Oleh Ust. Muafa
Mengapa Salat Malam di Bulan Ramadhan Disebut Tarawih?
Pada saat Nabi Muhammad ﷺ masih hidup, istilah salat tarawih belum dikenal. Lafaz tarawih juga tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi. Waktu itu, salat sunnah yang dilakukan di malam hari bulan Ramadhan disebut dengan istilah qiyam lail atau qiyam Ramadhan. Ketika Rasulullah ﷺ menganjurkan kaum muslimin untuk memperbanyak salat malam di bulan Ramadhan, beliau tidak memakai istilah tarawih tetapi hanya memakai istilah qiyam (lail/Ramadhan) saja. Contohnya dalam hadis berikut ini;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Dari Abu Hurairah Radhiyalllahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
Salat malam di bulan Ramadhan ini dianjurkan Rasulullah ﷺ juga dalam konteks dikerjakan secara munfarid (individu), tidak dikerjakan secara berjamaah. Rasulullah ﷺ tidak mengajak kaum muslimin untuk mengerjakannya secara berjamaah, tidak mewajibkannya dan juga tidak mendorongnya. Namun beliau pernah melakukannya di masjid kemudian beberapa orang secara swadaya (tanpa perintah dari Nabi ﷺ ) berinisiatif bermakmum kepada beliau dan beliau membiarkannya. Hari kedua Rasulullah ﷺ kembali melakukan salat malam di masjid dan kaum muslimin yang bermakmum bertambah banyak. Hari ketiga Rasulullah ﷺ kembali melakukan salat malam di masjid dan kaum muslimin yang bermakmum semakin banyak sampai-sampai masjid hampir tidak cukup menampung mereka. Hari keempat, Rasulullah ﷺ tidak berkenan keluar untuk mengimami salat malam itu padahal jamaah yang menunggu di masjid sudah banyak. Ketika waktu subuh tiba, Rasulullah ﷺ keluar mengimami salat subuh kemudian berpidato bahwa penyebab beliau tidak berkenan keluar adalah karena khawatir salat malam di bulan Ramadhan itu diwajibkan Allah. Muslim meriwayatkan;
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
“Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya pada suatu malam (di bulan Ramadhan), Rasulullah ﷺ salat di Masjid, lalu diikuti oleh beberapa orang sahabat. Kemudian (pada malam kedua) beliau salat lagi, dan ternyata diikuti oleh banyak orang. Dan pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul, namun Rasulullah ﷺ tidak keluar salat bersama mereka. Maka setelah pagi, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan salat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (salat malam Ramadhan itu) akan diwajibkan atas kalian.”
Setelah itu Rasulullah ﷺ tidak pernah lagi salat malam Ramadhan di masjid. Beliau selalu salat malam Ramadhan di rumah. Kemudian pada tanggal 23 Ramadhan, barulah beliau keluar lagi ke masjid untuk mengimami salat malam sampai lewat sepertiga malam. Tanggal 24 Ramadhan beliau salat di rumah. Lalu tanggal 25 Ramadhan beliau keluar lagi ke masjid untuk mengimami salat malam sampai lewat waktu tengah malam. Tanggal 26 Ramadhan beliau salat di rumah. Setelah itu tanggal 27 Ramadhan beliau keluar lagi ke masjid mengimami salat malam sampai menjelang waktu sahur. Setelah itu beliau tidak pernah lagi salat di masjid sampai bulan Ramadhan habis.
Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ». قَالَ فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاَحُ. قَالَ قُلْتُ مَا الْفَلاَحُ قَالَ السُّحُورُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا بَقِيَّةَ الشَّهْرِ.
“Dari Abu Dzar , dia berkata; “Kami pernah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah ﷺ , dan beliau tidak pernah mengerjakan salat malam bersama kami dalam bulan Ramadhan itu sampai tersisa tujuh malam. Maka (di malam ketujuh tanggal 23 Ramadhan) beliau salat malam mengimami kami sampai berlalu sepertiga malam. Ketika tiba malam keenam (yakni tanggal 24 Ramadhan) beliau tidak mengimami kami salat malam.Ketika tiba malam kelima (yakni tanggal 25 Ramadhan), beliau salat malam mengimami kami hingga tengah malam berlalu. Aku (Abu Dzarr) berkata; “wahai Rasulullah, alangkah baiknya sekiranya engkau menambahi lagi salat malam ini.” Abu Dzar berkata; Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila seseorang salat (malam) bersama imam hingga selesai, maka akan di catat baginya seperti bangun (untuk mengerjakan salat malam) semalam suntuk.” Kata Abu Dzar; “Ketika tiba malam ke empat (yakni tanggal 26 Ramadhan) beliau tidak mengimami kami salat malam. Ketika tiba malam ketiga (yakni tanggal 27 Ramadhan), beliau mengumpulkan keluarganya, isteri-isterinya dan orang-orang, lalu salat malam mengimami kami, sampai kami khawatir ketinggalan “Al Falah.” Jabir bertanya; “Apakah al falah itu?” Jawabnya; “Waktu sahur. Setelah itu beliau tidak lagi mengimami salat malam bersama kami pada hari-hari sisanya di bulan tersebut (yakni tanggal 28 dan 29 Ramadhan).”
Demikianlah. Jadi, selama bulan Ramadhan bisa dikatakan salat malam Rasulullah ﷺ mayoritas dilakukan di dalam rumah. Hanya tiga hari di awal bulan beliau mengimami salat malam di masjid ditambah tiga hari di malam-malam ganjil (tanggal 23,25, dan 27) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Semuanya tidak pernah disebut dengan istilah salat tarawih, baik salat tiga hari di awal Ramadhan, tiga hari di malam-malam ganjil, maupun yang dikerjakan di rumah. Semuanya hanya disebut dengan istilah qiyam, yakni qiyam lail atau qiyam Ramadhan. Jadi kaum muslimin di masa Rasulullah ﷺ masih hidup tidak pernah mengenal istilah salat tarawih.
Kondisi ini berlangsung terus hingga masa kekhalifahan Abu Bakr Ash-Shiddiq. Di masa itu istilah yang dipakai tidak berubah dari istilah yang dipakai di zaman Nabi ﷺ . Kaum muslimin melakukan salat malam secara bervariasi. Ada yang munfarid dan adapula yang berjamaah.
Lalu datanglah masa kekhalifahan Umar bin Al-Khatthab ﷺ . Suatu hari di bulan Ramadhan, beliau melihat kaum muslimin salat malam di masjid dalam keadaan semrawut. Ada yang berjamaah, ada yang sendirian, ada yang membaca takbir, ada yang mengucapkan salam. Akhirnya beliau memerintahkan salat malam tersebut disatukan dengan satu imam sehingga lebih teratur dan tidak saling mengganggu. Ditunjukklah Ubay bin Ka’ab untuk mengimami mereka, sehingga sejak saat itulah salat malam Ramadhan dilakukan secara berjamaah, teratur, dan kompak selama sebulan penuh. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
“ Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; “Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob Radhiyallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang salat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang salat sendiri dan ada seorang yang salat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya salat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang salat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang salat awal malam’ Beliau memaksudkan orang yang mendirikan salat di akhir malam (lebih baik dari pada yang melakukannya di akhir malam), sedangkan orang-orang secara umum melakukan salat pada awal malam”
Peristiwa ini terjadi pada tahun ke 14 Hijriyyah, atau tahun kedua kepemimpinan Umar Radhiyallahu ‘anhu. As-Suyuthi berkata;
وفيها جمع عمر الناس على صلاة التراويح، قاله العسكري في الأوائل
“Pada tahun itu (14 H) Umar mengumpulkan orang-orang untuk salat tarawih. Al-‘Askari menyatakannya dalam kitab Al-Awa-il”
Setelah masa Umar ini, maka salat malam Ramadhan itu terus dikerjakan secara berjamaah dan mentradisi turun temurun selama berabad-abad sampai masa kita sekarang ini.
Pertanyaannya, “Mengapa dinamakan tarawih?” “Sejak kapan salat malam di bulan Ramadhan dinamakan salat tarawih?”
Lafaz tarawih (التراويح) adalah bentuk jamak dari tarwihah (ترويحة) yang berarti istirohah (الاستراحة) yakni istirahat. Salat ini dinamakan salat tarawih karena dalam pelaksanaannya kaum muslimin beristirahat untuk mengembalikan tenaga setiap selesai mengerjakan empat rokaat.
Jadi istilah tarawih, asal mulanya adalah untuk menyebut jeda istirahat setiap empat rakaat, lalu lama kelamaan digunakan secara majasi untuk menyebut salat yang mengandung unsur istirahat ini
Al-Ba’li berkata;
سميت تراويح لأنه كانو يجلسون بين كل أربع يستريحون
“Dinamakan tarawih karena mereka (kaum muslimin) duduk di antara setiap empat rakaat untuk beristirahat”
Penjelasan senada juga disampaikan Al-Qunawi;
التراويح: جمع ترويحة وهي في الأصل مصدر لكن غلبت التسمية بالترويحة لاستراحة القوم بعد كل أربع ركعات
“Tarawih adalah jamak tarwihah. Lafaz ini (tarwihah) asalnya mashdar, namun penamaan (salat) dominan memakai tarwihah karena orang-orang beristirahat setiap empat rakaat”
Demikian pula Rowwas Qol’ahji dkk;
التراويح : مفردها ترويحة ، وهي الاستراحة قيام شهر رمضان ، وسمي بالتراويح لأنه يعقب كل أربع ركعات منه ترويحه ( جلسة استراحة )
“Tarawih bentuk tunggalnya adalah tarwihah, yang bermakna istirahat. (Tarawih) adalah salat malam di bulan Ramadhan. Dinamakan tarawih karena setiap selesai empat rakaat disusul satu kali istirahat (duduk istirahat)”
Adapun mengapa mereka beristirahat dalam salat ini, barangkali didasarkan pada riwayat dari Aisyah yang menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ beristirahat setelah mengerjakan salat malam empat rakaat. Al-Baihaqi meriwayatkan;
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِى اللَّيْلِ ، ثُمَّ يَتَرَوَّحُ ، فَأَطَالَ حَتَّى رَحِمْتُهُ فَقُلْتُ : بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ :« أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا؟ »
“Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha beliau berkata, Rasulullah ﷺ salat empat rakaat di malam hari kemudian beristirahat. Beliau memanjangkan salatnya sampai aku kasihan dengannya. Aku bertanya, ‘Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu wahai Rasulullah. Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu maupun yang kemudian’. Beliau menjawab, ‘tidakkah pantas aku menjadi hamba yang bersyukur?’”
Analisis bahwa kemungkinan istirahat itu didasarkan riwayat ini sempat disinggung Ash-Shon’ani dalam subulus salam. Beliau berkata;
وأما تسميتها بالتراويح فكأن وجهه ما أخرجه البيهقي من حديث عائشة قالت: “كان رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يصلي أربع ركعات في الليل ثم يتروح فأطال حتى رحمته ”
“Adapun penamaannya dengan tarawih, maka seakan-akan dasarnya adalah apa yang diriwayatkan Al-Baihaqi dari hadis Aisyah, beliau berkata, ‘Rasulullah ﷺ salat empat rakaat di malam hari kemudian beristirahat. Beliau memanjangkan salatnya sampai aku kasihan dengannya’”
Hanya saja riwayat di atas tidak kuat, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dasar. Akan tetapi, duduk istirahat ini meskipun tidak ada dalil shahihnya, telah diriwayatkan secara shahih dilakukan para sahabat dan generasi sesudahnya tanpa ada satupun yang mengingkari. Hal ini menunjukkan duduk tersebut mubah tetapi tidak wajib. Secara manusiawi, duduk seperti itu juga akan membantu lebih semangat untuk salat berikutnya karena bersifat mengumpulkan tenaga sambil berdzikir. Sebagian ulama ada yang mengatakannya mustahabb (disukai), maksudnya bukan mustahab secara syar’i tetapi mustahab berdasarkan pertimbangan maslahat nadhori.
Berhenti istirahat setelah selesai mengerjakan empat rakaat (bukan enam rakaat atau delapan mislanya) yang dilakukan generasi salaf ini seakan-akan menerapkan riwayat bahwa Nabi ﷺ salat malam dengan bacaan panjang yang bagus rukuk dan sujudnya sebanyak empat rakaat. Setelah itu jeda, lalu salat lagi empat rakaat seperti itu. Lalu jeda, lalu salat witir tiga rakaat. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
“Dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bahwasanya dia mengabarkan kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada ‘Aisyah tentang cara salat Rasulullah di bulan Ramadhan. Maka ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha menjawab: “Tidaklah Rasulullah ﷺ melaksanakan salat malam di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka’at, Beliau salat empat raka’at, dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau salat empat raka’at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga raka’at”.
Meskipun tidak ada dalil shahih secara spesifik yang menjelaskan istirahat disela-sela salat malam di bulan Ramadhan, namun istirahat disela-sela salat malam biasa dilakukan Rasulullah ﷺ , bahkan sampai taraf memejamkan mata, meskipun beliau tidak tidur. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي … قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي
“Dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bahwasanya dia mengabarkan kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada ‘Aisyah tentang cara salat Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan. …Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata; Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum melaksanakan witir?” Beliau menjawab: “Wahai ‘Aisyah, kedua mataku tidur, namun hatiku tidaklah tidur”
Adapun sejak kapan istilah tarawih dipakai, maka dalam hal ini belum ditemukan data yang menjelaskan secara pasti. Hanya saja, tulisan Bukhari dalam shahihnya yang sudah menggunakan istilah salat tarawih menunjukkan istilah tersebut sudah terpakai di masa Bukhari dan sebelumnya.
Ibnu Hajar dalam kitabnya; Fathu Al-Bari tidak menyebut tahun persis dimulainya istilah tarawih, tetapi hanya menyebutkan asal-usul istilah tersebut yang mengesankan istilah tersebut dimulai sejak zaman Umar Radhiyallahu ‘anhu . Ibnu Hajar menjelaskan bahwa asal kata tarawih adalah karena jamaah pertama untuk melakukan salat malam Ramadhan itu disertai jeda istirahat setiap selesai dua kali salam. Ibnu Hajar berkata;
وَالتَّرَاوِيحُ جَمْعُ تَرْوِيحَةٍ وَهِيَ الْمَرَّةُ الْوَاحِدَةُ مِنَ الرَّاحَةِ كَتَسْلِيمَةٍ مِنَ السَّلَامِ سُمِّيَتِ الصَّلَاةُ فِي الْجَمَاعَةِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ التَّرَاوِيحَ لِأَنَّهُمْ أَوَّلَ مَا اجْتَمَعُوا عَلَيْهَا كَانُوا يَسْتَرِيحُونَ بَيْنَ كُلِّ تَسْلِيمَتَيْنِ
“Tarawih adalah bentuk jamak tarwihah, yakni mashdar marroh dari kata rohah (istirahat) sebagaimana kata taslimah dari kata salam. Salat berjamaah di malam-malam Ramadhan dinamakan tarawih karena mereka saat pertama kali berkumpul melakukannya melakukan istirahat diantara setiap dua kali salam”