Oleh: Ust. Muafa
Hukum belajar bahasa Arab adalah fardhu ‘ain bagi tiap-tiap muslim/muslimah untuk menjalankan kewajiban-kewajiban syariat yang dibebankan kepadanya, dan fardhu kifayah untuk menjalankan kewajiban-kewajiban kifayah.
Dalil yang menunjukkan kewajiban belajar bahasa Arab adalah dalil perintah mengikuti Al-Quran, sementara tidak mungkin bisa mengikuti tanpa memahaminya dan tidak mungkin memahami jika tidak dengan bahasa Arab.
Belajar bahasa Arab menjadi wajib, karena kewajiban mengikuti Al-Quran tidak mungkin terealisasi kecuali dengan memahaminya dan memahami Al-Quran tidak mungkin terealisasi kecuali dengan bahasa Arab. Mempelajari bahasa Arab menjadi wajib sebagai pelaksanaan kaidah Syara’;
“Sebuah kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib”.
Allah memerintahkan agar mengikuti Al-Quran dan semua yang diwahyukan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم;
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu” (Al-An’am;106)
“Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu” (Yunus; 109)
“Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu.” (Al-Ahzab; 2)
Ayat-ayat ini dan yang semisal dengannya, meskipun khithab (seruan)nya adalah kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم, namun sudah disepakati bahwa seruan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم bermakna seruan kepada umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan.
Perintah mengikuti wahyu/Al-Quran tidak ada dalil yang mengkhususkan bahwa hal tersebut adalah untuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم saja. Oleh karena itu, umatnya terkena seruan sebagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم terkena seruan, karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah teladan bagi seluruh umatnya.
Bahkan kewajiban mengikuti Al-Quran adalah asas bagi seluruh ajaran Islam baik aqidah maupun syariat, karena setiap mukallaf tidak mungkin menjalankan perintah mengimani sesuatu atau menjalankan perintah melakukan syariat tertentu jika tidak mau mengikuti sumbernya yaitu Al-Quran.
Fakta Al-Qur’an adalah diturunkan Allah dalam bahasa Arab. Tidak ada yang mengingingkari ini. Al-Quran sendiri menegaskan dalam sejumlah ayat, bahwa Al-Quran diturunkan Allah dalam bahasa Arab. Allah berfirman;
“Sesungguhnya Aku menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf;2)
“Dan demikianlah Aku menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab” (Thaha;113).
“(Ialah) Al-Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya)” (Az-Zumar;28)
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, Yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (Fusshilat; 3)
“Demikianlah Aku wahyukan kepadamu Al Quran dalam bahasa Arab” (Asy-Syuro;7)
“Sesungguhnya Aku menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (Az-Zukhruf;3)
Oleh karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, maka memahami Al-Quran tidak mungkin dilakukan tanpa bahasa Arab. Karena hanya dengan mengetahui bahasa Arab, tuntutan memahami Al-Quran bisa dilaksanakan sehingga perintah mengikuti Al-Quran bisa dilakukan. Dari sini, belajar bahasa Arab menjadi wajib sebagai realisasi dari kaidah Syara’:
“Sebuah kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib”
Lagipula, terdapat sejumlah Syariat yang terkait erat dengan bahasa Arab dan tidak mungkin dilaksanakan, atau tidak dilaksanakan dengan sempurna kecuali dengan memahami bahasa Arab seperti perintah membaca Al-Quran, perintah membaca Al-Quran saat shalat, perintah membaca Al-Fatihah saat shalat, perintah mentadabburi Al-Quran, perintah syahadat, perintah Tasyahud, perintah salam saat shalat, perintah takbiratul ihram, perintah haji, perintah berdoa, dll.
Syara’ memerintahkan agar membaca Al-Quran. Allah berfirman;
“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al Quran).” (Al-Kahfi;27).
Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga memerintahkan membaca Al-Qur’an;
أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ
“Dari Abu Umamah Al-Bahili ia berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Bacalah Al Qur`an, karena ia akan datang memberi syafa’at kepada para pembacanya pada hari kiamat nanti.'” (H.R.Muslim).
Secara khusus membaca al-Quran dalam shalat juga diperintahkan. Allah berfirman;
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran” (Al-Muzzammil;20).
Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan, tidak sah shalat jika surat Al-Fatihah tidak dibaca. Bukhari meriwayatkan;
“Dari ‘Ubadah bin Ash Shamit, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Faatihatul Kitab (Al Fatihah)'” (H.R.Bukhari).
Allah juga memerintahkan agar mentadabburi Al-Qur’an. Allah berfirman;
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)
Semua perintah-perintah syariat ini menuntut pemahaman bahasa Arab, bukan semata-mata melafalkan seperti mesin. Karena itu keterkaitan yang erat antara bahasa Arab dengan pelaksaaan sejumlah syariat menguatkan keharusan belajar Bahasa Arab karena hal-hal tersebut tidak mungkin bisa dilaksanakan secara benar, atau tidak maksimal dalam pelaksanaannya kecuali dengan mengetahui bahasa Arab.
Tambahan lagi, fi’il (perbuatan) Rasulullah صلى الله عليه وسلم menunjukkan bahwa bahasa Arab wajib dijadikan sebagai bahasa resmi negara.
Dalil yang menunjukkan adalah hadis berikut;
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ{ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ }
“Bismillahir rahmanir rahim. Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya untuk Heraklius. Penguasa Romawi, Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Kemudian daripada itu, aku mengajakmu dengan seruan Islam; masuk Islamlah kamu, maka kamu akan selamat, Allah akan memberi pahala kepadamu dua kali. Namun jika kamu berpaling, maka kamu menanggung dosa rakyat kamu, dan: Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (H.R.Bukhari)
Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengirim surat kepada Heraklius, kaisar negara Romawi dan juga raja-raja yang lainnya untuk mengajak mereka masuk Islam. Kebutuhan tabligh (menyampaikan risalah) agar difahami obyek dakwah, seharusnya membuat surat tersebut diterjemahkan dalm bahasa Romawi. Namun ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم tetap memakai bahasa Arab sebagai bahasa suratnya, padahal tuntutan dakwah seharusnya membuat surat tersebut diterjemahkan, menunjukkan bahasa Arab wajib dijadikan sebagai bahasa resmi negara.
Karena itu seluruh surat-surat negara Islam, pidato-pidato resmi, instruksi-instruksi resmi, undang-undang resmi, buku-buku resmi, sekolah-sekolah pemerintah, televisi-televisi pemerintah, radio-radio pemerintah dll semuanya wajib memakai bahasa Arab dan tidak boleh memakai bahasa yang lainnya.
Ketentuan ini meniscayakan seluruh kaum muslimin belajar bahasa Arab, baik penguasa maupun rakyatnya. Penguasa harus belajar bahasa Arab karena dengan begitu dia bisa menjalankan seluruh tugas dan fungsinya. Rakyat juga harus mempelajarinya karena rakyat terkena kewajiban taat sekaligus muhasabah/koreksi yang tidak mungkin dilaksanakan secara sempurna jika tidak memahami bahasa Arab.
Dari sini bisa difahami, hukum belajar bahasa Arab adalah wajib, bukan sekedar sunnah apalagi mubah.
Hanya saja, dari sisi tingkat penguasaan/kadar yang harus dikuasai, hal ini perlu dirinci.
Belajar bahasa Arab hukumnya fardhu ‘ain dengan kadar yang cukup untuk menjalankan tuntutan-tuntutan syariat yang bersifat wajib seperti membaca syahadat, membaca Al-Qur’an, membaca takbirotul ihram, membaca tasyahud, membaca salam.
Adapun jika untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan yang terkategori fardhu kifayah seperti ijtihad, menjadi mufassir, menjadi ahli hadis, dakwah, amar makruf nahi munkar, jihad, menerapkan Islam dalam konteks negara dll maka mengetahui bahasa Arab dengan tingkat penguasaan seperti ini hukumnya fardhu kifayah.
Jadi, jika tiap individu muslim laki-laki maupun wanita, tua maupun muda, menikah maupun belum menikah, jika dia tidak memahami makna syahadat, bacaan Al-Fatihah, takbirotul ihram, tasyahud, salam dan hal-hal lain yang diwajibkan syara’, berarti dia telah melalaikan kewajiban mempelajari bahasa Arab, dan dia selalu berdosa selama masih melalaikannya.
Jika dia dalam keadaan belajar, kemudian wafat dalam keadaan masih belum mengetahui bahasa Arab, maka dosanya gugur karena dia wafat dalam keadaan menjalankan kewajiban semnatara syara’ tidak mencela belum tertunaikannya kewajiban karena ketidak kemampuan.
Namun jika dia melalaikan kewajiban ini karena alasan-alasan duniawi seperti kerja, bisnis, mengurus rumah, sekolah, kuliah,apalagi bermain-main/bersenang-senang maka selama itu pula dia dipandang melalaikan kewajiban dan dihukumi dosa.
Imam Asy-Syafi’i berkata;
فَعَلى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَتَعَلَّمَ مِنْ لِسَانِ الْعَرَبِ مَا بَلَغَهُ جُهْدُهُ حَتَّى يَشْهَدَ بِه أَنْ لاَ إِله إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَيَتْلُوْا بِه كِتَابَ اللهِ وَيَنْطِق باِلذِّكْرِ فِيْمَا افْترضَ عَلَيْه مِن التَّكْبِيْرِ
وَأمرَ بِه مَن التَّسْبِيْح وَالتَّشَهُّد وَغَيْر ذلِك. وَمَا ازْدَادَ مِن الْعِلْمِ باِللِّسَانِ الَّذِيْ جَعَلَ اللهُ لِسَانَ مَنْ خَتَمَ بِه نُبُوَّتَهُ وَأَنْزِلَ بِهِ آخِرَ كُتُبِهِ كَانَ خَيْرًا لَهُ
“Setiap Muslim wajib mempelajari bahasa Arab semaksimal mungkin hingga dia bisa bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Juga agar bisa membaca kitabullah, mengucapkan lafaz zikir yang diwajibkan kepadanya seperti takbir, dan yang diperintahkan kepadanya seperti tasbih, tasyahhud dan yang lainnya. Pengetahuan bahasa Arab –yang dengannya Allah menjadikan bahasa untuk penutup Nabi, dan dengannya pula Allah menurunkan kitab terakhirnya-yang lebih dari hal itu adalah kebaikan untuknya (Ar-Risalah, hlm 38-39).
Ibnu Taimiyah berkata;
فَإِنَّ نَفْسَ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ مِنَ الدِّيْنِ وَمَعْرِفَتهَا فَرْضٌ وَاجِبٌ فَإِنَّ فَهْمَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَرْضٌ وَلاَ يُفْهَمُ إِلاَّ بِفَهْمِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ وَمَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِه فَهُوَ وَاجِبٌ ثُمَّ مِنْهَا مَا هُوَ وَاجِبٌ عَلى الأَعْيَانِ وَمِنْهَا مَا هُوَ وَاجِبٌ عَلى الْكِفَايَةِ
“Bahasa Arab itu sendiri adalah bagian dari dien. Mengetahuinya adalah fardhu dan wajib. Karena memahami Al-Quran dan As-As-Sunnah hukumnya wajib, dan tidak bisa difahami kecuali dengan memahami Bahasa Arab. Sebuah kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib. Lalu, diantara bahasa Arab itu ada yang wajibnya bersifat ‘ain ada pula yang wajibnya bersifat kifayah” (Iqtidho’ As-Shiroth Al-Mustaqim, hlm 207)
Asy-Syanqithy berkata;
إِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وتعالى قَدْ فَرَضَ عَلى كُلِّ مَنْ آمَنَ بِهِ تَعَلُّمَ جُزْءٍ مِنَ الْعَرَبِيَّةِ
“Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala mewajibkan kepada orang yang beriman kepada-Nya untuk mmepelajari sebagian bahasa Arab” (Durus Muhammad Al-Hasan Asy-Syanqithy, vol.7, hlm 48)
Asy-Syathiby berkata;
أن القرآن نزل بلسان العرب على الجملة، فطلب فهمه إنما يكون من هذا الطريق خاصة، -إلى قوله_…. فمن أراد تفهمه، فمن جهة لسان العرب يفهم، ولا سبيل إلى تطلب فهمه من غير هذه الجهة
“Al-Qur’an secara keseluruhan turun dalam bahasa Arab. Jadi, tuntutan untuk memahaminya hanyalah bisa dari jalan ini saja…-sd statemen beliau-; barang siapa yang ingin memahami Al-Qur’an, maka hanya dari arah bahasa Arab saja bisa dipahami. Dan tidak ada jalan lain untuk menuntut memahaminya selain dari arah ini saja” (Al-Muwafaqot, vol.2, hlm 102)
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa juga berkata;
وَلَا بُدَّ فِي تَفْسِيرِ الْقُرْآنِ وَالْحَدِيثِ مِنْ أَنْ يُعْرَفَ مَا يَدُلُّ عَلَى مُرَادِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ مِنْ الْأَلْفَاظِ وَكَيْفَ يُفْهَمُ كَلَامُهُ ، فَمَعْرِفَةُ الْعَرَبِيَّةِ الَّتِي خُوطِبْنَا بِهَا مِمَّا يُعِينُ عَلَى أَنْ نَفْقَهَ مُرَادَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ بِكَلَامِهِ
“Untuk menfsirkan Al-Quran dan hadis, menjadi keharusan mengetahui sesuatu yang menunjukkan maksud lafaz-lafaz Allah dan RasulNya, dan bagaimana firmannya difahami. Jadi, mengetahui bahasa Arab yang dengan bahasa ini kita diseru adalah termasuk hal yang membantu agar kita memahami maksud Allah dan Rasulnya dalam ucapannya” (Majmu’ Al-Fatawa, vol.7, hlm 116)
Al-Jaza-iry berkata;
تعيّن تعلم اللغة العربية على كل مسلم يريد أن يفهم كلام الله القرآن العظيم .
”Belajar bahasa Arab adalah wajib bagi setiap Muslim yang ingin memahami Kalamullah Al-Qur’anul ‘Adhim” (Aisaru At-Tafasir, vol.3, hlm 469)
Al-Imam Fakhruddin bahkan berpendapat mempelajari bahasa Arab fardhu ain secara mutlak, tanpa membedakan ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah. Az-Zarkasyi mengutip statemen Al-Imam Fakhruddin ketika membantah pendapat yang mengatakan bahwa mempelajari bahasa Arab hukumnya fardhu kifayah dengan mengatakan;
وَنَازَعَ الْإِمَامُ فَخْرُ الدِّينِ في شَرْحِ الْمُفَصَّلِ في كَوْنِهِمَا فَرْضَ كِفَايَةٍ لِأَنَّ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إذَا قام بِهِ وَاحِدٌ سَقَطَ عن الْبَاقِينَ قال وَاللُّغَةُ وَالنَّحْوُ ليس كَذَلِكَ بَلْ يَجِبُ في كل عَصْرٍ أَنْ يَقُومَ بِهِ قَوْمٌ يَبْلُغُونَ حَدَّ التَّوَاتُرِ لِأَنَّ مَعْرِفَةَ الشَّرْعِ لَا تَحْصُلُ إلَّا بِوَاسِطَةِ مَعْرِفَةِ اللُّغَةِ وَالنَّحْوِ وَالْعِلْمُ بِهِمَا لَا يَحْصُلُ إلَّا بِالنَّقْلِ الْمُتَوَاتِرِ فإنه لو انْتَهَى النَّقْلُ فيه إلَى حَدِّ الْآحَادِ لَصَارَ الِاسْتِدْلَال على جُمْلَةِ الشَّرْعِ اسْتِدْلَالًا بِخَبَرِ الْوَاحِدِ فَحِينَئِذٍ يَصِيرُ الشَّرْعُ مَظْنُونًا لَا مَقْطُوعًا وَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ
“Al-Imam Fakhruddin dalam Syarh Al-Mufasshol mendebat pendapat yang mengatakan bahwa mempelajari ilmu Al-Lughoh dan Nahwu adalah fardhu kifayah. Karena fardhu kifayah jika ada satu yang melakukan maka, kewajiban tersebut gugur bagi yang lain. Beliau mengatakan: Ilmu Lughoh dan Nahwu tidak demikian, bahkan wajib setiap masa ada sekelomok orang yang mencapai derajat Mutawatir untuk mengetahuinya. Karena mengetahui Syara’ tidak mungkin kecuai dengan perantaraan ilmu Lughoh dan Nahwu. Mendapatkan ilmu Lughoh dan Nahwu tidak mungkin kecuali dengan penukilan Mutawatir. Karena jika penukilannya hanya sampai derajat Ahad maka istidlal syariat secara umum akan menjadi istidlal dengan khobar Ahad. Pada saat itu, syariat menjadi bersifat dugaan, bukan pasti dan itu tidak boleh” (Al-Bahru Al-Muhith Fi Ushul Al-Fiqh, vol.1, hlm 391)
Demikianlah hukum belajar bahasa Arab. Statemen-statemen ulama menunjukkan bahwa mereka sepakat bahwa belajar bahasa Arab adalah wajib. Konon, Imam As-Syafi’I mengumpamakan orang yang bisa bahasa Arab adalah seperti Jin manusia; bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang lain. Dalam kitab mawa’idh Imam Asy-Syafi’i, disebutkan;
قال الشافعي رحمه الله:أصحاب العربية جنّ الانس, يبصرون ما لا يبصر غيرهم.
“Orang-orang yang mengerti bahasa Arab seperti Jinnya manusia. Mereka bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang lain” (Mawa’idh Al-Imam Asy-Syafi’I, hlm 19).
Sudah saatnya kaum muslimin di masa sekarang bangkit dari tidurnya untuk lebih serius mempelajari bahasa Arab. Menelantarkan bahasa Arab, meremehkan dan mengabaikannya akan membuat efek-efek negatif dan berbahaya. Bid’ah merajalela, taqlid buta mewabah, tokoh-tokoh/pemimpin tertentu menjadi tuhan selain Allah, ijtihad terlantar, kaum muslimin makin jauh dengan Islam, orang-orang bodoh (para juhala’) menjadi panutan dan ulama malah disingkirkan, ibadah jadi rutinitas, Al-Quran dibaca tetapi isinya dicampakkan, umat mundur/terpuruk, sulit membedakan ulama asli dengan ulama gadungan, umat mudah disesatkan, umat menjadi bodoh, banyak ikhtilaf tercela, bahasa selain Arab dominan, dll.
Benarlah perkataan Al-Hasan Al-Bishry;
عبد الله بن زيد النميري عن الحسن: اهلكتهم العجمة،
“Bahasa asing (selain Arab) membuat mereka (kaum muslimin) menjadi binasa! (At-Tarikh Al-Kabir, vol.5, hlm 93).
Wallahua’lam