Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kejadiannya hari Senin, 15 Syawal 1443 H/16 Mei 2022 menjelang maghrib.
Waktu itu kami bertiga (saya, istri dan anak kedua) baru selesai membesuk salah seorang kerabat yang sakit.
Kami naik sepeda motor.
Istri saya bonceng di belakang, anak saya dudukkan di depan.
Kecepatan sepeda tergolong normal. Kira-kira antara 40-50 Km/jam.
Ketika melewati jalan agak menurun yang mana kanan kirinya masih “setengah hutan”, tiba-tiba berkelebatlah seekor kucing kecil menyeberang jalan dengan langkah cepat. Saya menjerit tertahan, istri menjerit, anak juga menjerit. Tapi terlambat, pas kucing itu lewat, pas pula ban sepeda saya melindas tubuh kucing malang itu. Rem yang saya tekan keras-keras tidak ada fungsinya. Saya merasakan dengan jelas ban depan sepeda saya seperti melewati polisi tidur. Ada guncangan kecil pada kendaraan yang kami rasakan. Dari situ saya 100% yakin telah menabrak seekor kucing yang tengah menyeberang.
Saya lekas menghentikan sepeda. Menoleh ke belakang. Dari jauh masih terlihat kucing malang itu berkelojotan meregang nyawa. Saya sudah yakin tidak mungkin menyelamatkannya. Dengan kesedihan besar, saya bersama anak mendekatinya untuk menyingkirkannya dari jalan.
Ketika sampai, tubuh anak kucing itu sudah terkulai tak bernyawa. Ternyata kepalanya yang tergilas ban. Bagian mata kanannya hampir keluar. Mulutnya terbuka bekas meringis kesakitan. Dengan hati tak karuan saya pun mengamankannya ke belukar terdekat agar tidak mengganggu pengendara yang lain.
Sampai di sini kami semua tercenung.
Semuanya shocked.
Terutama saya dan anak. Sebab kami penyayang kucing. Saya suka kucing sejak kecil. Kedua anak saya juga penyayang kucing. Sampai hari ini, kami di rumah memelihara kucing. Hanya istri yang agak takut dengan kucing. Mungkin ada pengalaman masa kecil yang membuat trauma. Walaupun istri bukan penyuka kucing, tetapi melihat kematiannya yang tragis seperti itu, meleleh juga hatinya karena kasihan.
Sepanjang perjalanan pulang itu semua saya ajak bertafakkur.
Apa pesan Allah dengan kejadian yang sungguh mengejutkan sore ini?
Mengapa di antara sekian hamba Allah, yang dipilih adalah saya untuk menjadi perantara kematian kucing itu?
Mengapa Muafa yang justru menyayangi kucing malah dipilih Allah untuk menjalani “lakon” penabrak kucing hingga menewaskannya?
Mengapa anak Muafa yang menyayangi kucing juga harus melihat peristiwa pembunuhan tidak sengaja itu?
Mengapa istri Muafa yang bukan penyuka kucing juga dikehendaki Allah untuk menyaksikannya?
Sepanjang jalan saya merenungkannya.
Berusaha menangkap pesan Allah di baliknya.
Entah apakah Allah berkehendak mengajari sejumlah ilmu dan pelajaran yang mungkin belum dibuka semua olehNya, hanya saja perenungan saya terhadap peristiwa itu memberi sejumlah pelajaran.
Pertama, beradablah saat berkendaraan.
Peristiwa menabrak mati seekor kucing secara tidak sengaja itu membuat saya bertekad lebih “beradab” lagi saat berkendaraan di tempat-tempat tertentu. Yang saya bayangkan, jika kita melewati area jalan yang kanan-kirinya masih banyak pepohonan dan tanaman, berarti daerah situ masih banyak hewan-hewan liar berkeliaran. Mungkin kucing, musang, tupai, kera dan sebagainya. Sesekali mereka mungkin menyeberang dengan instingnya. Demi mencegah tabrak mati seperti itu, seyogyanya jika melewati area seperti itu kendaraan lebih dipelankan lagi. Yakni level kecepatan yang kira-kira masih sempat mengerem saat tiba-tiba ada hewan yang menyeberang.
Tentu saja jika melewati kampung yang ramai lebih utama dan lebih beradab lagi jika dipelankan. Sebab menjaga nyawa manusia tentu lebih utama daripada menjaga nyawa hewan. Kebetulan juga di kampung tempat kerabat yang kami besuk karena sakit itu baru saja ada kejadian orang yang tewas karena ditabrak sepeda! Ini seakan-akan pendidikan indah dari Allah kepada kami supaya benar-benar serius menjaga adab saat berkendaraan agar tidak menyakiti makhluk Allah, apalagi merugikan manusia.
Kedua, pelajaran terkait perbuatan Allah.
Melalui peristiwa ini, kami ditunjukkan lagi bahwa Allah itu maha berkehendak. Jika dia sudah berkehendak, maka tidak ada seorangpun di alam mayapada ini yang sanggup melawan kehendakNya. Semua hamba wajib pasrah dan bisa menerima semua ketentuanNya.
Di antara kehendaknya itu adalah Allah berkuasa mencabut nyawa hambaNya dengan cara yang dikehendakiNya. Allah bisa saja membuat kucing tersebut mati damai di bawah pohon, atau di balik selimut yang hangat atau di dalam gua. Tetapi Allah berkehendak membuatnya mati dengan cara “tragis” menurut ukuran dan perasaan manusia, yakni mati ketabrak sepeda dengan kepala remuk dan mata hampir keluar sebelah. Semuanya adalah kehendak Allah yang baik untuk hikmah yang dikehendakiNya. Itu juga kehendak yang adil, karena Allah sudah memberikan kenikmatan bertubi-tubi pada kucing tersebut sebelum mati. Yakni nikmat hidup, nikmat makanan, nikmat kehangatan dan semisalnya. Jika Allah memberikan sepercik penderitaan, maka itu semua sangat kecil dibandingkan dengan kenikmatan yang jauh lebih banyak.
Di antara kehendak Allah juga adalah kadang-kadang perbuatan kita itu sama sekali tidak bermaksud menyakiti pihak lain, tetapi kita sendiri tidak kuasa mencegahnya. Allah berkehendak menguji hamba yang lain dengan penderitaan dan menjadikan perbuatan kita sebagai sarananya! Walaupun kita sama-sama sedih, tetapi tetap harus dikembalikan bahwa itu semua atas kehendak Allah dan tidak ada kejadian apapun di alam semesta ini yang tidak atas izin Allah.
Ada pula sebagian hamba Allah yang seperti anak saya, menyayangi tapi harus menyaksikan penderitaan yang disayangi itu tanpa bisa berbuat apa-apa karena itu memang sudah kehendak Allah.
Ada pula sebagian hamba Allah yang seperti istri saya. Tidak menyayangi, tapi iba juga saat melihat penderitaan hamba Allah yang lain, tapi akhirnya tetap harus pasrah karena semua itu atas kehendakNya.
Ini sementara yang saya tangkap.
Mungkin di masa yang akan datang akan membuka yang lebih daripada ini.
23 Syawal 1443 H/ 29 Mei 2022 M pukul 18.48