Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Wanita haid tetap sah umrah maupun hajinya. Hanya saja untuk melakukan tawaf rukun, disyaratkan harus suci dulu. Ketentuan ini membuat wanita punya dua pilihan. Pertama, menunggu dulu di area mīqāt sampai suci baru kemudian berihram. Kedua, tetap berihram dalam keadaan haid, lalu menuju Mekah, kemudian menunggu suci, baru melakukan tawaf.
Kegiatan menunggu ini kadang menjadi problem ketika dikaitkan dengan visa atau jadwal tiket kepulangan. Ada kemungkinan wanita baru suci padahal visa sudah habis atau sudah mepet dengan jadwal penerbangan untuk pulang.
Dari sini muncul sebuah ide,
“Bagaimana jika wanita minum pil atau suntik penunda haid saja?”
Dengan begitu, wanita bisa tenang melakukan ibadah haji atau umrah tanpa harus takut kehabisan waktu tinggal padahal haji atau umrah belum selesai.
Pertanyaannya, bagaimana hukum menunda haid dengan obat seperti itu? Bolehkah?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah iya, boleh.
Diriwayatkan Ibnu Umar pernah ditanya tentang hukum wanita yang minum obat untuk menghentikan haidnya dan beliau memandang hal tersebut tidak masalah. Abdur Razzāq meriwayatkan,
Artinya,
“Seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Umar tentang wanita yang berkepanjangan keluar darah haidnya. Wanita tersebut ingin minum obat untuk menghentikan haidnya. Ternyata Ibnu Umar berpendapat hal itu tidak apa-apa. Ibnu Umar menyarankan air kayu arāk–sebagai obat penghenti haid.“ (Muṣannaf Abdur Razzāq, juz 1 hlm 318)
Fatwa senada juga diberikan ‘Aṭā’. Abdur Razzāq meriwayatkan,
Artinya,
‘‘Aṭā’ ditanya tentang seorang wanita yang haid yang diberi obat sehingga haidnya tidak muncul di waktu kebiasaan haidnya. Apakah dia boleh bertawaf? ‘Aṭā’ menjawab, ‘Ya, jika memang dia melihat dirinya suci (tidak melihat darah)–maka boleh tawaf. Tapi jika dia melihat sedikit darah dan tidak melihat dirinya benar-benar suci maka tidak–boleh tawaf. (Muṣannaf Abdur Razzāq, juz 1 hlm 318)
Demikian pula fatwa Ibnu Abū Najīḥ. Abdur Razzāq meriwayatkan,
Artinya,
“Ma’mar berkata, ‘Aku mendengar Ibnu Abū Najīḥ ditanya tentang hal tersebut (mengentikan darah haid) ternyata beliau memandang itu tidak masalah.” (Muṣannaf Abdur Razzāq, juz 1 hlm 318)
Hanya saja kebolehan ini diikat syarat, yakni tidak boleh obatnya menimbulkan bahaya. Sebab kaidah umum dalam hal ini adalah lā ḍarara walā ḍirār (tidak boleh ada bahaya dan membahayakan). Al-Mirdāwī berkata,
Artinya,
“Boleh secara mutlak meminum obat mubah untuk menghentikan haid asalkan aman dari bahaya.” (al-Inṣāf, juz 2 hlm 471)
Walaupun demikian, afdalnya tidak usah suntik/minum pil pencegah haid. Sebab haid adalah fitrah wanita dan Nabi ﷺ menyebutnya itu perkara yang sudah ditetapkan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Sesungguhnya ini (haid) adalah perkara yang ditetapkan Allah terhadap para putri-putri Adam.” (H.R. al-Bukhārī)
Lagipula, haid dan segala larangan terkait dengannya adalah rahmat Allah karena dengan haid, wanita jadi tidak boleh salat dan tidak boleh puasa dan itu meringankan taklif ibadahnya.
Lagipula, taat untuk tidak salat, tidak puasa, dan tidak tawaf dalam kondisi haid adalah bentuk melaksanakan perintah Allah sehingga mengandung nilai pahala juga karena menaati Allah.
Lagipula, wanita yang mengalami haid normal umumnya akan mengalami ujian sakit rahim dan itu menjadi amal salehnya karena hadis menegaskan rasa sakit apapun akan menghapus dosa.
Lagipula, membiarkan normal haid adalah apa yang dipraktekkan di zaman Nabi ﷺ, Sahabat dan generasi sesudahnya.
26 Rajab 1444 H / 17 Februari 2022 pukul 14.34