Oleh Ust. Muafa
Kritikan Terhadap Pendapat yang Membatasi 8 Rakaat
Sebagian kaum muslimin berpendapat salat tarawih harus dilakukan sebanyak 8 rakaaat. Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Melebihi 8 rakaat bahkan ada yang memandangnya sebagai bid’ah dan haram dilakukan. Dalil yang dijadikan dasar pendapat ini adalah hadis berikut ini;
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
“Dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bahwasanya dia mengabarkan kepadanya bahwa dia pernah bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha tentang cara salat Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan. Maka ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha menjawab: “Tidaklah Rasulullah ﷺ melaksanakan salat malam di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka’at, Beliau salat empat raka’at, dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau salat empat raka’at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga raka’at”.
Dalam riwayat di atas ditegaskan bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah melaksanakan salat malam di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka’at. Maksud 11 rakaat dalam hadis ini adalah 8 rakaat berupa salat malam sementara 3 rakaat berupa salat witir. Oleh karena itu, hadis ini menunjukkan bahwa salat tarawih harus dibatasi 8 rakaat saja tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Jika ada riwayat muthlaq yang mengesankan Rasulullah ﷺ tidak menentukan jumlah rakaat tertentu salat malam, maka riwayat mutlak tersebut harus dibawa pada riwayat muqoyyad ini sebagai realisasi kaidah ushul fikih yang berbunyi;
“hamlul muthlaq ‘alal muqoyyad” (membawa nash muthlaq pada nash muqoyyad)
Hal itu dikarenakan perbuatan Rasulullah ﷺ menjelaskan ucapannya. Jika beliau mengucapkan suatu perintah yang bersifat muthlaq, maka ucapan tersebut harus diterapkan dengan melihat perbuatan beliau yang melaksanakan ucapannya. Rasulullah ﷺ memang memerintahkan salat malam dalam redaksi yang bersifat mutlak, tetapi ketika dalil menunjukkan bahwa perbuatan Rasulullah ﷺ tidak pernah salat malam melebihi 11 rakaat, berarti salat tarawih jumlah rakaatnya telah dibatasi, yaitu 8 rakaat. Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Selain itu, Rasulullah ﷺ melakukan salat malam 11 rakaat ini secara terus menerus (istimror). Oleh karena itu, hal ini menunjukkan jumlah rakaat salat tarawih telah dibatasi jumlah rakaatnya sebagaimana istimrornya beliau pada salat-salat sunnah yang lain seperti salat rawatib, istisqo’ dan kusuf yang menunjukkan jumlah rakaat pada salat-salat sunnah tersebut telah dibatasi dan tidak boleh dilebihi atau dikurangi.
Jawaban atas argumentasi di atas adalah sebagai berikut;
Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam riwayat di atas ketika menjelaskan salat malam Rasulullah ﷺ adalah dalam konteks setelah ditanya oleh salah satu tabi’in yang menjadi muridnya. Artinya, pengetahuan jumlah rakaat salat malam Rasulullah ﷺ secara lebih spesifik bisa disimpulkan baru dibahas dan diketahui di zaman peralihan antara zaman shahabat-tabi’in. Sebelum ditanyakan oleh Abu Salamah, tentu saja Abu Salamah dan para sahabat telah melakukan salat malam dan salat tarawih. Pertanyaannya, dengan pengetahuan apa mereka menentukan jumlah rakaat salat malam mereka sebelum bertanya kepada Aisyah?
Pengetahuan riwayat spesifik yang bersifat muqoyyad tentu saja belum mereka dapatkan. Jika mereka telah tahu, tentu tidak perlu Abu Salamah bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Oleh karena itu penjelasan yang paling mudah diterima akal adalah memahami mereka salat malam tanpa batasan rakaat tertentu baik minimal maupun maksimalnya. Demikian pula shahabat-shahabat yang lain yang hidup sebelum masa Abu Salamah. Tentu mereka salat malam di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan dengan jumlah rakaat yang tidak ditentukan batasannya.
Abu Salamah sendiri adalah putra Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. Jika memang jumlah rakaat salat malam dibatasi dan diketahui Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu termasuk shahabat-shahabat yang lain, maka mustahil putranya tidak diajari. Jika sampai Abu Salamah merasa perlu bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang dianggapnya paling tahu kehidupan malam Rasulullah ﷺ, maka hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memang tidak membatasi jumlah rakaat salat malam yang mana jumlah rakaat tersebut diketahui para shahabat dan diajarkan kepada anak-anaknya. Para sahabat juga tidak bertanya kepada Rasulullah ﷺ sehingga setelah ilmu didapatkan, pengetahuan itu diajarkan oleh para sahabat kepada putra-putranya untuk diwasiatkan turun menurun.
Rasa penasaran Abu Salamah bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu ‘anha justru menunjukkan bahwa kaum muslimin waktu itu melakukan salat malam dengan jumlah rakaat yang tidak dibatasi, lalu Abu Salamah ingin tahu bagaimana sebenarnya cara Rasulullah ﷺ salat malam, sehingga bisa lebih dekat meneladani beliau dalam beribadah.
Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah memahami salat malam tidak dibatasi rakaatnya, baik di bulan Ramadhan maupun di luarnya. Jika orang melakukannya 8 rakaat, maka itu baik. Jika orang melakukannya 20 rakaat, maka itu juga baik karena dilakukakan shahabat. Bahkan melakukannya 36 rakaat seperti yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz dan difatwakan Malik, atau 41 rakaat sebagaimana yang difatwakan Ishaq bin Rohawaih juga tidak tercela. Semuanya benar karena salat malam memang diperintahkan secara mutlak dalam banyak hadis tanpa batasan rakaat minimal ataupun maksimal.
Allah sendiri memerintahkan salat malam kepada Rasulullah ﷺ untuk diteladani umatnya dengan durasi bervariasi; Menghabiskan waktu hampir seluruh malam, separuh malam, separuh malam kurang sedikit, dan separuh malam lebih sedikit. Durasi yang bermacam-macam ini meniscayakan rakaat yang juga tidak dibatasi.
Lagipula, persaksian Aisyah Radhiyallahu ‘anha lebih adil dipahami sebagai berikut.
Persaksian bahwa Rasulullah ﷺ hanya salat 11 rakaat adalah persaksian sebatas sepengetahuan Aisyah ketika salat di rumah. Argumentasinya, Rasulullah ﷺ pernah salat malam di masjid, lalu Hudzaifah bermakmum, lalu Nabi ﷺ membaca Al-Baqoroh, An-Nisa’, dan Ali imran. Rasulullah ﷺ membaca surat-surat panjang itu dengan tartil dan sangat tenang dengan diselipi doa-doa. Rukuk sujudnya pun mendekati lama berdirinya. Muslim meriwayatkan;
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ فَكَانَ رُكُوعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ قَامَ طَوِيلًا قَرِيبًا مِمَّا رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى فَكَانَ سُجُودُهُ قَرِيبًا مِنْ قِيَامِهِ
“Dari Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Pada suatu malam, aku salat bersama Nabi ﷺ , lalu Beliau memulai dengan surat Al Baqarah (setelah Al Fatihah). Dalam hati aku berkata, “(Mungkin) beliau akan rukuk setelah sampai seratus ayat,” namun ternyata beliau melanjutkan. Dalam hati aku berkata, “(Mungkin) beliau melakukan salat ini dengan membaca (habis) surat Al Baqarah,” namun beliau melanjutkan dengan surat An Nisa dan menyelesaikannya, kemudian membaca surat Ali Imran dan menyelesaikannya. Beliau membacanya dengan perlahan. Ketika sampai pada ayat tentang tasbih, maka beliau bertasbih, dan ketika sampai pada ayat tentang permohonan, maka beliau memohon. Ketika sampai pada ayat permohonan perlindungan, maka beliau berlindung. Setelah itu beliau rukuk dan mengucapkan, “subhaana rabbiyal ‘azhiim” (artinya: Mahasuci Tuhanku Yang Maha Agung). Ketika itu rukunya hampir sama dengan berdirinya, lalu beliau mengucapkan “sami’allahu liman hamidah,” (artinya: Allah mendengar orang yang memuji-Nya). Beliau berdiri lama seperti ketika rukuk, lalu beliau sujud dan mengucapkan, “subhaana rabbiyal a’laa,” (artinya: Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi). Ketika itu sujud beliau hampir sama dengan berdirinya.” (HR. Muslim)
Bacaan murottal Syaikh Sa’ad Al-Ghomidi untuk surat Al-Baqarah saja membutuhkan waktu 1 jam 57 menit 34 detik[1]. Surat An-Nisa’ membutuhkan waktu 1 jam 13 menit 7 detik[2]. Surat Ali Imran membutuhkan waktu 1 jam 5 menit 35 detik[3]. Dengan demikian total untuk membaca ketiga surat itu diperlukan waktu kira-kira 4 jam 16 menit 16 detik! Jika kita asumsikan rakaat kedua lamanya adalah separuh dari rakaat pertama maka rakaat kedua selesai dalam waktu 2 jam 8 menit 8 detik. Dengan demikian waktu total yang diperlukan untuk salat dua rakaat itu adalah 4 jam 16 menit 16 detik + 2 jam 8 menit 8 detik= 6 jam 24 menit 24 detik!
Telah kami uraikan dalam tulisan sebelumnya, bahwa durasi terlama salat malam Rasulullah ﷺ adalah kira-kira menghabiskan waktu 6 jam 27 menit[4]. Hal ini bermakna bahwa salat malam yang diikuti Hudzaifah itu secara rasional hanya mungkin dilakukan sebanyak dua rakaat. Tidak mungkin sampai 8 rakaat! Jika analisis ini disepakati, maka jelaslah bahwa persaksian Asiyah yang melaporkan bahwa Rasulullah ﷺ itu selalu 11 rakaat adalah persaksian terhadap kebiasaan Rasulullah ﷺ yang terlihat oleh Aisyah. Tidak bermakna bahwa Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah salat lebih banyak dari 11 rakaat atau kurang dari 11 rakaat.
Bahkan ada riwayat dengan sanad yang dishahihkan Syuaib Arnauth yang memberi info lugas bahwa peristiwa Hudzaifah itu adalah saat Ramadhan dan Rasulullah ﷺ memang hanya salat 2 rakaat. Ahmad meriwayatkan;
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَقَامَ يُصَلِّي فَلَمَّا كَبَّرَ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ذُو الْمَلَكُوتِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ ثُمَّ قَرَأَ الْبَقَرَةَ ثُمَّ النِّسَاءَ ثُمَّ آلَ عِمْرَانَ لَا يَمُرُّ بِآيَةِ تَخْوِيفٍ إِلَّا وَقَفَ عِنْدَهَا ثُمَّ رَكَعَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ سَجَدَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ سَجَدَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَامَ فَمَا صَلَّى إِلَّا رَكْعَتَيْنِ حَتَّى جَاءَ بِلَالٌ فَآذَنَهُ بِالصَّلَاةِ
“Dari Hudzaifah bin Al Yaman Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata; Aku mendatangi Nabi ﷺ pada suatu malam di bulan Ramadhan, beliau berdiri lalu salat, saat takbir beliau mengucapkan: ALLAAHU AKBAR DZUL MALAKUUT WAL JABARUUT WAL KIBRIYAA` WAL ‘ADHAMAH. Kemudian beliau membaca surat Al Baqarah lalu beliau rukuk, rukuk beliau hampir sama seperti saat berdiri, beliau membaca: SUBHAANA RABBIYAL ‘ADLIIM, kemudian beliau mengangkat kepala, dan berdirinya beliau hampir sama seperti saat rukuk, beliau membaca: ALHAMDU LI RABBIYAL HAMD, kemudian beliau sujud, sujudnya beliau hampir sama seperti saat berdiri, beliau membaca: SUBHAANA RABBIYAL A’LAA, kemudian beliau mengangkat kepala, dan duduk diantara dua sujud beliau hampir sama dengan saat beliau sujud, beliau membaca: RABBIGHFIR LI, RABBIGHFIR LI, kemudian beliau berdiri. Beliau tidak salat (malam itu) kecuali (hanya) dua rakaat, hingga Bilal Radhiyallahu ‘anhu datang lalu memberi tahu beliau untuk salat (subuh).”
Jika benar bahwa Rasulullah ﷺ saat salat dengan Hudzaifah di malam Ramadhan hanya 2 rakaat, berarti ini jelas membantah persaksian Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang mengatakan bahwa beliau hanya salat 11 rakaat. Dengan demikian, lebih tepat memahami bahwa salat 11 rakaat Nabi ﷺ itu adalah umumnya kebiasaan Nabi ﷺ yang disaksikan aisyah, sehingga jika Rasulullah ﷺ salat kurang dari itu atau lebih dari itu di luar rumah Aisyah Radhiyallahu ‘anha , maka Aisyah Radhiyallahu ‘anha tidak mengetahuinya.
Dalam riwayat lain, dalam peristiwa Hudzaifah ini disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ salat sebanyak 4 rakaat. Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ فَكَانَ يَقُولُ « اللَّهُ أَكْبَرُ – ثَلاَثًا – ذُو الْمَلَكُوتِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ ». ثُمَّ اسْتَفْتَحَ فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ ثُمَّ رَكَعَ فَكَانَ رُكُوعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ وَكَانَ يَقُولُ فِى رُكُوعِهِ « سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ ». ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فَكَانَ قِيَامُهُ نَحْوًا مِنْ رُكُوعِهِ يَقُولُ « لِرَبِّىَ الْحَمْدُ ». ثُمَّ سَجَدَ فَكَانَ سُجُودُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ فَكَانَ يَقُولُ فِى سُجُودِهِ « سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى ». ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ وَكَانَ يَقْعُدُ فِيمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ نَحْوًا مِنْ سُجُودِهِ وَكَانَ يَقُولُ « رَبِّ اغْفِرْ لِى رَبِّ اغْفِرْ لِى ». فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَقَرَأَ فِيهِنَّ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ وَالنِّسَاءَ وَالْمَائِدَةَ أَوِ الأَنْعَامَ شَكَّ شُعْبَةُ.
“Dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia melihat Rasulullah ﷺ salat malam, dalam salatnya beliau mengucapkan; “ALLAHU AKBAR” tiga kali DZUL MALAKUUTI WAL JABARUURI WAL KIBRIYAA`I WAL ‘ADZAMAH (Maha suci dzat yang memiliki kerajaan, kekuasaan, kebesaran dan keagungan).” Kemudian beliau membaca do’a iftitah, lalu membaca surat Al Baqarah, kemudian beliau rukuk, lama beliau rukuk hampir sama ketika beliau berdiri, dalam rukuknya beliau mengucapkan; “SUBHAANA RABBIYAL ‘AZHIIMI, SUBHAANA RABBIYAL ‘AZHIIMI (Maha suci Rabbku yang Maha Agung, Maha suci Rabbku yang Maha Agung).” Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, sedangkan lamanya beliau berdiri (i’tidal) seperti ketika beliau rukuk, beliau mengucapkan; “LIRABBIYAL HAMDU (Bagi rabbku segala puji-pujian).” Kemudian beliau sujud, sedangkan lamanya beliau sujud seperti ketika beliau berdiri, dalam sujudnya beliau mengucapkan; “SUBHAANA RABBIYAL A’LA (Maha suci Rabbku yang Maha tinggi).” Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari sujud, lama beliau duduk di antara dua sujud seperti ketika beliau sujud, dan dalam duduk di antara dua sujudnya beliau mengucapkan: “RABBIGHFIRLII, RABBIGHFIRLII” Beliau salat empat raka’at, dalam salatnya itu beliau membaca surat Al Baqarah, Ali Imran, An Nisa’, Al Maidah atau Al An’am -Syu’bah ragu (dalam lafadznya).”
Dalam riwayat ini, ada tambahan bacaan surat Al-Maidah dan Al-An’am selain Al-Baqarah, Ali Imran dan An-Nisa’. Meskipun dari sisi perhitungan waktu lebih sulit membayangkan waktu semalam bisa digunakan untuk membaca surat panjang-panjang itu dalam empat rakaat, tetapi secara rasional hal ini masih mungkin saja terjadi. Misalnya dengan memahami bahwa barangkali surat panjang-panjang di zaman itu belum turun utuh sempurna, atau dengan memahami bahwa dua rakaat terakhir dilakukan Nabi dengan cepat, atau dengan memahami bahwa waktu diperpanjang dan diberkahi untuk Rasulullah ﷺ sehingga cukup untuk salat panjang dengan rakaat banyak. Namun, riwayat salat malam Rasulullah ﷺ bersama Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, baik yang menyatakan 2 rakaat maupun 4 rakaat, semuanya memberikan kesimpulan yang sama, yakni bahwa Rasulullah ﷺ tidak salat sebanyak 11 rakaat dengan tarawih 8 rakaat dan witir 3 rakaat sebagaimana yang dilaporkan Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Aisyah sendiri dalam riwayat lain melaporkan salat malam Rasulullah ﷺ itu berjumlah 13 rakaat, bukan 11 rakaat. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ يُصَلِّي إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ بِالصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
“Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Nabi ﷺ melaksanakan salat malam sebanyak tiga belas raka’at kemudian bila sudah mendengar seruan adzan subuh, beliau mengerjakan dua raka’at salat sunnat yang ringan”.
Demikian pula persaksian Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ نِمْتُ عِنْدَ مَيْمُونَةَ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي فَقُمْتُ عَلَى يَسَارِهِ فَأَخَذَنِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ نَامَ حَتَّى نَفَخَ وَكَانَ إِذَا نَامَ نَفَخَ ثُمَّ أَتَاهُ الْمُؤَذِّنُ فَخَرَجَ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
“Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu malam aku pernah tidur di sisi Maimunah, sementara Nabi ﷺ tidur di sebelahnya pada malam itu. Rasulullah ﷺ kemudian berwudlu lalu berdiri menunaikan salat. Maka aku datang dan berdiri salat di samping kiri beliau. Namun beliau memegangku dan menggeserku ke sebelah kanannya. Setelah itu beliau salat tiga belas rakaat, kemudian tidur hingga terdengar nafasnya. Memang, beliau apabila tidur (terdengar suara) nafas beliau. Kemudian seorang mu’adzin datang kepada beliau, maka beliau pun keluar untuk menunaikan salat (Shubuh) tanpa berwudlu lagi.”
Demikian pula persaksian Zaid bin Kholid Al-Juhani. Muslim meriwayatkan;
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَأَرْمُقَنَّ صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّيْلَةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ أَوْتَرَ فَذَلِكَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Dari Zaid bin Khalid Al Juhani Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata; Saya benar-benar akan memperhatikan salat Rasulullah ﷺ pada malam ini. (Maka saya melihat) beliau salat dua raka’at ringan. Kemudian beliau salat dua raka’at yang sangat panjang. Kemudian beliau salat dua raka’at lagi yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya. Kemudian beliau salat dua raka’at lagi yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya. Kemudian beliau salat lagi yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya. Kemudian beliau salat dua raka’at lagi yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya. Sesudah itu beliau salat witir, hingga bilangan semua raka’atnya adalah tiga belas raka’at.”
Riwayat lain dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha menyebut bahwa Rasulullah ﷺ salat malam 10 rakaat dengan witir satu rakaat. Jadi 11 rakaat dalam riwayat ini bukan kombinasi 8+3 tetapi 10+ 1. Artinya, salat malamnya 10 rakaat, bukan 8 rakaat. Muslim meriwayatkan;
عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ عَشَرَ رَكَعَاتٍ وَيُوتِرُ بِسَجْدَةٍ وَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَتْلِكَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Dari Al Qasim bin Muhammad katanya; “Aku pernah mendengar ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan; “Shalat malam Rasulullah ﷺ adalah sepuluh rakaat, beliau melakukan witir dengan sekali sujud, dan beliau juga melakukan dua rakaat fajar, hingga jumlahnya menjadi tiga belas rakaat.”
Berdasarkan semua riwayat di atas, jelaslah bahwa memutlakkan Rasulullah ﷺ selalu salat 11 rakaat dengan rincian 8 rakaat untuk salat malam/tarawih, sementara 3 rakaat salat witir berdasarkan riwayat Aisyah adalah kesimpulan yang tidak tepat. Ada sejumlah riwayat yang membuktikan Rasulullah ﷺ salat malam hanya 2 rakaat, 4 rakaat, 8 rakaat dan 10 rakaat. Oleh karena itu, persaksian Aisyah Radhiyallahu ‘anha lebih dekat dipahami sebagai kejadian yang umumnya beliau lihat, bukan kejadian mutlak dalam seluruh malam Rasulullah ﷺ.
Berdasarkan uraian ini pula, argumentasi istimror (terus menerusnya) Rasulullah ﷺ salat 8 rakaat menjadi runtuh dengan sendirinya. Karena telah terbukti riwayat Rasulullah ﷺ salat bersama Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu hanya 2 rakaat atau 4 rakaat. Jadi, Rasulullah ﷺ tidak selalu salat malam 8 rakaat. Secara rasional juga susah diterima jika dua rakat pertama saja membutuhkan waktu minimal 6 jam lalu nabi akan salat 8 rakaat, karena ini berkonsekuensi Rasulullah ﷺ membutuhkan waktu sebanyak 24 jam sementara waktu terpanjang untuk malam hari di Madinah tidak sampai 12 jam. Selain itu, kaidah istimror untuk mencegah penambahan jumlah rakaat baru bisa dibenarkan jika tidak bertentangan dengan dalil lain, seperti kasus jumlah rakaat salat fardhu.
Seandainya hadis Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang meriwayatkan 11 rakaat bermakna tahdid (pembatasan) dan menjadi kalimatul fashl (kata pemutus), tidak mungkin Umar Radhiyallahu ‘anhu berani menetapkan 20 rakaat, dan tidak mungkin ada ikhtilaf sehingga imam-imam besar seperti Abu Hanifah, As-Syafi’i dan Ahmad sampai memilih 20 rakaat untuk jumlah rakaat salat tarawih. Imam Malik juga tidak akan berani berpendapat rakaat tarawihnya berjumlah 36. Penduduk Madinah juga tidak akan menjadikan itu sebagai amalnya. Dari sini, pendapat bahwa salat malam dan tarawih jumlah rakaatnya dibatasi 8 tanpa boleh kurang dan lebih justru nampak seakan-akan menjadi pendapat terlemah dalam isu ini.
Adapun hadis shollu kama ro-aitumunii usholli (salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat) maka itu maksudnya dalam hal kaifiyyah. Dalam hal jumlah, maka harus disesuaikan dengan dalil. Jika Nabi ﷺ tidak menentukan jumlah tertentu maka boleh dengan jumlah berapapun. Jika sudah ditentukan seperti pada salat wajib, maka wajib terikat. Seandainya hadis itu dipahami secara literal maka seharusnya dalam salat witir kita wajib melakukannya sesekali 5 rakaat, sesekali 7 rakaat, sesekali 9 rakaat secara berurutan sementara tidak ada satupun ulama yang berpendapat seperti ini. Ijtihad yang mengelaborasi semua dalil terkait secara alami akan lebih kuat daripada yang hanya dalilnya terbatas. Jika hanya berdasar hadis shollu kama ro-aitumunii usholli yang digabung dengan riwayat Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa jumlah rakaat Rasulullah ﷺ 11 atau 13, maka pemahaman ini akan menyimpulkan bahwa sunnahnya salat malam/tarawih adalah 8 rakaat. Tetapi jika kajian diperluas dengan mengaitkan riwayat lain, yakni ketika Nabi ﷺ ditanya, “salat malam itu bagaimana” lalu beliau menajwab, “dua-dua” tanpa menjelaskan berapa jumlah batasannya, maka hal ini menunjukkan jumlah rakaat salat malam itu tidak dibatasi. Karena itulah, salat tarawih di masa Umar, Ustman, Ali sampai 20 rokaat, dan pada sebagian tabiin sampai 41 rakaat. Sebagian salaf konon malah ada yang salat malam sampai 1000 rakaat. Pemahaman ini lebih kuat, karena jumlah rakaat salat malam tidak diatur secara spesifik, tidak sebagaimana salat 5 waktu.
Ibrahim Ash-Shubaihi mengkritik pendapat yang membatasi rakaat tarawih hanya 8 rakaat dan mengarang kitab khusus untuk kepentingan tersebut. Nama kitab beliau berjudul ‘adadu roka’atit tarowih (عَدَدُ رَكَعَاتِ التَّرَاوِيْح).
Kritikan Terhadap Pendapat yang mengharuskan 20 Rakaat
Sebagian kaum muslimin berpendapat salat tarawih harus 20 rakaat tidak boleh kurang. Melebihi 20 rakaat masih ditoleransi, namun jika kurang dari 20 rakaat maka itu tercela. Dasar pendapat ini adalah riwayat bahwa tarawih di zaman Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu dilakukan sebanyak 20 rakaat dengan 3 rakaat untuk witir. Malik meriwayatkan;
عَنْ مَالِك عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً
“Dari Yazid bin Ruman dia berkata; “Para sahabat pada masa Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu mengerjakan salat malam sebanyak dua puluh tiga rakaat.”
Riwayat-riwayat seperti di atas banyak dilaporkan dengan berbagai jalur yang semuanya menunjukkan bahwa salat tarawih sebanyak 20 rakaat sudah menjadi ijmak shahabat, dipraktekkan secara turun temurun semenjak masa shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan generasi sesudahnya. Karena itu salat tarawih kurang dari 20 rakaat adalah melawan ijmak ini, dan itu adalah penyimpangan.
Jawaban atas argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Salat tarawih dilakukan sebagai realisasi perintah Rasulullah ﷺ untuk memperbanyak qiyam di bulan Ramadhan. Praktek Rasulullah ﷺ sendiri dalam mayoritas malam-malam beliau menunjukkan 8 rakaat, bukan 20. Oleh karena itu mustahil ijmak shahabat Nabi ﷺ diposisikan lebih tinggi dari perbuatan Rasulullah ﷺ. Yang lebih tepat tentu mengatakan bahwa perbuatan Rasulullah ﷺ adalah dalil utama, sementara ijmak shahabat memperjelas maksud perbuatan Rasulullah ﷺ. Mengkompromikan antara perbuatan Rasulullah ﷺ dengan sunnah shahabat bisa dikatakan sebagai berikut. Salat Rasulullah ﷺ, meskipun rakaatnya hanya 8 tetapi sangat bagus dan panjang. Para shahabat khawatir jika salat malam persis seperti Rasulullah ﷺ maka akan membuat kaum muslimin tidak kuat sehingga malah tidak mau tarawih. Maka salat diringankan tetapi dengan kompensasi rakaatnya ditambah menjadi 20. Jadi, salat 8 rakaat Rasulullah ﷺ dan salat 20 rakaat para shahabat semakin kuat menunjukkan bahwa para shahabat memahami jumlah rakaat salat malam itu tidak dibatasi. Lagi pula, jika konsisten seharusnya pendapat 20 akan melarang pendapat yang mengatakan jumlah rakaat salat tarawih berjumlah 36. Jika salat tarawih 36 rakaat boleh seharusnya yang 8 juga boleh dengan memahami memang tidak ada batasan. Jadi, lebih konsisten memahami salat 36 rakaat boleh, salat 8 rakaat boleh dengan disertai keyakinan bahwa 20 adalah yang paling afdhol karena menjadi sunnah generasi salaf.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa jumlah rakaat tarawih harus 36 rakaat, maka pendapat ini didasarkan pada amalan penduduk Madinah, bukan Al-Qur’an secara langsung atau hadis Nabi ﷺ. Bagi ulama yang menolak amalan penduduk Madinah sebagai dalil, pendapat ini mudah dibantah karena amalan penduduk Madinah bukan sumber hukum. Lagi pula, perbuatan Nabi ﷺ dan sunnah Shahabat menunjukkan mereka tidak salat tarawih sebanyak 36 rakaat. Oleh karena itu, pendapat ini hanya bisa dibenarkan dengan memahami bahwa jumlah rakaat salat tarawih tidak dibatasi, namun jika justru malah dijadikan ukuran pembatasan, pendapat ini tertolak dengan hadis-hadis yang lugas dan riwayat sunnah khulafaur rosyidin.
————————-
Rujukan:
[1] Lihat dalam tautan https://download.tvquran.com/download/TvQuran.com__Al-Ghamdi/002.mp3
[2] Lihat dalam tautan https://download.tvquran.com/download/TvQuran.com__Al-Ghamdi/004.mp3
[3] Lihat dalam tautan https://download.tvquran.com/download/TvQuran.com__Al-Ghamdi/003.mp3
[4] Lihat artikel dalam tautan https://irtaqi.net/2017/05/29/berapa-lama-durasi-salat-tarawih/