Oleh Ustadz Muafa
29 Jumada At-Tsaniyah 1438
Tahdzir (mengingatkan umat bahwa seseorang berbahaya secara dien) yang syar’i itu adalah tahdzir yang dicontohkan Nabi ﷺ atau yang diisyaratkan beliau, misalnya:
a. Mentahdzir bahaya Al-Masih Dajjal
b. Mentahdzir nabi-nabi palsu/dajjal-dajjal kecil
c. Mentahdzir yang jelas-jelas ahlul bid’ah seperti syi’ah, Islam Liberal, dll.
Tokoh-tokoh seperti itu yang berbahaya bagi umat Islam. Orang awam harus diarahkan untuk menghindarinya, tidak mendengarkan ucapannya, dan tidak mengambil pemikirannya. Jangan sampai syariat tahdzir dipakai sebagai teknik “mengkapling” jamaah, hanya karena perbedaan furu’iyyah.
Pada tiap komunitas, teknik mengkapling jama’ah ini bisa saja memakai sejumlah istilah seperti tahdzir, muqotho’ah, ilmu harus manqul, mengambil ilmu harus dari yang bersanad, belajarlah pada ustadz ideologis saja, dll. Kalau seperti ini, bisa jadi dia merasa melakukan tahdzir syar’i padahal sedang melakukan TAHRISY (merusak ukhuwwah islamiyyah di kalangan sesama hamba beriman). Kepentingan pribadi/kelompok/golongan yang dibalut dalil.
Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan bahaya tahrisy ini sejak dulu. Muslim meriwayatkan:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ
“Dari Jabir beliau berkata, aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: Sesungguhnya syetan telah berputus asa disembah orang-orang yang salat di jazirah Arab. Tetapi dia (belum berputus asa) untuk menimbulkan tahrisy di antara mereka.”
Jika ada ulama-ulama besar di masa lalu yang nampak kesalihannya, terbukti ketakwaannya, manfaat ilmunya, dan telah disaksikan orang-orang salih betapa mereka tulus memberi nashihah pada umat, kemudian didapati mereka saling mentahdzir, misalnya apa yang terjadi antara As-Suyuthi dengan As-Sakhowi, Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dengan Bukhari, As-Subky dengan Ibnu Taimiyyah dan semisalnya maka pandanglah itu sebagai PERSELISIHAN PRIBADI yang tidak perlu dibesar-besarkan. Tidak ada manusia yang ma’shum selain Nabi dan Rasul.
Ilmu mereka tetap kita manfaatkan, kejadian perselisihan kita lipat dan tidak usah diriwayatkan, karena kata adz-dzahabi, tahdzir yang semacam itu seringnya muncul karena ‘adawah (permusuhan), fanatisme madzhab, atau hasad (kedengkian). Jadi, peristiwa dikalangan para ulama mulia itu jangan malah dijadikan dalil untuk membenarkan tahdzir secara membuta dan serampangan. Adz-Dzahabi berkata:
كلام الأقران بعضهم في بعض لا يعبأ به، لا سيما إذا لاح لك أنه لعداوة أو لمذهب أو لحسد، ما ينجو منه إلا من عصم الله
“Ucapan (mencela) orang yang hidup semasa satu sama lain tidak perlu dianggap, apalagi jika jelas bagimu (celaan itu muncul) karena permusuhan, (membela) madzhab, atau hasad (kedengkian). Tidak ada yang selamat darinya kecuali yang dijaga Allah..” (Mizan Al-I’tidal juz 1, hlm 111).