Oleh: Ust. Muafa
Dalam mengajarkan ilmu fikih, Asy-Syafi’i tidak hanya menyampaikan hasil jadi ijtihadnya, tetapi juga menyajikan metode yang mengantarkan pada ijtihad tersebut.
Oleh karena itu, karya Asy-Syafi’i bukan hanya berisi pembahasan hasil jadi hukum fikih seperti kitab Al-Hujjah dan Al-Umm, tetapi juga karya yang terkait dengan sejumlah rumusan ushul fikih yang menjadi aspek epistemologis untuk menggali hukum fikih semacam kitab Ar-Risalah versi awal yang ditulis di Baghdad maupun Ar-Risalah versi revisi yang ditulis di Mesir.
Asy-Syafi’i bukan hanya memberi ikan, tetapi juga jala dan pancing.
Dengan warisan metodologi ilmu fikih yang jelas seperti itu, wajar jika murid-murid Asy-Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah pada masa selanjutnya sanggup memecahkan persoalan-persoalan baru di masyarakat -yang belum pernah terjadi dan dibahas Asy-Syafi’i- dengan memakai metode istinbath Asy-Syafi’i.
Tidak heran, hanya dalam tempo kira-kira kurang dari 300 tahun semenjak wafatnya sang Imam, sejumlah ulama syafi’iyyah telah berhasil mengkodifikasikan variasi ijtihad madzhab dengan tingkat kedalaman dan kekayaan yang luar biasa. Kira-kira abad 5H lahirlah karya-karya besar yang menghimpun hampir semua wujuh (ijtihad-ijtihad madzhab) dengan kedua alirannya (Irak dan Khurasan) seperti Nihayatu Al-Mathlab (نهاية المطلب) karangan Al-Juwaini, Al-Hawi Al-Kabir (الحاوي الكبير) karangan Al-Mawardi, Bahru Al-Madzhab (بحر المذهب) karangan Ar-Ruyani dan lain-lain.
Hanya saja, untuk mengklaim pendapat madzhab Asy-Syafi’i dengan bertumpu pada kitab-kitab tersebut adalah tindakan yang tidak bijak. Hal itu dikarenakan para mujtahid madzhab syafi’iyyah tidak satu kata dalam menghasilkan satu produk ijtihad. Metodenya bisa sama, tetapi hasil akhirnya ternyata bisa beda. Riwayat ijtihad Asy-Syafi’i sendiri juga ditransmisikan tidak satu suara ketika membahas satu masalah tertentu. Ada muridnya yang meriwayatkan Asy-Syafi’i berpendapat A, sementara yang lainnya meriwayatkan berpendapat B. Hal ini menimbulkan problem bagi para awam yang memutuskan bermadzhab Asy-Syafi’i dan ingin memegang pendapat yang mu’tamad (resmi/sah). Ia akan bingung, “sebenarnya yang mana pendapat Asy-Syafi’i itu?”
Melihat problem madzhab seperti ini, maka bangkitlah Ar-Rofi’i (wafat 623 H) untuk melakukan penyelidikan dan penelitian besar-besaran. Targetnya adalah menemukan klaim yang sah bahwa sebuah ijtihad bisa dinisbatkan kepada Asy-Syafi’i atau sesuai dengan ushul fikih Asy-Syafi’i. Dari tangan beliau lahirlah dua kitab penting, yaitu Al-Muharror (المحرر) dan Al-Fathu Al-‘Aziz (الفتح العزيز) (disebut juga Asy-Syarhu Al-Kabir (الشرح الكبير).
Tetapi pekerjaan Ar-Rofi’i belum rampung.
Apa yang belum selesai dari Ar-Rofi’i dilanjutkan dan disempurnakan oleh An-Nawawi (wafat 676 H). Beliau melakukan penelitian serius terhadap kitab-kitab ulama syafi’iyyah mutaqoddimin, termasuk mengkaji karya-karya Ar-Rofi’i. Akhirnya, dari penelitian ini lahirlah karya-karya yang setiap karya itu dari sisi mutu dan bobot ilmiahnya setara dengan disertasi doktoral di zaman sekarang. Lahirlah kitab-kitab bermutu seperti At-Tahqiq, Al-Majmu’, At-Tanqih, Roudhotu Ath-Tholibin, Minhaju Ath-Tholibin dan lain-lain.
Dua pendekar Syafi’iyyah ini akhirnya menjadi tumpuan ulama syafi’iyyah generasi selanjutnya jika ingin mengetahui mana pendapat Asy-Syafi’i yang valid.
Sebagai penghormatan atas jasa besar beliau berdua, mereka digelari dengan sebutan Asy-Syaikhan (الشيخان) dalam madzhab Asy-Syafi’i. Gelar yang nampaknya jauh lebih berkelas daripada gelar profesor di zaman sekarang.
Ar-Romli berkata,
مِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّ الشَّيْخَيْنِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ قَدْ اجْتَهَدَا فِي تَحْرِيرِ الْمَذْهَبِ غَايَةَ الِاجْتِهَادِ وَلِهَذَا كَانَتْ عِنَايَاتُ الْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ، وَإِشَارَاتُ مَنْ سَبَقَنَا مِنْ الْأَئِمَّةِ الْمُحَقِّقِينَ مُتَوَجِّهَةً إلَى تَحْقِيقِ مَا عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ وَالْأَخْذِ بِمَا صَحَّحَاهُ بِالْقَبُولِ وَالْإِذْعَانِ مُؤَدِّينَ ذَلِكَ بِالدَّلَائِلِ وَالْبُرْهَانِ
Artinya : “…telah diketahui bahwa syaikhan (Ar-Rofi’i dan An-Nawawi) rahimahumallah telah bersungguh-sungguh dalam melakukan tahrir madzhab (menyeleksi ijtihad ulama syafi’iyyah agar sah dinisbatkan pada madzhab syafi’i) dengan kesungguhan luar biasa. Oleh karena itu, perhatian para ulama sejati dan rekomendasi para imam-imam muhaqqiq generasi sebelum kita diarahkan untuk meneliti apa yang disepakati syaikhan dan mengambil apa yang disahihkan oleh mereka berdua dengan menerima dan tunduk, seraya menjelaskan dalil-dalil dan argumentasinya…”
Rahimahumallahu rahmatan wasi’ah.