Oleh : Ust. Muafa
Istilah sunnah adalah di antara istilah yang paling sering didengar kaum muslimin. Sayangnya, masih banyak yang menempatkannya secara tidak tepat dan tidak tertib sehingga menimbulkan kebingungan, bahkan dalam sejumlah kasus, bisa menimbulkan fitnah perpecahan dan pertengkaran.
Penyebab kekeliruan penempatan istilah sunnah seringkali disebabkan karena belum dipahaminya macam-macam makna sunnah dan konteks penggunaannya. Oleh karena itu, penjelasan makna sunnah harus disegarkan lagi untuk mengurangi efek buruk salah penempatan istilah itu.
Istilah sunnah memiliki pengertian yang berbeda-beda tergantung bidang ilmu yang dibicarakan.
1. Dalam bidang USHUL FIKIH istilah sunnah bermakna dalil level kedua setelah Al-Qur’an, yakni yakni qoul (ucapan), fi’il (perbuatan) dan taqrir (sikap diam) Nabi Muhammad ﷺ. Misalnya ada orang yang mengatakan,
“dalam menentukan hukum Islam, kita wajib menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum”
Sunnah dalam ucapan itu mengambil pengertian dalam bidang ushul fikih.
2. Dalam bidang FIKIH istilah sunnah bermakna perbuatan baik yang diperintahkan, tetapi tidak bersifat keras dan tidak dicela jika ditingggalkan. Sunnah disini bermakna status perbuatan yang lebih longgar dari wajib/fardhu, jika dikerjakan dipuji dan jika tidak dikerjakan tidak dicela. Misalnya ada orang yang mengatakan,
“hukum puasa Dawud adalah sunnah”
Sunnah dalam ucapan ini mengambil pengertian dalam bidang fikih.
3. Dalam bidang HADIS istilah sunnah bermakna semua hal yang disandarkan pada nabi baik qoul, fi’il, taqrir, siroh, sifat kholqiyyah dan sifat khuluqiyyah. Misalnya ada orang yang mengatakan,
“hakikat riwayat adalah menukil As-Sunnah”
Sunnah dalam ucapan ini mengambil pengertian dalam bidang hadis.
4. Dalam bidang USHULUDDIN/AKIDAH istilah sunnah bermakna lawan dari bid’ah. Sesuai sunnah bermakna sesuai dalil syar’i tanpa membedakan apakah dalil itu Al-Qur’an ataukah hadis. Sesuatu disebut bid’ah artinya diambil dari hawa nafsu, tidak bersumber dari wahyu atau apa yang dipahami dari wahyu. Misalnya ada orang yang mengatakan,
“jalan selamat adalah jalan ahlus sunnah”
Sunnah dalam ucapan ini mengambil pengertian dalam bidang ushuluddin/akidah.
Dalam konteks tertentu, sunnah lebih spesifik dimaksudkan sebagai lawan syi’ah. Penggunaan istilah ini, meskipun masih terkait bahasan akidah dan bid’ah tetapi lebih sempit lagi. Karenanya, istilah sunni dikontraskan dengan syi’i/syi’ah
Sayangnya di sebagian kalangan, terutama di kalangan awam makna-makna ini dicampuradukkan sehingga terkadang menimbulkan kebingungan atau bahkan menimbulkan fitnah. Kebanyakan memaknai sunnah dengan makna yang dipakai dalam pembahasan akidah di alam bawah sadarnya, yakni sunnah sebagai lawan dari bid’ah. Akibatnya, jika ada sesuatu yang sudah DILABELI SUNNAH maka siapapun yang tidak melakukannya segera saja dilabeli ahlul bid’ah!
Jalan atau kaidah menuju pelabelan sunnah itu sendiri terkadang sangat sederhana. Hanya karena ada hadis sahih bahwa Rasulullah MELAKUKANnya, atau karena ada hadis sahih bahwa Rasulullah MEMERINTAHKANnya, maka langsung dilabeli sunnah dan siapapun yang bertentangan dengan hal itu dianggap tidak “nyunnah” dan tergolong ahlul bid’ah. Kaidah ini sangat berbahaya, karena berpotensi menghancurkan bangunan hukum Islam yang telah dimapankan dan diatur rambu-rambunya (untuk memproduksi hukum Islam itu) selama berabad-abad. Hal ini juga bisa menjadi fitnah dan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, terutama jika hal yang dilabeli sunnah itu adalah persoalan fikih yang mukhtalaf (diperselisihkan).
Kita ambil contoh soal poligami. Sebagian kaum muslimin mengkampanyekan seruan “poligami sunnah Nabi” dengan alasan Rasulullah mempraktekkannya. Orang awam yang mendengar ungkapan “Poligami sunnah Nabi” yang terbayang bisa salah satu di antara dua: A.Lebih baik poligami daripada monogami, karena istilah sunnah menunjukkan lebih utama daripada mubah B.Siapa yang tidak poligami maka dia ahlul bid’ah karena hanya ahlul bid’ah yang menolak sunnah Nabi.
Dua persepsi ini harus didudukkan dengan tepat. Istilah sunnah pada ungkapan “Poligami itu sunnah Nabi”, jika yang dimaksud adalah makna dalam ushul fikih atau ilmu hadis, maka itu benar. Jika dimaksudkan makna dalam ilmu fikih maka itu mukhtalaf, tetapi jika dipersepsikan dengan makna dalam ilmu ushuluddin maka itu melampaui batas.
Perbuatan Rasulullah itu dari sisi fikih ada yang bermakna mubah seperti kesukaan beliau makan paha kambing, ada yang bermakna mandub/mustahabb/nafilah seperti salat rawatib, ada yang bermakna wajib seperti salat lima waktu, bahkan ada yang bermakna haram dan tidak boleh diikuti seperti menikah lebih dari 4 wanita. Semua ditentukan melalui qorinah dalil, istidlal dan istinbath fikih.
Contoh lain soal celana cingkrang bagi lelaki. Sebagian kaum muslimin memahami, berdasarkan perintah nabi untuk menaikkan pakaian lelaki, itu menunjukkan bahwa celana cingkrang adalah sunnah Nabi. Siapa yang melanggarnya maka dia tidak “nyunnah” sehingga layak disebut ahlul bid’ah. Ini labelisasi istilah sunnah yang tidak tepat, karena masalah isbal (memanjangkan ujung pakaian melebihi mata kaki) adalah masalah fikih. Ada ulama yang berpendapat haramnya isbal mutlak adapula yang muqoyyad. Yang berpendapat muqoyyad-pun ada perbedaan. Ada yang berpendapat mubah isbal tanpa sombong dan ada pula yang berpendapat makruh isbal tanpa sombong. Menyebut perintah nabi untuk tidak berisbal sebagai sunnah jika dimaksudkan makna dalam ilmu ushul fikih atau ilmu hadis, maka hal itu benar. Jika dimaksudkan dengan makna fikih, maka itu masih mukhtalaf, dan jika dimaksudkan makna dalam ilmu ushuluddin maka itu melampaui batas.
Tidak semua perintah nabi bermakna wajib dan selalu harus dilakukan karena perintah nabi bisa bermakna mubah seperti perintah menyimpan daging kurban, bisa bermakna mandub seperti perintah menyebarkan salam, bisa bermakna wajib seperti perintah jujur, bahkan bisa bermakna haram seperti perintah melakukan apapun jika tidak punya rasa malu.
Jadi memahami perbuatan nabi atau perintahnya perlu ilmu, tidak cukup hanya sekedar tahu pernah DILAKUKAN nabi dan DIPERINTAHKAN karena ini bisa menyesatkan. Ilmu yang mengontrol pemahaman terhadap dalil adalah ilmu ushul fikih.
Mengatakan menikah sebagai sunnah Nabi dengan pemaknaan sunnah dalam ilmu ushul fikih atau ilmu hadis tidak salah, tetapi mengatakan yang tidak menikah adalah ahlul bid’ah karena tidak menjalankan sunnah Nabi adalah kesimpulan yang melampaui batas sebagai akibat tidak tertib memahami penempatan istilah sunnah. Kita tahu ulama-ulama besar seperti An-Nawawi, Ibnu Taimiyyah,dan Ath-Thobari seumur hidup tidak pernah mencicipi pernikahan.
Jadi kita harus hati-hati menggunakan istilah sunnah dalam berdakwah. Jika topik yang didakwahkan terkait fikih, maka tertiblah menggunakan makna fikih untuk sunnah. Jika topik yang didakwahkan terkait ushul fikih maka tertiblah menggunakan makna ushul fikih untuk sunnah. Jika topik yang didakwahkan terkait ushuluddin maka tertiblah menggunakan makna ushuluddin untuk sunnah dan seterusnya.
Akan kacau jika tidak bisa menempatkan penggunaan istilah sesuai bidang ilmu. Mengacaukan orang awam yang baru semangat belajar Islam dan menimbulkan fitnah yang tidak kecil.
Pesan tulisan ini singkat: Jangan mudah menggunakan kata sunnah jika tidak mengerti penempatannya.
[]
One Comment
Sudiro
Terimakasih atas penjelasan yang memuaskan…kini menjadi jelas dan insyaAllah bisa mengamalkannya.