Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Di antara kisah menarik di masa Bani Israel adalah dikisahkan ada seorang nabi yang diperintahkan oleh Allah untuk menikahi seorang pelacur!
Nama nabi tersebut adalah nabi HOSEA.
Jika benar kisah tersebut, maka ini menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah sehingga seorang nabi yang suci pun dipasangkan Allah dengan seorang pelacur yang berzina berkali-kali untuk hikmah yang dikehendaki-Nya!
Pendosa sekalipun diberi contoh, bahwa jika Allah berkehendak, maka bisa saja dinikahkan dengan orang saleh kekasih-Nya. Supaya mereka tetap bersemangat dan optimis menjadi baik, berharap suami baik, yang membimbing mereka lalu bertobat dan menjadi wanita salihah.
Sekaligus menunjukkan betapa remehnya urusan duniawi. Begitu remeh dan kecil hingga seorang nabi yang mulia diberi jenis pernikahan yang di mata umumnya manusia adalah pernikahan yang tidak pantas dan menjijikkan.
***
CATATAN
- Kisah dalam Bibel menunjukkan bahwa hikmah pernikahan Nabi Hosea dengan pelacur adalah untuk menunjukkan besarnya rahmat dan ampunan Allah kepada Bani Israel. Waktu itu Bani Israel banyak melakukan penyimpangan, maksiat, kefasikan dan kemusyrikan. Jadi Bani Israel diumpamakan seperti wanita pelacur. Tapi kasih sayang Allah kepada hamba-Nya sangat luas. Tetap memberi kesempatan mereka untuk bertobat dan memberi harapan hamba-Nya sebejat apa pun kondisi mereka. Seperti si pelacur yang masih diberi harapan untuk bertobat jika mendengarkan nasihat suaminya, maka Allah juga memberi kesempatan kepada Bani Israel untuk bertobat jika mereka mau mendengarkan nasihat dari-Nya melalui wahyu yang diturunkan kepada nabi-Nya.
- Dalam mazhab al-Syāfi‘ī, menikahi pelacur atau penzina hukumnya tetap sah. Hanya saja orang fasik tidak sekufu dengan afif, karena itu walaupun sah, status pernikahannya makruh.
- Kisah ini tercantum dalam Bibel. tidak ada dalam Al-Qur’an maupun hadis sahih. Jika saya tidak berani menegaskan kebenarannya. hanya pakai sighat tamridh saja. Tapi mendustakan tegas juga tidak berani karena khawatir jika itu benar maka jatuh pada hukum mendustakan wahyu.
- Ajaran Nabi ﷺ terkait isrā’iliyyat yang mana kita boleh menimba informasi darinya, tapi jangan dibenarkan dan jangan didustakan saya pahami perintah untuk bersikap kritis.
Yang jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis maka wajib ditolak karena bisa diduga itu hasil fabrikasi atau interpolasi sarjana-sarjana Bibel dalam kurun waktu yang panjang.
Tapi informasi yang tidak bertentangan maka tidak mengapa dipakai untuk menajamkan pemahaman dan menguatkan prinsip yang sudah sahih dalam din. Mirip seperti posisi hadis daif yang tidak terlalu daif yang dipakai untuk fadail amal.
Dalam hal ini pegangan saya dalam menyaring adalah dalil lugas dalam Al-Qur’an (yang terkonfirmasi tafsir) atau hadis (yang terkonfirmasi syarah) atau pernyataan lugas ulama besar yang tidak muhtamal.
Terus terang pendapat-pendapat kristolog tidak semua saya telan mentah.
Misalnya pengingkaran terhadap kisah Nabi Dāwūd dengan istri Uria. Menolak total āslul qiṣṣah saya tidak berani, karena khawatir masuk mendustakan apa yang diturunkan Allah di masa Bani israel. Sebab dalam Al-Qur’an ada ayat qat’i yang mengisahkan ujian Nabi Dāwūd dengan perumpamaan memakai 99 kambing dan masih minta satu kambing. Walaupun dalam ayat tidak lugas menyebut itu terkait dengan keinginan Nabi Dāwūd menggenapkan jumlah istrinya menjadi 100, akan tetapi penyesalan dahsyat Nabi Dāwūd hingga tersungkur sujud dan bertobat dengan taubatan nasuha saya khawatirkan membenarkan adanya “peristiwa besar” yang menjadi penyebabnya.
Saya setuju ada kemungkinan kisah dengan istri Uria ini agak dibombastisasi dalam beberapa sisi. Hanya saja saya khawatir mendustakan kisah itu secara keseluruhan adalah sikap yang keliru. Apalagi dalam tafsir banyak mufassir juga mengutip kisah tersebut saat menafsirkannya. Andai itu kisah dusta, seharusnya mereka mengomentari bahwa ini adalah jenis dusta terhadap nabi Allah.
Contoh koreksi ulama yang saya ambil:
Bibel menyebut bahwa yang menemukan bayi Nabi Musa adalah putri Firaun. Tapi Al-Qur’an menyebut istri Firaun lah yang menemukan. Lalu Ibnu Katsīr menegaskan Bibel salah. Nah yang seperti ini biasanya saya ambil untuk mengoreksi Bibel.
***
Adapun pernikahan Nabi Hosea dengan pelacur, maka saya masih belum tahu ulama-ulama ahli perbandingan agama di masa lalu yang menegaskan kedustaannya.
Tulisan syaikh Rahmatullah al-Hindi dalam izharul haqq yang memustahilkan pernikahan tersebut adalah jenis pembahasan aqli memakai logika dan komparasi teks Bibel, bukan dengan dalil Al-Qur’an, hadis atau kutipan ulama.
Sebab yang diperintahkan Allah adalah menikah, bukan berzina. Jadi tidak ada pertentangannya dengan dalil. Malahan ayat qat’i dalam dalam Al-Qur’an menunjukkan ada yang lebih dahsyat dari itu, yakni nabi Luth menikah dengan wanita kafir. Dosa kekafiran tentu jauh lebih berat daripada dosa perzinaan. Oleh karena itu, saya belum tenteram jika disimpulkan ada pertentangan dengan dalil dalam hal ini. Masih terasya isykal jika menganggap istri kafir asal tidak berzina lebih baik daripada istri mukmin yang berzina.
Ada pernyataan lugas Ibnu Katsir yang menyatakan bahwa istri nabi-nabi terjaga dari zina saat menafsirkan pengkhianatan istri nabi Nuh dan nabi Luth. Hanya saja ini belum cukup membatalkan kasus kisah pernikahan nabi Hosea karena mungkin dipahami itu adalah bentuk pengecualian khusus. Akal kita mungklin menolak Allah memerintahkan seorang nabi menyembelih anaknya sendiri tanpa alasan yang jelas. Tapi karena ada ayat lugas dalam Al-Qur’an maka kita mengimaninya. Nah saya khawatir kisah Nabi Hosea jenis ini. Yakni perintah Allah yang sifatnya khusus itu kita mustahilkan secara akal, padahal Allah punya hikmah besar yang hendak diajarkan kepada hamba-Nya.
Hanya saja saya tidak bersikukuh bahwa kisah pernikahan Nabi Hosea dengan Gomer itu pasti benar. Sebab, memang validitas Bibel secara umum tidak seperti Al-Qur’an dan hadis.
Jadi, posisi saya tidak meyakini kisah pernikahan Nabi Hosea dengan pelacur, hanya saja memberi peluang jika memang itu benar haqq terjadi, maka di antara hikmahnya adalah apa yang saya tulis dalam catatan di atas.
Wallahua‘lam.
25 Agustus 2024 / 20 Safar 1446 pada 14.00