Oleh Ust. Muafa
Membayar zakat fitri (kaum muslimin Indonesia banyak yang menyebutnya zakat fitrah/pitrah) adalah dengan qut (makanan pokok) yang biasa dikonsumsi di tempat masing-masing.
Dasar ketentuan ini adalah hadis Nabi yang menunjukkan bahwa beliau memerintahkan kaum muslimin untuk membayar zakat fitri dengan tamr (kurma) dan sya’ir (gandum).
Bukhari meriwayatkan:
Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata: ‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sho’ kurma atau sho’ gandum, (wajib) bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar, dari kaum Muslimin. Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat (‘Ied) ‘” (Al-Bukhari, 1987: 370).
Tamr (kurma) dan sya’ir (gandum) maknanya adalah qut (makanan pokok) sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm:
Artinya: “Karena mayoritas makanan pokok yang ada di zaman Nabi di Madinah adalah kurma. Adapun orang yang memakan jewawut jumlahnya sedikit” (Asy-Syafi’i, 1990: 75).
Artinya: “Jika ada suatu kaum yang memakan jagung atau dukhn atau sult atau beras atau biji apa pun yang ada zakatnya, maka mereka boleh mengeluarkan zakat darinya. Karena Rasulullah ketika mewajibkan zakat fitri dari makanan dan beliau menyebut jewawut dan kurma, maka kita memahaminya bahwa beliau memaksudkan qut atau makanan pokok” (Asy-Syafi’i, 1990: 75).
Tidak bisa dikatakan bahwa kata tho’am (makanan) pada hadis Abu Sa’id Al-Khudri tidak dapat dimaknai makanan secara umum karena sudah ada bayan tafshil (keterangan terperinci) pada hadis-hadis yang lain. Tidak bisa dikatakan demikian karena dua alasan.
Pertama; bayan tafshil (keterangan terperinci) dalam hadis Nabi sifatnya tidak membatasi (hashr) tetapi hanya memberi contoh (dzikrun ‘ala sabilil mitsal).
Kedua; Ketika Rasulullah menyebut kurma dan gandum, maka sahabat langsung memahami qut (makanan pokok), sehingga mereka mengeluarkan zakat fitri bukan hanya kurma dan gandum, tetapi juga zabib (kismis) dan aqith (keju). Misalnya bisa dilihat dalam hadis berikut:
Artinya: “Dari ‘Iyadh bin ‘Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarhi Al-‘Amiriy bahwa dia mendengar Abu Sa’id Al-Khudriy berkata, ‘Kami mengeluarkan zakat fitri satu sho’ dari makanan atau satu sho’ gandum atau satu sho’ kurma atau satu sho’ keju (mentega) atau satu kismis (anggur kering)’” (Al-Bukhari, 1987: 376).
Juga riwayat Ibnu Umar;
Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata, ‘Dahulu orang-orang mengeluarkan zakat fitri di zaman Nabi sebesar satu sho’ gandum, kurma, atau sejenis gandum -yang berwarna putih tak berkulit- atau anggur kering’” (An-Nasa’i, 1986: 329).
Abu Sa’id sendiri menegaskan bahwa alasan para sahabat mengeluarkan berbagai macam makanan untuk membayar zakat fitri di zaman itu adalah karena berbagai macam makanan itu menjadi makanan pokok para sahabat.
Artinya: “Dari Abu Sa’id Al Khudriy, dia berkata, ‘Pada zaman Nabi kami mengeluarkan (zakat fitri) pada hari Raya ‘Iedul fitri satu sho’ dari makanan.’ Dan berkata Abu Sa’id, ‘Dan saat itu makanan kami adalah gandum, kismis, keju atau kurma’” (Al-Bukhari, 1987: 383).
Itu semua menunjukkan bahwa para sahabat memahami gandum dan kurma yang disebutkan Nabi itu maknanya adalah qut (makanan pokok). Jadi, tho’am (makanan) yang disebut Abu Sa’id Al-Khudri bermakna qut (makanan pokok). Oleh karena itu, lafaz tho’am (makanan) di situ tidak benar jika dipahami sebagai lafaz mujmal (global) yang kemudian dirinci (ditafshil) secara hashr (pembatasan) oleh hadis yang lain, yaitu lafaz tamr (kurma) dan syair (gandum).
Lagipula, lafaz tho’am (makanan) adalah lafaz Abu Said Al-Khudri, bukan lafaz Rasulullah. Artinya, lafaz itu adalah hasil pemahaman (ma’qul) Abu Said Al-Khudri berdasarkan perintah Rasulullah. Hubungan mujmal-mubayyan/mujmal-mufasshol hanya bisa diterima jika dua lafaz yang dipersandingkan adalah setara dari sisi kekuatan wahyu, yaitu sama-sama berasal dari sumber syara’ (Allah dan Rasul-Nya).
Patut diketahui bahwa yang memahami sabda Nabi sebagai qut (makanan pokok) bukan hanya Abu Said Al-Khudri, tetapi semua sahabat. Buktinya, beliau memakai lafaz “kunna” (kami). Lafaz kunna” (kami) dalam riwayat tersebut adalah para sahabat.
Artinya: “Dari ‘Iyadh bin ‘Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarh Al-‘Amiriy bahwa dia mendengar Abu Sa’id Al-Khudriy berkata: ‘Kami mengeluarkan zakat fitri satu sho’ makanan atau satu sho’ gandum atau satu sho’ kurma atau satu sho’ dari keju atau satu kismis (anggur kering)’” (Al-Bukhari, 1987: 376).
Artinya: “’Kami membayarnya,’ yakni zakat fitri, ucapan beliau pada zaman Nabi, ini hukumnya adalah marfu’ karena mengidhofahkan pada zaman Nabi. Jadi, ada kesan bahwasanya Nabi mengetahui hal tersebut dan mendiamkannya (yaitu membayar zakat fitri dengan kurma, gandum, kismis dan keju). Apalagi bentuk seperti ini jelas diletakkan di dekat beliau dan dikumpulkan dengan perintah beliau. Beliaulah yang memerintahkan untuk mengambil zakat fitri dan membagikannya” (Al-‘Asqolani, 1959: 373).
Ada sebelas argumentasi lain yang menguatkan keharusan membayar zakat fitri dengan uang (Rozikin, 2016: 125-154). Saya juga telah menulis empat belas bantahan terhadap pendapat yang mengatakan bolehnya membayar zakat fitri dengan uang (Rozikin, 2016: 155-260)
Hanya saja, tidak boleh merendahkan atau mengejek pendapat kaum muslimin yang mengatakan boleh membayar zakat dengan uang karena pendapat tersebut adalah fatwa ulama-ulama besar seperti Al-Hasan Al-Bishri, Umar bin Abdul Aziz, Sufyan Ats-Tsauri, Bukhari, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Abu Ja’far Ath-Thohawi, As-Sarokhsi, Al-Marghinani, Az-Zaila’i, Al-Kasani, dan lain-lain. Bagi kaum muslimin yang memiliki keyakinan ini, mereka harus dihormati seperti penghormatan terhadap pendapat-pendapat fikih yang mengandung ikhtilaf yang lain.
Pendapat yang mengatakan bahwa membayar zakat fitrah harus dengan makanan pokok adalah fatwa Ibnu Umar, Qosim, Salim, Urwah, Atho’, Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, Al-Mardawi, Al-Husaini, Abu Ishaq Asy-Syirozi, dan lain-lain. Ini adalah pendapat jumhur.
Referensi Rozikin, Mokhamad Rohma. 2016. Membayar Zakat Fitrah dengan Uang, Bolehkah?. Malang: UB Press