ucapan Samiri sebagai berikut,
﴿قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا بِهِ ﴾ [طه: 96]
Artinya,
“Aku bisa melihat (apa yang) tidak bisa dilihat oleh mereka” (Q.S.Ṭāhā: 96)
Pertanyaannya, “Bagaimana cara Samiri meyakinkan mayoritas Bani Israel untuk menyembah patung anak sapi itu?”
Ini yang tidak diterangkan dengan detail dalam Al-Qur’an maupun hadis. Al-Qur’an hanya memberikan sejumlah informasi kunci. Seakan-akan Allah memerintahkan kita menyelidiki sejarah, budaya dan pemikiran di zaman itu agar bisa mengerti argumentasi Samiri lebih detail lalu mengambil ibrah darinya. Agar fitnah serupa tidak berulang di tengah-tengah umat Islam. Sebab, argumentasi yang sama bisa dipakai sekte-sekte sesat untuk menarik para awam, bahkan bisa jadi juga akan dipakai Dajjal Akbar untuk mengarahkan seluruh umat manusia supaya menyembahnya.
Salah satu informasi kunci yang bisa kita jadikan titik tolak untuk memahami argumentasi Samiri adalah ayat dalam Al-Qur’an yang mengabarkan bahwa anak sapi yang disembah Bani Israel itu memiliki jasad dan suara lenguhan sapi (khuwār). Artinya anak sapi tersebut terkesan hidup dalam pandangan mata Bani Israel! Allah berfirman,
﴿فَأَخْرَجَ لَهُمْ عِجْلًا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ ﴾ [طه: 88]
Artinya,
“Kemudian dia (Samiri) mengeluarkan untuk mereka anak sapi berjasad yang punya lenguhan sapi” (Q.S.Ṭāhā: 88)
Jika dihubungkan dengan “linuwih” dan kelebihan Samiri yang bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat Bani Israel, berarti mungkin saja Samiri mengklaim bahwa dia sudah “wuṣul” pada Allah, sudah mencapai level makrifat dan sudah mengetahui rahasia sifat Allah sehingga bisa “menghidupkan” benda mati. Mungkin saja dia mengklaim sudah terbuka hijab antara dia dengan Allah, lalu dia mengaku menggunakan sirr (rahasia) ṣifatul ḥayāh (sifat hidup) yang dimiliki Allah untuk “menghidupkan” patung anak sapi. Kenyataan yang dilihat bani Israel memang benar-benar melihat jasad yang punya darah dan daging. Jadi mayoritas mereka bisa diyakinkan bahwa anak sapi itu memang makhluk hidup!
Lalu dari situ mungkin Samiri mengklaim bahwa sifat ḥayat (kehidupan) Allah telah bertajalli pada anak sapi tersebut. Karena itu Bani Israel diajak menyembahnya. Tentu saja Samiri tidak mengajak penyembahan anak sapi sebagai anak sapi, yakni menyembah bentuk fisik anak sapi sebagai makhluk, tetapi ajakannya adalah menyembah Allah semata-mata, Tuhan sejati yang dianggap telah bertajalli pada anak sapi tersebut.
Dari situlah Samiri berani tegas mengatakan bahwa Allah sudah ada di situ, sementara nabi Musa keliru mencari Allah yang disangka bertajalli di gunung Tursina, padahal kenyataannya Allah sudah riil dan bertajalli pada sosok anak sapi di depan mereka. Opini ini nampaknya sudah merata di tengah-tengah Bani Israel sehingga sebagian besar mereka berkata,
فَقَالُوا هَذَا إِلَهُكُمْ وَإِلَهُ مُوسَى فَنَسِيَ [طه: 88]
Artinya,
“Mereka berkata, ‘Ini adalah tuhan kalian dan tuhan musa, tapi dia lupa” (Q.S.Ṭāhā: 88)
Teori bahwa tuhan menitis pada anak sapi yang disembah bani Isreal ini disebutkan oleh Coogan dalam bukunya yang berjudul “A Brief Introduction To The Old Testament: The Hebrew Bible In Its Context”. Status anak sapi yang disembah karena diyakini bahwa Allah bertajalli padanya diistilahkan dengan sebutan “Pedestal of Yahweh”.
Lagi-lagi, jika benar seperti ini argumentasi Samiri untuk mengajak penyembahan anak sapi, berarti tumpuan propagandanya adalah paham hulul.
Sampai di sini apakah Anda teringat dengan kelompok yang mengatakan “WAJAR JIKA NABI ISA DISEMBAH”? atau mengatakan “BOLEH MENYEMBAH MANUSIA yang bisa menghidupkan makhluk mati asal meyakini sifat menghidupkannya itu milik Allah”? atau mengatakan “apa saja yang disembah di alam semesta sebenarnya yang disembah itu Allah”?
Tentu saja Allah menceritakan kisah Samiri dalam Al-Qur’an agar menjadi ibrah bagi kaum muslimin. Agar mewaspadai pemikiran yang dibawa orang seperti Samiri. Agar lebih sensitif dengan kemusyrikan dan agar menjauhi segala gagasan bid’ah yang mengarah pada penyembahan selain Allah.
Celakanya, Samiri dengan gagasan seperti ini justru malah dipuji oleh Ibnu ‘Arabī! Menurut Ibnu Arabi, Samiri itu berada dalam kebenaran sementara nabi Harun itu jahil! Al-Muqbilī menukil ucapan Ibnu ‘Arabī itu sebagai berikut,
إِن هَارُون جهل حَقِيقَة الْأَمر
Artinya,
“Sesungguhnya (Nabi) Harun itu jahil dengan hakikat perkara (Samiri)”
لِأَن الْعَارِف المكمل يرى كل معبود مجلى للحق
Artinya,
“Karena orang makrifat yang sempurna melihat segala yang disembah itu ekspresi/bentuk tajalli (Allah) al-ḥaqq” (al-‘Ilmu al-Syāmikh, hlm 373)
Jika seperti ini paham Ibnu ‘Arabī, bagaimana mungkin pemikiran seperti itu hendak disinkretiskan atau dikompromikan dengan tasawuf al-Junaid atau taswwuf al-Gazzālī?
Saya berhipotesis, main-main filsafat untuk memahami sifat Allah seperti inilah yang diingatkan oleh imam al-Syāfi‘ī agar benar-benar dijauhi. Sebab memang bisa mengkafirkan. Al-Ḥallāj dan Ibnu ‘Arabī adalah contoh sosok yang berusaha memahami sifat Allah dengan memakai filsafat, jadi tidak usah heran jika melihat bahasa-bahasa filsafat dalam pemikiran mereka.
Terbuktilah yang diperingatkan oleh al-Haitamī, yakni seseorang bisa jatuh pada kemusyrikan akbar karena mempelajari pemikiran Ibnu ‘Arabī. Beliau berkata,
شَاهَدْنَاهُ فِي أنَاس جهال أدمنوا مطالعتها فخلعوا ربقة الْإِسْلَام والتكليفات الشَّرْعِيَّة من أَعْنَاقهم وأفضى بهم الْحَال إِلَى الْوُقُوع فِي شرك الشّرك الْأَكْبَر
Artinya,
“Kami telah menyaksikannya (ketergelinciran karena mengkaji buku-buku Ibnu ‘Arabī) pada orang-orang bodoh yang mengkaji buku-buku tersebut. Jadinya mereka melepaskan ikatan Islam dan ikatan taklif syar’ī dari leher mereka. Kondisi tersebut mengantarkan mereka terjatuh pada jeratan syirik akbar!”
“Kami telah menyaksikannya (ketergelinciran karena mengkaji buku-buku Ibnu ‘Arabī) pada orang-orang bodoh yang mengkaji buku-buku tersebut. Jadinya mereka melepaskan ikatan Islam dan ikatan taklif syar’ī dari leher mereka. Kondisi tersebut mengantarkan mereka terjatuh pada jeratan syirik akbar!” (Al-Haitamī)
24 Ramadhan 1443 H/ 26 April pukul 10.58