Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Ada 4 topik utama yang dibahas terkait adab mengkafani jenazah ini yaitu,
- Hukum mengkafani
- Pembiayaan kafan
- Karakteristik kafan
- Tata cara mengkafani
HUKUM
Mengkafani jenazah hukumnya fardu kifayah. Tidak harus mukallaf yang melakukannya. Seandainya ada selain mukallaf yang melakukannya, misalnya anak-anak atau orang gila maka itu sudah cukup.
Jika ada yang membongkar kuburan, lalu kafannya dicuri, maka jenazah tersebut tetap wajib dikafani lagi. Tapi jika harta warisan sudah dibagi, maka sunah saja mengkafaninya kembali.
PEMBIAYAAN
Hukum asalnya, pembiayaan kafan diambilkan dari tarikah (harta tinggalan) mayit. Bahkan semua biaya penyelenggaraan jenazah muali dari memandikan, mengkafani sampai mensalatkan hukum asalnya juga diambilkan dari tarikah.
Dalilnya adalah karena Rasulullah ﷺ mengkafani lelaki yang wafat dalam keadaan ihram dengan pakaian ihramnya. Hal ini menunjukkan mayit dikafani memakai harta yang ditinggalkannya. Demikian pula saat Muṣ‘ab bin ‘Umair wafat. Beliau juga dikafani memakai kain yang dikenakannya. Ini semua menunjukkan hukum asal pembiayaan kafan adalah dari harta mayit sendiri, yakni tarikahnya. Lagipula status hukum fardu kifayah mengkafani mayit sudah menjadi ijmak.
Pengecualian pembiayaan kain kafan dari tarikah hanya dua kondisi. Pertama, di dalam tarikah ada hak orang lain. Kedua, mayit berupa istri yang masih punya suami (karena dalam kondisi ini biayanya ditanggung suami karena masih bermakna nafkah wajib).
Suami itu bagaikan tarikah bagi istri. Jadi, selama suami masih ada, maka biaya kafan ditanggung suami, tidak peduli istri yang wafat itu kaya ataukah miskin.
Istri yang ditalak bain tapi hamil maka biaya kafannya masih ditanggung suami. Termasuk istri yang ditalak raj’i biaya kafannya juga ditanggung suami.
Jika suami mampu tapi pelit, atau pas pergi, lalu dibiayai dari tarikah mayit atau orang lain, maka boleh dipaksa diambil dari harta suami dengan putusan hakim. Jika tanpa izin hakim maka tidak boleh.
Jika suami tidak punya harta, barulah biaya kafan diambil dari tarikah istri. Jika suami punya harta tapi tidak cukup untuk beli kafan, maka harta yang ada dipakai dan dilengkapi dengan tarikah istri.
Jika istri nusyuz atau yang masih kecil, maka dia tidak wajib dinafkahi, karena itu biaya kafan diambil dari tarikah istri.
Jika ahli waris berselisih apakah pembiayaan kafan diambilkan dari tarikah atau dari uang pribadi sebagian ahli waris, maka harus diputuskan diambilkan dari tarikah. Tujuannya menjaga kehormatan mayit supaya tidak diungkit-ungkit.
Jika mayit tidak meninggalkan tarikah, maka biaya kafan dibebankan pada orang yang wajib menafkahinya. Misalnya ayah, kakek, putra, dan seterusnya. Walaupun anak sudah dewasa, tapi jika dia fakir dan tidak meninggalkan tarikah sementara ayahnya mampu, maka biaya kafan dibebankan kepada ayahnya.
Jika semua orang yang wajib menafkahi tidak ada, maka biaya kafan diambilkan dari harta wakaf khusus kafan.
Jika itu juga tidak ada, maka ditanggung baitul mal.
Jika baitul mal kosong atau penguasanya zalim maka biaya kafan menjadi tanggungan seluruh kaum muslimin, yakni orang-orang kaya di antara mereka.
Semua biaya penyelenggaraan jenazah selain kafan statusnya sama dengan ketentuan pembiayaan kafan ini.
KARAKTERISTIK KAFAN
Pembahasan tentang karakteristik kafan mencakup lima hal yaitu warna, bahan, ukuran, jumlah, dan komposisi.
Warna
Warna kafan disunahkan putih. Hal ini bermakna, sebenarnya boleh warna kafan apapun, tetapi yang afdal adalah berwarna putih. Dalil sunahnya mengkafani dengan kain berwarna putih adalah hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Nabi ﷺ bersabda: “Pakailah kalian pakaian yang berwarna putih, karena itu merupakan sebaik-baik pakaian kalian. Kafanilah dengannya mayit-mayit kalian.””
Disunahkan juga memilih warna putih terbaik, yang paling bersih, yang paling tebal dan paling baik tenunannya, tapi tidak bersifat mewah.
Tidak boleh kain kafan ditulisi ayat Al-Qur’an. Sebab hal itu akan menghinakan Al-Qur’an, lebih-lebih umumnya kafan akan terkena nanah jenazah jika sudah membusuk.
Bahan
Terkait bahan kafan, prinsip umumnya begini.
Kafan bagi jenazah itu seperti pakaian bagi orang hidup. Oleh karena itu, bahan kain yang haram bagi orang hidup, maka tidak boleh dijadikan kafan saat dia wafat. Bahan kain yang mubah, berarti boleh dijadikan kafan saat dia wafat.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa jenazah lelaki itu haram dikafani dengan sutra, karena saat hidup, seorang lelaki diharamkan memakai pakaian sutra. Adapun wanita, karena saat hidup halal memakai sutra, maka boleh dikafani dengan sutra. Hanya saja statusnya makruh, karena mengkafani dengan sutra itu berlebihan dan tidak pantas untuk konteks pemakaman yang mestinya sederhana karena akan dihancurkan juga oleh tanah. Hukum anak-anak dan orang gila sama seperti dengan wanita dalam hal dikafani sutra ini.
Jika ada orang berjihad yang pakaiannya hanya bisa sutra, misalnya karena punya penyakit kulit, lalu beliau syahid, maka boleh dikafani dengan sutra tersebut karena saat hidup beliau dibolehkan memakainya.
Tidak boleh jenazah dikafani dengan kain bernajis, karena mayit itu seperti orang yang salat, jadi pakaiannya harus suci. Jika yang ada hanya kafan sutra dan kain bernajis, maka yang dimenangkan adalah kafan najis. Jika ini yang terjadi, maka sebelum disalati usahakan kafan disucikan selama masih mungkin agar mensalatinya sah. Jika tidak mungkin mensucikan kafan tersebut, maka dimaafkan.
Haram juga jenazah dikafani dengan kulit selama masih ada kain karena hal itu sifatnya menghinakannya. Haram juga mengkafani jenazah dengan tanah liat/lempung atau rumput dengan alasan yang sama. Jika kain sama sekali tidak ada, barulah boleh dengan urutan rukhsah: Kulit, lalu rumput dan terakhir lempung.
Adapun meletakkan jenazah pada peti mati sebagaimana kebiasaan di luar Islam, maka ini makruh.
Terkait kualitas kafan, maka kain kafan yang lama dan dicuci lebih baik daripada beli yang baru. Sebab, kafan itu disiapkan untuk hancur, jadi tidak ada maknanya diperindah. Kualitas kafan juga disesuaikan dengan level zuhud mayit. Jika termasuk orang yang memaksimalkan menikmati hal mubah (muktsir), maka diberi kafan yang bagus, jika pertengahan maka kafannya juga pertengahan, jika sederhana maka kafannya dipilih yang kasar.
Dimakruhkan berlebihan dalam kain kafan. Tapi bahan apapun boleh, selama mubah dipakai seandainya jenazah tersebut hidup. Al-Haitamī memfatwakan sunahnya bahan dari kapas/katun.
Semua bahan kain kafan apapun yang dipilih, disyaratkan memiliki sifat menutup kulit (satru al-basyarah) seperti menutup aurat saat salat.
Ukuran
Ukuran kafan tentu saja disesuaikan dengan besar dan tinggi umumnya orang di lokasi tertentu, karena bisa saja berbeda-beda. Yang jelas diusahakan menutup seluruh tubuh karena itu yang paling ideal. Sebagai bentuk kehati-hatian, lebihkan panjang kafan hingga melampaui kepala dan kaki. Di Indonesia, karena tinggi orang rata-rata tidak sampai 2 meter, satu helai kain kafan biasanya berukuran 2,5 x 1 meter saja kurang lebih.
Adapun ukuran minimalnya, maka kafan paling sedikit harus menutup aurat jenazah. Alasannya, saat hidup saja minimal pakaian orang harus menutup aurat. Oleh karena itu, saat mati kain kafan minimal juga harus mengamankan auratnya.
Jika ukuran minimal adalah menutup aurat, berarti kadarnya berbeda antara pria dengan wanita karena batasan aurat keduanya berbeda.
Dalil yang menunjukkan kain kafan minimal menutup aurat adalah riwayat berikut ini,
Artinya,
“Mus’ab bin Umair telah gugur. Ia adalah orang yang lebih baik dariku, namun saat (hendak dikafani) tidak ada kain kafan yang bisa membungkusnya kecuali hanyalah burdah (kain bergaris) yang apabila kepalanya akan ditutup, kakinya terbuka (karena kain yang pendek) dan bila kakinya yang hendak ditutup kepalanya lah yang terbuka.”
Riwayat di atas menunjukkan Rasulullah ﷺ membenarkan cara pengkafanan Muṣ’ab bin ‘Umair yang tidak sampai meratai seluruh tubuh. Seandainya kafan wajib meratai seluruh tubuh, seharusnya Mus’ab tidak boleh hanya dikafani seperti itu. Oleh karena itu, menutupi seluruh tubuh jenazah adalah kondisi ideal, tetapi tidak wajib jika kainnya tidak cukup. Minimal diusahakan aurat jenazah tertutup, maka sudah gugur kewajiban mengkafani, walaupun sifatnya merusak hak mayit.
Jika kain kafan hanya cukup untuk menutup salah satu antara kepala dan kaki, maka diutamakan menutup kepala.
Jumlah
Jumlah minimal kafan adalah satu helai. Ketentuan ini berlaku baik jenazahnya laki-laki maupun perempuan. Dalilnya adalah riwayat berikut ini,
Artinya,
“Mus’ab bin Umair telah gugur. Ia adalah orang yang lebih baik dariku, namun saat (hendak dikafani) tidak ada kain kafan yang bisa membungkusnya kecuali hanyalah burdah (kain bergaris) yang apabila kepalanya akan ditutup, kakinya terbuka (karena kain yang pendek) dan bila kakinya yang hendak ditutup kepalanya lah yang terbuka.”
Dalam riwayat di atas, Rasulullah ﷺ membenarkan Muṣ’ab bin Umair dikafani hanya dengan satu helai kafan. Hal ini menunjukkan mengkafani jenazah hanya satu helai kain sudah sah dan sudah menggugurkan kewajiban.
Yang afdal untuk jenazah laki-laki adalah dikafani 3 helai kain yang menutupi seluruh tubuhnya. Dalilnya adalah riwayat Rasulullah ﷺ dikafani dengan 3 kain dalam hadis berikut ini,
Artinya,
“Dari Aisyah radliyallahu’anha bahwasanya Rasulullah ﷺ (ketika wafat) dikafani jasadnya dengan tiga helai kain putih terbuat dari katun dari negeri Yaman dan tidak dikenakan padanya baju dan serban (tutup kepala” (H.R. al-Bukhārī).
Sunahnya mengkafani 3 helai kain ini juga berlaku jika jenazah laki-laki tersebut masih anak-anak atau wafat dalam keadaan ihram. Hanya saja, jenazah orang berihram tidak boleh ditutupi kepala dan wajahnya.
Kain pertama adalah hak Allah. Jadi, jika mayit mewasiatkan untuk ditiadakan maka tidak boleh dilaksanakan. Dalam kondisi ini mayit harus tetap dikafani dengan satu helai kain, yakni yang menutup auratnya. Adapun kafan ke-2 dan ke-3, maka itu hak mayit. Jika diwasiatkan untuk ditiadakan maka wajib dilaksanakan.
Jika mayit berwasiat hanya menutup aurat, maka itu wasiat tidak tidak sah dan wajib ditutup seluruh tubuhnya. Alasannya wasiat seperti ini makruh dan wasiat makruh tidak sah.
Jika ahli waris sepakat mengkafani sehelai, maka kesepakatan itu tidak boleh dilaksanakan dan mayit tetap dikafani 3 helai kain karena kain 1 adalah hak Allah sementara kain 2 dan 3 adalah hak mayit dan ahli waris tidak punya hak apapun menggugurkan hak mayit. Jika ahli waris berselisih apakah dikafani sehelai ataukah 3 helai, maka yang dilaksanakan adalah 3 helai, karena itu adalah hak mayit.
Jika utangnya banyak dan menghabiskan harta warisan yang ditinggalkannya sementara para kreditur ingin jenazah hanya dikafani sehelai yang menutupi seluruh badan, maka keinginan kreditur dikabulkan. Sebab mayit lebih butuh bebas dari kezaliman terhadap sesama daripada menutup aurat saat mati.
Jika ada ikhtilaf antara kreditur dengan ahli waris antara kafan menutup aurat ataukah seluruh badan, maka pendapat yang dimenangkan adalah mengkafani seluruh badan. Karena menutupi melebihi aurat adalah hak kuat mayit, sementara sekedar menutup aurat adalah hak Allah. Jadi mengkafani seluruh badan harus dimenangkan untuk menjaga hak mayit. Hukum ini adalah pengecualian dari kaidah umum bahwa kreditur berhak mencegah perkara yang mustahabb, sebab dalam hal ini ikhtilaf kewajiban menutup auratnya memang kuat.
Ringkasnya, dalam kafan jika untuk membela hak Allah, maka harus dipastikan aurat mayit tertutup. Jika untuk membela hak kreditur, maka harus dipastikan mayit tertutup seluruh tubuh (tidak boleh dengan alasan membayar utang lalu mayit dikafani minimalis hanya menutup aurat). Jika untuk membela hak ahli waris, maka harus dipastikan mayit dikafani 3 helai kain (tidak boleh dengan alasan membagi warisan, lalu mayit dikafani minimalis hanya satu helai, apalagi hanya sekedar menutup aurat).
Tetapi jika kafan dibiayai dari selain tarikah, maka yang wajib hanya satu kain yang menutupi seluruh tubuh. Malahan kalau biayanya diambil dari Baitul Mal, maka tidak boleh lebih dari satu kain. Yang semakna dengan Baitul Mal adalah jika biaya diambil dari harta wakaf khusus kafan.
Jika kafan lelaki ditambah jadi 4 atau 5, maka boleh dengan syarat ahli waris semuanya rida. Hanya saja ini tapi tidak disunahkan, tapi juga juga tidak dimakruhkan. Ia adalah khilaful mustahabb. Dasar kebolehan menambah kafan lelaki menjadi 4 sampai 5 adalah perbuatan Ibnu Umar yang mengkafani putranya dengan 5 kain. Al-Baihaqī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Nāfi’ bahwasanya putra Abdullah bin ‘Umar wafat. Maka Ibnu ‘Umar mengkafaninya 5 buah kain, yang terdiri dari surban, baju dan 3 helai kain.” (H.R. al-Baihaqī)
Adapun untuk wanita, maka disunahkan dikafani 5 kain, sebab itu lebih menutup auratnya. Juga didasarkan riwayat berikut ini yang menceritakan bagaimana putri Rasulullah ﷺ dikafani dengan 5 kain,
Artinya,
“Bahwasanya Laila binti Qanif Ats Tsaqafi berkata: Aku termasuk diantara orang yang memandikan Ummu Kultsum anak Rasulullah ﷺ ketika ia meninggal. Pertama yang beliau berikan kepada kami adalah sarung, kemudian baju kurung, kemudian penutup kepala, kemudian kain selimut kemudian setelah itu dimasukkan pada kain yang lain. Ia berkata: sementara Rasulullah ﷺ dalam keadaan duduk di depan pintu membawa kain kafannya, beliau memberikannya satu demi satu. (H.R. Abū Dāwūd)
Jika kafan lebih dari 5, maka hukumnya makruh secara mutlak baik baik untuk laki-laki maupun wanita. Bahkan andai disebut haram, kata al-Nawawi maka itu tidak jauh dari kebenaran karena bentuk menyia-nyiakan harta. Ibnu Yūnus dalam Syarḥu al-Tanbīh tegas mengharamkannya.
Komposisi
Jika jenazah wanita dan laki-laki dikafani dengan 3 kain maka sunahnya kain kafan berupa 3 helai (lafā’if) untuk meniru kafan Rasulullah ﷺ yang berupa 3 helai kain. Tiga helai itu menutup total seluruh tubuhnya, baik jenazahnya wanita maupun laki-laki. Tiga helai kain tersebut ukurannya semua sama baik dari sisi panjang maupun lebarnya.
Jika jenazah laki-laki dikafani dengan 3 helai kain, maknanya jenazah tersebut tidak perlu diberi gamis dan surban. Jika jenazah perempuan dikafani dengan 3 helai kain, maknanya jenazah tersebut tidak perlu diberi izār/jarik, gamis dan khimār/kerudung.
Jika jenazah lelaki dikafani dengan 5 kain,maka komposisinya adalah gamis, surban, lalu dibalut dengan 3 helai kain. Dasarnya adalah riwayat Ibnu Umar mengkafani putranya di atas.
Jika jenazah wanita dikafani dengan 5 kain maka komposisinya adalah baju/gamis/dir’un, izār/jarik, kerudung lalu dibalut dengan dua helai kain. Dasarnya adalah riwayat pengkafanan Ummi Kaltsūm, putri Rasulullah ﷺ sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Urutannya jika mengkafani wanita adalah dimulai aurat yang paling berat dulu, lalu di bawahnya kemudian di bawahnya. Jadi, pasang izar/jarik dulu untuk menutupi aurat mugallaẓah-nya, lalu pasang gamis/baju untuk menutupi area dada/tubuh bagian atas, lalu kerudung. Setelah itu baru dibalut dengan dua helai kain.
TATA CARA MENGKAFANI
Mengkafani jenazah dilakukan setelah mayit dimandikan.
Pertama-tama disunahkan kain kafannya diwangikan dulu dengan kayu gaharu sebanyak 3 kali berdasarkan riwayat ini,
Artinya,
“Harumkan kafan mayit dengan kayu gaharu/dupa sebanyak 3 kali.” (H.R.al-Baihaqī)
Caranya, kafannya diasapi dengan kayu gaharu yang dibakar. Boleh juga pewangi yang lain seperti misik atau parfum apapun.
Setelah itu bentangkan kafan yang paling luas, paling panjang dan paling bagus. Kafan terbaik dibentangkan dulu karena kafan ini akan menjadi pakaian terluar jenazah. Sebagaimana orang hidup pakaian terluarnya diberi yang terbaik, maka demikian pula pakaian orang mati juga diberi yang terbaik. Jika terjadi benturan antara yang paling bagus dengan yang paling luas, maka yang dibentangkan adalah kafan yang paling luas. Jika luasnya sama, maka yang dibentangkan yang terbagus.
Setelah itu disunahkan untuk menaburi kafan dengan ḥanūṭ (الحنوط). Makna umum ḥanūṭ adalah pewangi untuk mayit. Di zaman dulu biasanya pakai tanaman acorus/żarīrah atau ṣandal/Indian sandalwood/Santalum album. Kapur barus/kāfūr masuk dalam definisi ḥanūṭ. Jadi, jika Anda mewangikan kafan memakai taburan kapur barus, maka itu sudah melaksanakan sunah. Fungsi ḥanūṭ adalah memperlambat kerusakan jenazah saat terkena lembab.
Lalu kain kafan kedua dibentangkan di atasnya kemudian ditaburi ḥanūṭ juga .
Lalu kain kafan ketiga dibentangkan di atasnya kemudian ditaburi ḥanūṭ dan kāfūr. Kafan ketiga ini nanti akan bersentuhan dengan kulit jenazah langsung, jadi wanginya dibuat lebih ekstra dengan menambahi kapur barus jika ḥanūṭ sebelumnya memakai acorus misalnya.
Kemudian jenazah diletakkan di atas 3 hamparan kafan itu dengan lembut dalam keadaan terlentang. Cara meletakkan mayit usahakan agar kelebihan kafan pada bagian kepala nanti lebih banyak daripada di kaki.Tangannya boleh disedekapkan di dada, boleh juga ditata di samping tubuhnya. Di masyarakat, agar auratnya tidak terlihat sebelum diletakkan, biasanya jenazah ditutupi dengan penutup sementara berupa jarik, yang nanti jarik ini akan ditarik lepas sebelum mengikat tiga kafan tersebut.
Kemudian jenazahnya diberi ḥanūṭ dan kafur juga. Penambahan kāfūr adalah karena itu disunahkan, bentuk perhatian kepada mayit agar tidak dilupakan, untuk mengencangkan dan memperkuat jasad mayit, untuk mengusir hewan, dan untuk mengusir bau busuk.
Lalu kapas diambil, diberi ḥānūṭ dan kāfūr, kemudian dimasukkan ke dalam dubur jenazah untuk mencegah sesuatu keluar darinya. Di momen ini usahakan jangan sampai kapas masuk ke dalam perutnya karena makruh jika sampai masuk anus bagian dalam. Kemudian pantatnya diikat kuat dengan tali kain/khirqah dengan untuk memastikan tidak keluar kotoran apapun dari anus. Ikatannya menutupi area rambut kemaluan. Ikatan ke pantat mayit ini esensinya memperkuat upaya mencegah keluar najis sebelumnya yang dilakukan dengan penyumpalan kapas pada anus.
Setelah itu ambil kapas lagi, beri ḥanūṭ dan kāfūr kemudian gunakan untuk menutup lubang-lubang badan yakni dua lubang hidung, dua lubang telinga, dua mata, kemaluan, dan lubang-lubang luka. Tujuan penutupan lubang ini adalah untuk mencegah dimasuki hewan disamping juga mencegah keluar sesuatu darinya. Penutupan lubang tubuh (manāfiż) ini berarti menyempurnakan penutupan lubang anus sebelumnya.
Setelah itu berpindahlah ke tempat tempat sujudnya. Ambil kapas, beri ḥanūṭ atau parfum apapun, kemudian letakkan pada dahi, hidung, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua kaki. Tujuan meletakkan kapas wangi pada tempat-tempat sujud ini adalah untuk memuliakan anggota tubuh spesial itu sekaligus mengusir hewan.
Setelah itu jenazah siap dibungkus dengan kafan. Silakan kafan pertama dilipat dengan cara bagian kiri dilipat ke arah kanan dan bagian kanan dilipat menutupi bagian kiri seperti qabā’. Kemudian kafan kedua dan ketiga juga dilipat dengan cara demikian.
Kemudian kelebihan kafan pada kepala dililitkan ke kepala seperti sorban dan sisanya dijatuhkan ke wajah dan dada mayit sejauh sisa kafan tersebut. Jika penataan jenazah sebelumnya benar, seharusnya kelebihan kafan pada kepala lebih banyak daripada kelebihan pada kaki. Kelebihan kafan pada kaki diarahkan ke telapak kaki dan betis.
Setelah itu kafan diikat dengan sejumlah tali agar kafan tidak lepas saat dibawa ke kuburan. Dengan begitu aurat jenazah selalu terjaga. Payudara dan dada mayit wanita diikat agar tidak bergerak-gerak saat dibawa ke kuburan. Ikatannya jangan dibuat mati, karena tali tersebut akan dilepas jika jenazah sudah diletakkan di liang lahat.
Begitu sampai di kuburan, tali kafannya dilepas. Sebab kekhawatiran aurat terbuka sudah tidak diperlukan saat di dalam kuburan, karena tanah kuburan nanti akan menjadi penutup auratnya dan tidak ada lagi kekhawatiran aurat terbuka. Lagi pula memang dimakruhkan ada ikatan apapun jika jenazah sudah di bawa ke dalam kuburan. Diriwayatkan Rasulullah ﷺ melepas ikatan-ikatan kafan saat memakamkan Nu‘aim bin Mas‘ūd. Al-Baihaqī meriwayatkan,
Artinya,
“Tatkala Rasulullah ﷺ meletakkan Nu‘aim bin Mas‘ūd ke kuburan, beliau melepaskan ikatan-ikatannya dengan mulut beliau.” (H.R. al-Baihaqī)
Al-Atsram meriwayatkan bahwa Ibnu Mas‘ūd berkata,
Artinya,
“Jika kalian memasukkan mayit ke dalam kuburan maka lepaskanlah semua ikatannya.”
Ibrāhīm berkata,
Artinya,
“Jika mayit dimasukkan ke dalam kuburan, maka semua ikatan dilepaskan.” (H.R. Ibnu Abū Syaibah)
26 Jumadal Akhirah 1444 H/19 Januari 2023 pukul 14.51