Oleh: Ust. Muafa
Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi ﷺ tidak bisa serta merta langsung dihukumi bid’ah yang bermakna haram karena apa yang ditinggalkan/tidak dilakukan Nabi ﷺ memiliki sejumlah kemungkinan makna.
Sesuatu yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah ﷺ bisa karena hukumnya tidak wajib. Misalnya berwudhu setelah memakan makanan yang dimasak api. Rasulullah ﷺ tidak berwudhu setelah memakan makanan yang dimasak oleh api. Wudhu yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ ini bermakna hukum melakukannya tidak wajib. Maksudnya, tidak wajib orang yang memakan makanan yang dimasak dengan api untuk berwudhu sesudahnya. Abu Dawud meriwayatkan;
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ آخِرُ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ
“Dari Jabir dia berkata; Akhir dari dua perkara dari Rasulullah ﷺ adalah; Beliau tidak berwudhu karena makan sesuatu yang disentuh api (H.R.Abu Dawud)
Bisa juga Rasulullah ﷺ meninggalkan sesuatu karena perasaan jijik/tidak terbiasa saja sementara hukum sebenarnya adalah halal. Misalnya Rasulullah ﷺ tidak mau memakan biawak panggang yang dihidangkan di depan beliau. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ قَالَ
أُتِيَ النَّبِيُّ بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لَا وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللَّهِ يَنْظُرُ
“Dari Ibnu Abbas dari Khalid bin Al Walid ia berkata; Nabi ( pernah diberi daging biawak yang terpanggang. Maka beliau pun berselera hendak memakannya, lalu dikatakanlah kepada beliau, “Itu adalah daging biawak.” Dengan segera beliau menahan tangannya kembali. Khalid bertanya, Apakah daging itu adalah haram? beliau bersabda: Tidak, akan tetapi daging itu tidak ada di negeri kaumku. Beliau tidak melarang. Maka Khalid pun memakannya sementara Rasulullah ﷺ melihat. (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah meninggalkan sesuatu karena lupa, seperti beliau shalat dengan rakaat yang tidak lengkap pada kisah Dzul Yadain. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ انْصَرَفَ مِنْ اثْنَتَيْنِ فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ فَصَلَّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ
“Dari Abu Hurairah, ketika Rasulullah ﷺ menyelesaikan shalatnya yang baru dua raka’at, Dzul Yadain berkata kepada beliau: “Apakah shalat diqashar ataukah Anda lupa, wahai Rasulullah? Maka Rasulullah ﷺ berkata: Apakah benar yang dikatakan Dzul Yadain? Orang-orang menjawab: Benar. Maka Rasulullah ﷺ berdiri dan mengerjakan shalat dua rakaat yang kurang tadi kemudian memberi salam. Kemudian beliau bertakbir lalu sujud seperti sujudnya (yang biasa) atau lebih lama lagi (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah ﷺ meninggalkan sesuatu karena khawatir menjadi wajib seperti shalat tarawih berjamaah yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
“Dari Ibnu Syihab, ia berkata, telah mengabarkan kepadaku Urwah bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah ﷺ pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat dibelakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah ﷺ keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jamaah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: Amma badu, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu. (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah ﷺ meninggalkan sesuatu hanya karena tidak tergagas semata, misalnya Rasulullah ﷺ tidak membuat mimbar untuk khutbah jumat, dan baru membuat mimbar setelah diusulkan salah seorang shahabat. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَجْعَلُ لَكَ شَيْئًا تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلَامًا نَجَّارًا قَالَ إِنْ شِئْتِ قَالَ فَعَمِلَتْ لَهُ الْمِنْبَرَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ قَعَدَ النَّبِيُّ عَلَى الْمِنْبَرِ الَّذِي صُنِعَ فَصَاحَتْ النَّخْلَةُ الَّتِي كَانَ يَخْطُبُ عِنْدَهَا حَتَّى كَادَتْ تَنْشَقُّ فَنَزَلَ النَّبِيُّ حَتَّى أَخَذَهَا فَضَمَّهَا إِلَيْهِ فَجَعَلَتْ تَئِنُّ أَنِينَ الصَّبِيِّ الَّذِي يُسَكَّتُ حَتَّى اسْتَقَرَّتْ قَالَ بَكَتْ عَلَى مَا كَانَتْ تَسْمَعُ مِنْ الذِّكْرِ
“Dari Jabir bin ‘Abdullah ( bahwa ada seorang wanita kaum Anshar berkata, kepada Rasulullah ﷺ : “Tidakah sebaiknya aku buatkan sesuatu yang bisa baginda pergunakan untuk karena aku punya pembantu yang pekerjaannya sebagai tukang kayu? Beliau menjawab: Silakan bila kamu kehendaki. Sahal berkata: Maka wanita itu membuatkan mimbar. Ketika hari Jumat Nabi ﷺ duduk diatas mimbar yang telah dibuat tersebut. Lalu batang pohon kurma yang biasanya beliau berkhuthbah di atasnya berteriak hingga hampir-hampir batang pohon itu terbelah. Maka Nabi ﷺ turun menghampiri batang kayu tersebut lalu memegang dan memeluknya hingga akhirnya batang kayu tersebut merintih dengan perlahan seperti bayi hingga akhirnya berhenti dan menjadi tenang. Beliau berkata: Batang kayu itu menangis karena dzikir yang pernah didengarnya (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah ﷺ meninggalkan sesuatu karena sudah termasuk keumuman nash,seperti puasa Dawud. Rasulullah ﷺ tidak melakukan pausa Dawud namun menjelaskan dengan ucapan bahwa puasa tersebut adalah puasa yang paling afdhol. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَنْكَحَنِي أَبِي امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ فَكَانَ يَتَعَاهَدُ كَنَّتَهُ فَيَسْأَلُهَا عَنْ بَعْلِهَا فَتَقُولُ نِعْمَ الرَّجُلُ مِنْ رَجُلٍ لَمْ يَطَأْ لَنَا فِرَاشًا وَلَمْ يُفَتِّشْ لَنَا كَنَفًا مُنْذُ أَتَيْنَاهُ فَلَمَّا طَالَ ذَلِكَ عَلَيْهِ ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ فَقَالَ الْقَنِي بِهِ فَلَقِيتُهُ بَعْدُ فَقَالَ كَيْفَ تَصُومُ قَالَ كُلَّ يَوْمٍ قَالَ وَكَيْفَ تَخْتِمُ قَالَ كُلَّ لَيْلَةٍ قَالَ صُمْ فِي كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةً وَاقْرَإِ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ قَالَ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْجُمُعَةِ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ أَفْطِرْ يَوْمَيْنِ وَصُمْ يَوْمًا قَالَ قُلْتُ أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ صُمْ أَفْضَلَ الصَّوْمِ صَوْمَ دَاوُدَ صِيَامَ يَوْمٍ وَإِفْطَارَ يَوْمٍ
“Dari Abdullah bin Amr, ia berkata; Bapakku menikahkanku dengan seorang wanita yang memiliki kemuliaan leluhur. Lalu bapakku bertanya pada sang menantunya mengenai suaminya. Maka sang menantu pun berkata, Dia adalah laki-laki terbaik, ia belum pernah meniduriku dan tidak juga memelukku mesra semenjak aku menemuinya. Maka setelah selang beberapa lama, bapakku pun mengadukan hal itu pada Nabi ﷺ, akhirnya beliau bersabda: Bawalah ia kemari. Maka setelah itu, aku pun datang menemui beliau, dan belaiau bersabda: Bagaimanakah ibadah puasamu? aku menjawab, Yaitu setiap hari. Beliau bertanya lagi, Lalu bagaimana dengan Khataman Al Qur`anmu? aku menjawab, Yaitu setiap malam. Akhirnya beliau bersabda: Berpuasalah tiga hari pada setiap bulannya. Dan bacalah (Khatamkanlah) Al Qur`an sekali pada setiap bulannya. Aku katakan, Aku mampu lebih dari itu. Beliau bersabda: Kalau begitu, berpuasalah tiga hari dalam satu pekan. Aku berkata, Aku masih mampu lebih dari itu. Beliau bersabda: Kalau begitu, berbukalah sehari dan berpuasalah sehari. Aku katakan, Aku masih mampu lebih dari itu. Beliau bersabda: Berpuasalah dengan puasa yang paling utama, yakni puasa Dawud, yaitu berpuasa sehari dan berbuka sehari. (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah ﷺ meninggalkan sesuatu karena khawatir memberatkan shahabat, seperti pelaksanaan shalat Isya di tengah malam. Sebenarnya Rasulullah ﷺ ingin shalat Isya berjamaah di tengah malam atau sepertiga malam, namun karena khawatir memberatkan umatnya maka hal tersebut tidak dilakukan. An-Nasai meriwayatkan;
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَاةَ الْمَغْرِبِ ثُمَّ لَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَخَرَجَ فَصَلَّى بِهِمْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا وَنَامُوا وَأَنْتُمْ لَمْ تَزَالُوا فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرْتُمْ الصَّلَاةَ وَلَوْلَا ضَعْفُ الضَّعِيفِ وَسَقَمُ السَّقِيمِ لَأَمَرْتُ بِهَذِهِ الصَّلَاةِ أَنْ تُؤَخَّرَ إِلَى شَطْرِ اللَّيْلِ
“Dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata; “Kami shalat Maghrib bersama Rasulullah ﷺ , kemudian beliau ﷺ keluar kepada kami hingga telah lewat separuh malam. Lalu beliau keluar dan shalat bersama mereka, lantas bersabda: Orang-orang sudah shalat dan mereka telah tidur dan kalian selalu dalam keadaan orang yang shalat selama masih menunggu shalat. Seandainya tidak menambah lemah orang yang lemah dan tidak menambah sakit orang yang sakit, maka aku pasti memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat ini sampai pertengahan malam. (H.R.An-Nasai)
Hadis yang senada juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzy;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
“Dari Abu Hurairah ia berkata; “Rasulullah ﷺ bersabda: “Sekiranya tidak memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya hingga sepertiga atau pertengahan malam. (H.R.At-Tirmidzi)
Bisa juga Rasulullah ﷺ meninggalkan sesuatu karena khawatir mengubah hati shahabat dan menimbulkan masalah di tengah-tengah umatnya seperti rencana membangun kembali Kabah. Rasulullah ﷺ sebenarnya ingin membongkar Kabah dan membangun kembali pondasinya menurut pondasi yang semestinya. Namun, karena beliau melihat Shahabat-shahabatnya masih dekat dengan masa jahiliyyah, maka beliau meninggalkan keinginan tersebut. Bukhari meriwayatkan;
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ لَوْلَا حَدَاثَةُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ ثُمَّ لَبَنَيْتُهُ عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّ قُرَيْشًا اسْتَقْصَرَتْ بِنَاءَهُ وَجَعَلْتُ لَهُ خَلْفًا
“Dari ‘Aisyah (, ia berkata; Rasulullah ﷺ berkata, kepadaku: “Seandainya bukan karena zaman kaummu yang masih dekat dengan kekufuran tentu aku sudah membongkar Kabah lalu aku bangun kembali diatas pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam karena orang-orang Quraisy telah mengurangi pembangunannya dan aku akan buatkan pintu (dari belakangnya) (H.R.Bukhari)
Bisa juga Rasulullah ﷺ meninggalkan sesuatu karena persoalan memang belum terjadi, misalnya Rasulullah ﷺ tidak pernah mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf, tidak pernah memberi hukum untuk kasus waris kombinasi antara kakek dengan saudara, tidak pernah membagi warisan dengan cara ‘aul, dan lain-lain.
Jadi, apa yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ tidak bisa langsung dimaknai bidah dan dihukumi haram, namun harus dikaitkan dengan nash-nash yang lain dan dihubungkan dengan qarinah-qarinah seputar topik tersebut untuk memahami status apa yang ditinggalkan apakah bermakna haram, mubah, sunnah, dan lain-lain. Seandainya apa yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ secara mutlak semuanya bermakna haram, niscaya para shahabat sedikitpun tidak akan berani melakukan apapun secara mutlak apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah ﷺ. Faktanya, dalam sejarah ada banyak hal yang dilakukan shahabat yang tidak dilakukan oleh Rasulullah ﷺ baik terkait ibadah maupun selain ibadah. Para shahabat shalat tarawih berjamaah sebulan penuh, adzan dua kali saat Jumat, puasa sepanjang masa, mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf, memperluas masjid Nabawy, dan lain-lain yang semuanya menunjukkan bahwa apa yang tidak dilakukan Rasulullah ﷺ tidak langsung difahami sebagai bidah yang dihukumi haram.
Mengharamkan sesuatu harus dinyatakan oleh dalil, tidak cukup hanya dengan argumentasi: Tidak pernah dilakukan Rasulullah ﷺ. Keharaman sesuatu yang didasarkan dalil bentuknya bisa berupa larangan tegas seperti larangan berzina dalam ayat berikut;
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isro’ 32)
Bisa juga berupa lafadz lugas tahrim (mengharamkan), misalnya haramnya bangkai, darah, daging babi dalam ayat berikut;
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi” (Al-maidah;3)
Bisa juga berupa ancaman keras atau kecaman tajam terhadap sesuatu seperti ancaman hukuman potong tangan dan larangan tasyabbuh dalam hadis;
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (Al-Maidah; 38)
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Bukan termasuk golonganku orang yang tasyabbuh (menyerupai atau mengikuti) kepada selain kami” (H.R. At-Tirmidzi)
Pendeknya, sesuatu bisa dikatakan haram jika dinyatakan oleh dalil dengan qarinah yang tegas menunjukkan keharaman. Tidak semata-mata hanya karena tidak pernah dilakukan Rasulullah ﷺ.
Ibnu Umar pernah mengkritik orang yang menyimpulkan langsung bahwa lafadz naha (melarang) adalah bermakna haram. Ibnu Umar mengkritik cara menyimpulkan yang demikian karena lafadz naha bisa bermakna makruh, bukan haram. Ibnu Rojab menulis dalam kitabnya Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam:
قالَ ابنُ المبارك : أخبرنا سلاَّمُ بن أبي مطيع ، عن ابن أبي دخيلةَ ، عن أبيه ، قالَ : كنتُ عندَ ابن عمر ، فقالَ : نهى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الزَّبيب والتَّمر ، يعني : أنْ يُخلطا ، فقال لي رجل من خلفي : ما قال ؟ فقلتُ: حرَّم رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – الزبيب والتمر ، فقال عبد الله بنُ عمر : كذبتَ ، فقلتُ : ألم تقل : نهى رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – عنه ، فهو حرامٌ ؟ فقال : أنت تشهد بذاك ؟ قال سلاَّم : كأنه يقول : من نهي النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ما هو أدب .
“Ibnu Al-Mubarok berkata; Sallam bin Abi Muthi’ memberitahu kami dari Ibnu Abi Dakhilah beliau berkata: Aku berada di sisi Ibnu Umar. Beliau berkata: Rasulullah ﷺ melarang anggur kering dan kurma kering, yakni untuk dicampur. Maka seorang lelaki dibelakangku bertanya: Apa yang dia katakan? Maka aku menjawab: Rasulullah ﷺ mengharamkan anggur kering dan kurma kering (untuk dicampur). Maka Abdulah bin Umar berkata: Engkau berdusta. Aku berkata: bukankah engkau mengatakan Rasulullah ﷺ telah melarangnya, bukankah itu bermakna haram? Beliau bertanya; Engkau bersaksi atas hal tersebut? Sallam berkata; seakan-akan beliau menjelaskan, diantara larangan Rasulullah ﷺ ada yang termasuk adab -tidak disukai/makruh (Jami Al-Ulum wa Al-Hikam, vol 12. Hlm 32)
Ulama-ulama faqih di kalangan ulama salaf seperti Malik, As-Syafii dan lain-lain justru sangat berhati-hati untuk menghukumi haram. Mereka lebih suka mengatakan makruh terhadap persoalan yang belum diyakini keharamannya, atau ada sejenis kesamaran, atau ada ikhtilaf. Ibnu Rojab menyatakan;
وقد ذكرنا فيما تقدم عن العلماء الورعين كأحمد ومالك توقيا إطلاق لفظ الحرام على ما لم يتيقن تحريمه ما فيه نوع شبهة أو اختلاف وقال النخعي كانوا يكرهون أشياء لا يحرمونها وقال ابن عون
“Telah kami sebutkan sebelumnya ulama-ulama wara’ seperti Ahmad dan Malik yang menjauhi memvonis dengan lafadz haram terhadap sesuatu yang tidak diyakini keharamannya, selama di dalamnya masih ada sejenis kesamaran atau ikhtilaf. An-Nakho’iy berkata: mereka memakruhkan sesuatu, tidak mengharamkannya. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Hlm 280)
Dari sini jelaslah, bahwa menentukan status haram haruslah hati-hati. Memvonis haram hanya karena Nabi ﷺ tidak pernah melakukan dikhawatirkan termasuk kekurang hati-hatian yang bertentangan dengan sifat wara’. Dikhawatirkan pula sikap demikian tercakup dalam kandungan ayat yang mencela orang yang mengharamkan yang dihalalkan Allah atau sebaliknya. Allah berfirman;
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.” (An-Nahl; 116)
Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah ?” (Yunus; 59)
Sampai titik ini bisa dilanjutkan, jika apa yang tidak dilakukan Rasulullah ﷺ saja tidak bisa langsung difahami sebagai haram, maka apa yang tidak dilakukan Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan ulama-ulama salaf lebih utama untuk tidak difahami sebagai haram apalagi menjadi dalil. Hal itu dikarenakan apa yang tidak dilakukan mereka lebih banyak lagi faktornya sehingga kemungkinan maknanya juga semakin banyak. Apalagi perbuatan selain Nabi ﷺ bukanlah menjadi dalil, sehingga tidak bisa dibahas dalam diskusi hukum syara’.
Dikutip dari artikel lama saya di sini
2 Comments
Khoirul
Jazakallah ustadz sangat mencerahkan
Admin
alhamdulillah