Dijawab oleh Ust. Muafa
Pertanyaan
Assalamu’alaikum.pak ustadz saya mau tanya.dalam madhab safi’i melaksnakan solat jum’at harus ada 40 jemaah,sedangkan ada hadis,nabi pernah melaksanakan jum’at cman 12, bagai mana kalau kta melaksnakan jum’at 12 jemaah?.jazakallahu khairan jaza’ ats jawbn ustdz.
moch agus,ciawi,tasikmalaya.HP. +628122291xxxx
Jawaban
Wa’alaikumussalam Warahmatullah.
Shalat Jum’at wajib dilaksanakan secara berjama’ah. Dalilnya adalah Hadis Nabi;
Artinya : Dari Thariq bin Syihab dari Nabi ﷺ beliau bersabda; (Shalat) Jum’at adalah haq yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah. (H.R.Abu Dawud)
Lafadz فِي جَمَاعَةٍ (secara berjama’ah) pada hadis di atas cukup lugas menunjukkan bahwa diantara syarat sah Shalat Jum’at adalah harus dilaksanakan secara berjama’ah. Jika Shalat Jum’at dilakukan secara individu, maka Shalat Jum’at tersebut tidak sah.
Namun, ketika dikatakan berjama’ah, maka hal ini tidak berarti harus terealisasi jumlah tertentu. Hal itu dikarenakan tidak ada Nash yang memerintahkan jumlah tertentu baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat maupun Qiyas. Karena itu jumlah berapapun asalkan terealisasi sifat Jama’ah secara bahasa sudah cukup untuk membuat Shalat Jum’at dipandang sah. Dengan demikian, peserta Shalat Jum’at berjumlah 100 orang sah, 50 orang sah, 10 orang sah, 5 orang sah dst. Hanya saja, disyaratkan jumlah minimalnya 3 orang, karena hanya dengan jumlah 3 orang saja sebuah kumpulan bisa disebut Jama’ah secara bahasa. Jumlah 2 orang tidak cukup, karena jumlah 2 bukanlah Jama’ah secara bahasa.
Bukankah dua orang yang salat 5 waktu atau salat sunnah sudah bisa dikatakan berjamaah? Satu orang menjadi imam dan satu orang menjadi makmum?
Jawabannya, keabsahan Shalat Jama’ah dengan makmum satu orang tidak bisa dijadikan dalil bahwa Jama’ah itu minimal 2 orang, karena penyebutan Jama’ah dua orang pada Shalat lima waktu, atau dua orang pada Shalat sunnah didasarkan pada Nash Hadis, bukan pengertian secara bahasa. Jadi penyebutan Jama’ah pada kasus Shalat Jama’ah dengan makmum satu orang pada Shalat 5 waktu atau Shalat sunnah adalah bentuk Takhsish (pengkhususan) pengertian Jama’ah secara bahasa.
Lafadz Jama’ah dalam Hadis dimaknai secara bahasa, karena tidak ada makna Syara’ terhadap lafadz Jama’ah yang tepat dipakai dalam konteks ini, dan tidak ada pula makna istilah (urf). Berdasarkan kaidah Ushul Fikih, lafadz dalam Nash, jika tidak bisa dimaknai dengan makna Syar’i, dan tidak bisa dimaknai pula dengan makna Urfi/Isthilahi, maka lafadz Nash tersebut wajib dimaknai secara bahasa. Oleh karena lafadz Jama’ah dalam Hadis tersebut tidak bisa dimaknai dengan makna Syar’i atau Urfi, maka Hadis tersebut harus dimaknai dengan makna Jama’ah secara bahasa.
Makna Jama’ah secara bahasa adalah jumlah 3 ke atas. Dengan demikian, Shalat Jum’at wajib ditunaikan secara Jama’ah dengan jumlah minimal peserta 3 ke atas.
Adapun riwayat yang menyatakan jumlah tertentu, yaitu 40 orang agar Shalat Jum’at dipandang sah, misalnya riwayat yang berbunyi;
Artinya : “Dari Abdurrahman Bin Ka’b Bin Malik beliau berkata; aku adalah penuntun jalan ayahku pada saat beliau menjadi buta. Jika aku membawa beliau untuk Shalat Jum’at lalu beliau mendengar Adzan maka beliau memintakan ampun untuk Abu Umamah As’ad bin Zurarah. Maka selama beberapa saat aku mendengar hal itu dari beliau, kemudian aku bergumam; sesungguhnya sebuah kelemahan jika aku tidak menanyakan hal ini kepada beliau. Maka aku keluar membawa beliau sebagaimana biasanya. Tatkala beliau mendengar Adzan Jum’at beliau memintakan ampun untuknya. Maka aku bertanya; Wahai ayah, kenapa engkau beristighfar untuk As’ad bin Zurarah setiap kali engkau mendengar Adzan Jum’at? Beliau menjawab; wahai putraku, As’ad adalah orang yang pertama kali menyelenggarakan Shalat Jum’at bersama kami sebelum kedatangn Rasulullah ﷺ pada sebuah tanah rendah dari tanah tak berpasir milik Bani Bayadhoh di kawasan tempat berair yang bernama Al- Khodhomat. Aku bertanya; berapa jumlah kalian waktu itu? Beliau menjawab; empat puluh lelaki.
Maka jumlah 40 yang disebutkan dalah riwayat di atas tidak lebih merupakan;
وَاقِعَةُ عَيْنٍ (peristiwa tertentu yg bersifat kebetulan)
Jumlah 40 orang itu tidak bisa dijadikan syarat untuk menentukan keabsahan Shalat Jum’at, karena sama sekali tidak ada lafadz yang menunjukkan bahwa jumlah 40 itu adalah syarat keabsahan dan menjadi syarat jumlah minimal. Hal ini sama saja dengan misalnya riwayat Rasulullah ﷺ Shalat Dhuhur secara berjamaah dengan Makmum sebanyak 30, lalu shalat Ashar dengan makmum 20, lalu Shalat Maghrib dengan Makmum 50. Kita tidak bisa mengatakan bahwa syarat sah Jama’ah Dhuhur jumlah minimal makmumnya 30, Ashar 20, dan Maghrib, 50 orang. Semua itu adalah peristiwa tertentu yang bersifat kebetulan yang tidak dimaksudkan sebagai syarat pengikat keabsahan sebuah ibadah.
Jika jumlah orang dijadikan syarat keabsahan sebuah hukum syara, maka hal itu harus dinyatakan dalil dalam bentuk syarat, bukan kejadian yag bersifat kebetulan. Misalnya syarat saksi zina minimal 4 orang, syarat saksi melihat hilal minimal 1 orang, syarat saksi nikah minimal 2 orang dst…semua jumlah dalam saksi ini dinyatakan dengan jelas dalam Nash dalam bentuk syarat yang mengikat, bukan kejadian yang diriwayatkan secara kebetulan.
Adapun hadis Jabir yang berbunyi
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِى كُلِّ ثَلاَثَةٍ إِمَامًا ، وَفِى كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ جُمُعَةٌ وَفِطْرٌ وَأَضْحًى
Artinya : “Dari Jabir beliau berkata; Telah berlaku Sunnah bahwa setiap tiga (orang diangkat) seorang Imam, dan setiap empat puluh (orang) ke atas (dilaksanakan) shalat Jum’at, Idul Fithri, dan Idul Adha”
Maka hadis ini Dhoif (lemah) karena ada seorang perawi yang bernama Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman Al-Qurosyi. Al-Baihaqy mengatakan bahwa hadis seperti itu tidak bisa dijadikan sebagai Hujjah.
Lagipula, riwayat yang menyebutkan jumlah 40 itu terjadi sebelum Shalat Juma’t diwajibkan. Karena Shalat Jum’at baru diwajibkan setelah turunnya Surat Jumu’ah. Oleh karena riwayat yang menyebut 40 orang tersebut terjadi sebelum diwajibkannya Shalat Jum’at, maka riwayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar mewajibkan jumlah tertentu untuk menentukan keabsahan Shalat Jum’at. Tidak boleh menjadikan sesuatu yang tidak wajib sebagai dasar kewajiban yang wajib, karena hukum baru selalu menasakh (menghapus) semua hukum lama.
Termasuk pula riwayat yang dijadikan dalil bahwa peserta Shalat Jum’at minimal 12 orang seperti riwayat berikut;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ قَدِمَتْ عِيرٌ إِلَى الْمَدِينَةِ فَابْتَدَرَهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى لَمْ يَبْقَ مَعَهُ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ قَالَ وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ
{ وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا }
Artinya : Dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Ketika Nabi ﷺ berdiri menyampaikan khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba datanglah suatu Kafilah dagang ke Madinah, maka para sahabat Rasulullah ﷺ bergegas mendatanginya hingga tidak tersisa lagi orang yang bersamanya kecuali dua belas orang. Di antara mereka ada Abu Bakar dan Umar. Maka turunlah ayat ini: “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya.,.” (H.R.Muslim)
jumlah 12 yang disebutkan dalam riwayat di atas juga tidak lebih; وَاقِعَةُ عَيْنٍ (peristiwa tertentu yg bersifat kebetulan) sehingga tidak bisa dijadikan syarat untuk menentukan keabsahan Shalat Jum’at, karena sama sekali tidak ada lafadz yang menunjukkan bahwa jumlah 12 itu adalah syarat keabsahan dan menjadi syarat jumlah minimal.
Jadi, tidak ada ketentuan jumlah tertentu yang menjadi syarat keabsahan shalat Jumat. Syarat yang jelas berdasarkan dalil terkait jumlah hanyalah syarat berjamaah, dan secara bahasa syarat tersebut terealisasi dengan jumlah minimal tiga orang. Namun pendapat jumlah minimal harus 40 orang adalah pendapat yang Islami, yang dikemukakan Mujtahid-Mujtahid berkelas seperti Assyafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya. Demikian pula pendapat minimal 12 orang seperti yang dianut madzhab Maliki. Karena itu sah secara Syar’i jika ada diantara kaum muslimin mengambil pendapat ini dalam kapasitasnya sebagai salah satu Ijtihad yang Syar’i. Wallahua’lam.
Disalin dari artikel di blog lama saya disini