Oleh: Ust. Muafa
Ini sedang membicarakan seorang ulama Mesir bermadzhab Syafi’i.
Beliau adalah Al-Khothib Asy-Syirbini. Lengkapnya Muhammad bin Ahmad Asy-Syirbini yang wafat pada tahun 977 H.
Di antara karyanya yang terkenal adalah kitab Mughni Al-Muhtaj, syarah dari kitab Minhaj Ath-Tholibin karangan An-Nawawi.
Lafaz ﺍﻟﺸﺮﺑﻴﻨﻲ yang lebih tepat dibaca Asy-Syirbini dengan mengkasrohkan huruf syin karena lafaz ini adalah nisbat pada nama tempat yang bernama Syirbin.
As-Sakhowi berkata:
الضوء اللامع لأهل القرن التاسع (11/209)
“.الشربيني) بِكَسْر ثمَّ سُكُون وموحدة مَكْسُورَة وَآخره نون)
“Asy-Syirbini, dengan mengkasrohkan (syin) kemudian (harokat) sukun (pada huruf sesudahnya, yatu huruf ro’) dan huruf ba’ yang dikasroh dan diakhiri (huruf) nun.” (Adh-Dhou’ Al-Lami’ Li Ahli Al-Qorni At-Tasi’)
Pertanyaannya,
Penyebutan Asy-Syarbini cukup masyhur di negeri Indonesia, apakah penyebutan Asy-Syarbini dan Asy-Syirbini dinilai sama benar dengan mengambil contoh kasus dhobth lafaz As-Suyuthi dan At-Tirmidzi, yang ternyata memang beragam bentuk penisbatannya atau memang penyebutan Asy-Syarbini adalah kesalahan yang telanjur meluas?
Jawaban pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
Laqob-laqob ulama memang termasuk persoalan yang perlu perhatian khusus, karena umumnya dhobth nama mereka sifatnya sama’i.
Jika nisbat laqob tersebut ke nama tempat, maka biasanya yang dibutuhkan adalah pengetahuan buldan (memakai kitab-kitab seperti Mu’jamul Buldan, dan lain-lain).
Jika nisbatnya ke kabilah, maka biasanya yang dibutuhkan adalah pengetahuan nasab (memakai kitab-kitab seperti Al-Ansab karangan As-Sam’ani, dan semisalnya).
Jika nisbatnya ke hirfah, maka biasanya yang dibutuhkan adalah konsepsi wazan dalam sharaf.
Yang paling sulit adalah jika diserap dari bahasa tertentu (seperti Persia, Jawa dan lain-lain). Pada kasus ini, penjelasan shohibul lughoh yang seharusnya dipakai.
Satu contoh praktis adalah nisbat ulama Indonesia yang berasal dari Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Beliau bernama Syaikh Mahfudh. Lidah Jawa sama sekali tidak kesulitan mengucapkan Tremas.
Ketika di-Arab-kan, maka pengharokatan nama tersebut sedikit problem bagi orang non Jawa.
Saya pernah membaca ada orang Arab yang membaca laqob beliau dengan lafal At-Turmusi. Jadi beliau disebut syaikh Mahfudh At-Turmusi. Ada pula yang membacanya At-Tarmasi. Sehingga karya fikihnya disebut Hasyiyah At-Tarmasi.
Mana yang benar?
Karena ini nama kota di Jawa, maka pelafalan Jawa yang jadi “hakim”.
Cucu beliau sendiri menyebutnya At-Tarmasi. Jadi pelafalan yang lebih tepat adalah At-Tarmasi, bukan At-Turmusi.
Beberapa nama ulama memang ada ikhtilaf terkait dhobth/pengharokatan lafalnya, seperti At-Tirmidzi ataukah At-Turmudzi atau yang lain. Ishaq bin Rohawaih ataukah Ishaq bin Rohuyah. Sa’id bin Al-Musayyab ataukah Sa’id bin Al-Musayyib. Jika ada ikhtilaf biasanya dalam kitab-kitab biografi akan dijelaskan.
Untuk kasus Asy-Syirbini, saya belum tahu jika ada ikhtilaf. As-Sakhowi dalam kitabnya; Adh-Dhou’-Al-Lami’ sebagaimana saya kutipkan hanya menyebutkan satu versi, yakni dengan mengkasrohkan syin.
Di berbagai kitab yang telah ditahqiq dan diharokati seperti Al-Bahru Ar-Ro-iq, Tuhfatu Al-Muhtaj, Hasyiyah Al-Bujairimi, Hasyiyah Al-Jamal, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah dan lain-lain semuanya membaca; Asy-Syirbini.
Oleh karena itu jika di Indonesia populer disebut Asy-Syarbini, barangkali itu hasil pembacaan berdasarkan qiyas alam bawah sadar pembaca yang sudah terbiasa wazan-wazan shorof tertentu yang telah dihapalnya.
Saya dahulu awalnya juga melafalkannya Asy-Syarbini, sampai ketika pernah membaca tahqiq kitab tertentu, akhirnya saya tahu bahwa para ahli melafalkannya Asy-Syirbini.
Wallahua’lam.
Catatan:
Pembahasan tentang dhobth bisa dibaca pada tulisan saya dalam tautan syarah hadits kedua (I)ini.