Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Di negeri kita, istilah silaturahmi mengalami distorsi makna.
Hari ini, jika disebut silaturahmi, maka orang segera memahaminya sebagai TALI PERSAHABATAN atau TALI PERSAUDARAAN.
Jika disebut bersilaturahmi, maka orang memaknainya sebagai upaya menyambung tali persahabatan/persaudaraan. Oleh karena itu dalam percakapan atau tulisan, kita mendapati istilah silaturahmi dipakai untuk kawan yang mengunjungi kawannya, pejabat yang mengunjungi sesama pejabat, elit partai ke elit partai lainnya, pebisnis yang ingin mengembangkan jaringannya, bahkan lelaki yang mendekati wanita incarannya.
Dalam sudut pandang syariat, pengertian seperti ini salah kaprah. Sebab makna silaturahmi dalam Al-Qur’an maupun hadis tidak seperti itu. Oleh karena istilah silaturahmi diserap dari bahasa Arab, Al-Qur’an dan hadis, maka maknanya tentu lebih obyektif jika dikembalikan ke sana.
Makna silaturahmi dalam syariat adalah menyambung tali kekerabatan. Jadi harus dibatasi kepada kerabat dan hanya kerabat saja. Teman, tetangga, kolega, pejabat, sesama aktivis partai, follower dan semisalnya tidak termasuk kerabat. Jadi istilah silaturahmi tidak bisa dipakai untuk mereka.
Silaturahmi (صِلَةُ الرَّحْمِ) sendiri berasal dari dua kata yaitu ṣilah (صِلَةُ) dan raḥmi (الرَّحْمِ). ṣilah maknanya menyambung, raḥmi atau raḥim bermakna uterus, yakni kantong dalam perut wanita tempat bayi berkembang sebelum lahir atau lebih kita kenal dengan istilah rahim. Dari istilah bahasa ini saja sudah terlihat bahwa silaturahmi itu menyambung orang-orang yang ada hubungan rahimnya. Dengan kata lain, silaturahmi itu menyambung tali kekerabatan. Bukan semata-mata tali persaudaraan yang bisa saja diikat dengan kesamaan organisasi, partai, tempat kerja, asal daerah, kesukuan, kesamaan nasib dan lain-lain.
Jadi memaknai silaturahmi dengan makna yang lebih luas, yakni tali persaudaraan/persahabatan tidak sesuai dengan pengetian bahasa dan etimologinya.
Demikian pula dalam Al-Qur’an dan hadis. Semua dalil dalam Al-Qur’an dan hadis yang memerintahkan silaturahmi semuanya bermakna perintah membaiki kerabat. Celaan terhadap pemutus silaturahmi semuanya bermakna celaan kepada mereka yang menjahati kerabat dan tidak peduli kepada mereka. Oleh karena itu, seorang ulama besar dan otoritatif yang sangat memahami hakikat ini, yakni imam al-Nawawi menjelaskan silaturahmi sebagai berikut,
Artinya,
“Adapun silaturahmi, maka (maknanya adalah) perbuatan Anda kepada KERABAT Anda yang bisa dihitung sebagai menyambung, tidak menjauhi dan tidak memutus hubungan. Yang demikian terkadang terealisasi dengan cara memberi harta, terkadang dengan memenuhi kebutuhannya atau melayaninya atau mengunjunginya. Untuk orang-orang yang jauh (tidak mungkin dijangkau), silaturahmi juga dilakukan dengan cara yang semisal dengan itu, juga dengan korespondensi, mengirim salam kepadanya dan yang semisal dengannya.” (Rauḍatu al-ṭālibīn, juz 5 hlm 390)
Jadi silaturahmi hanya dibatasi untuk kerabat saja. Tepatnya kerabat yang ada hubungan darah atau yang diistilahkan dengan kerabat nasab. Kerabat jenis itulah yang wajib mendapatkan silaturahmi.
Jangankan orang asing, kerabat karena pernikahan atau karena persusuan saja tidak masuk dalam definisi kerabat yang wajib disambung tali silaturahmi. Status silaturahmi kepada kerabat karena pernikahan dan persusuan adalah sunah, tapi bukan wajib. Lebih-lebih orang-orang yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan kita. Hubungan kita dengan mereka tidak disebut silaturahmi, juga tidak dikatakan menyambung silaturahmi, tetapi cukup disebut bergaul baik, bertetangga baik, bersahabat dengan baik atau yang semisal dengan itu.
Tegasnya, kerabat itu ada 3 macam,
Pertama, kerabat nasab (النسب)
Kedua, kerabat karena perkawinan (المصاهرة)
Ketiga, kerabat karena persusuan (الرضاعة)
Kerabat yang wajib disambung silaturahmi adalah kerabat yang ada hubungan darah saja, alias kerabat nasab. Adapun kerabat karena perkawinan atau karena persusuan, maka status membaiki mereka adalah sunah, bukan wajib. Apalagi yang tidak diikat dengan hubungan kekerabatan. Kebaikan terhadap mereka tetap dihitung amal saleh dan hal makruf, tapi jangan disebut silaturahmi.
Adapun pemaknaan silaturahmi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai “Tali persahabatan (persaudaraan)”, maka ini adalah contoh istilah dalam islam yang diserap dengan pengertian yang tidak akurat sebagaimana istilah ikhlas, fitnah dan semisalnya. Jadi istilah-istilah demikian maksimal hanya boleh dipakai dalam bahasa Indonesia, tetapi tidak boleh dipakai untuk memahami Al-Qur’an dan hadis karena jelas akan mengacaukannya.
21 Muharam 1444 H/ 19 Agustus 2022 pukul 07.47