Oleh Ustadz Muafa
Kendati An-Nawawi bermadzhab Asy-Syafi’i dan dikenal sebagai pakar madzhab sampai digelai Sang Guru (syaikh), tetapi hal ini tidak menghalangi beliau untuk bersikap kritis. Sikap kritis ini di kalangan ulama adalah perwujudan rasa ketakwaan terhadap Allah. Oleh karena itu wajar jika dalam beberapa kasus, An-Nawawi berbeda pendapat dengan imamnya sendiri.
Hanya saja, oleh karena yang dikritisi An-Nawawi adalah seorang imam madzhab yang ilmunya sangat mendalam dan luas, maka tentu saja perbedaan-perbedaan ijtihad itu jumlahnya super sedikit jika dibandingkan dengan pendapat imam madzhab yang disepakati dan diikuti.
Berikut ini disajikan daftar persoalan fikih yang mana An-Nawawi berbeda dengan Asy-Syafi’i. Mudah-mudahan hal ini menginspirasi dalam hal kekritisan kajian fikih. Bukan sembarang kritis, tetapi kritis yang bertanggungjawab secara keilmuan dan bermartabat.
1. Memakan daging unta membatalkan wudhu menurut An-Nawawi, pendapat Asy-Syafi’i tidak membatalkan
2. Mengangkat tangan saat qunut subuh hukumnya sunnah menurut An-Nawawi, pendapat Asy-Syafi’i tidak sunnah
3. Memakai air musyammas untuk bersuci hukumnya tidak makruh menurut An-Nawawi, pendapat Asy-Syafi’i itu makruh
4. Bersiwak dalam keadaan berpuasa setelah zawal (tergelincir matahari setelah dhuhur) tidak makruh menurut An-Nawawi, pendapat Asy-Syafi’i itu makruh
5. Boleh menjamak salat karena sakit menurut An-Nawawi, pendapat Asy-Syafi’i itu tidak boleh
6. Jual beli dengan cara mu’athot (ijab kabulnya hanya perbuatan tanpa ucapan) sah menurut An-Nawawi, pendapat Asy-Syafi’i itu tidak sah
7. Muzaro’ah boleh menurut An-Nawawi, pendapat Asy-Syafi’i itu haram
.
Contoh-contoh di atas semuanya terekam dalam kitab beliau yang bernama Al-Majmu, yakni kitab yang beliau tulis untuk mensyarah kitab Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirozi (w.476 H)
Berikut ini teksnya;
Daging Unta Tidak Membatalkan Wudhu,
وَالْقَدِيمُ أَنَّهُ يَنْتَقِضُ وَهُوَ ضَعِيفٌ عِنْدَ الْأَصْحَابِ وَلَكِنَّهُ هُوَ الْقَوِيُّ أَوْ الصَّحِيحُ مِنْ حَيْثُ الدَّلِيلُ وَهُوَ الَّذِي أَعْتَقِدُ رُجْحَانَهُ
“(memakan daging unta) dalam pendapat qodim membatalkan wudhu. Ini adalah pendapat dhoif menurut ulama madzhab Asy-Syafi’i tetapi kuat atau sahih dari sisi dalil dan itulah yang aku yakini kerajihannya” (Al-Majmu’, juz 2 hlm 57)
.
Mengangkat Tangan Saat Qunut Subuh Hukumnya Sunnah,
“(mengangkat tangan saat qunut subuh) dalam pendapat yang kedua dianjurkan, dan inilah yang sahih menurut ulama madzhab Asy-Syafi’i dan menurut dalil…” (Al-Majmu’, juz 3 hlm 499)
.
Memakai Air Musyammas Tidak Makruh,
“..air musyammas, tidak ada dasarnya untuk dimakruhkan (untuk bersuci)…” (Al-Majmu’, juz 1 hlm 87)
.
Siwak Saat Puasa Tidak Makruh Setelah Zawal,
عَنْ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ أَنَّهُ لَمْ يَرَ بِالسِّوَاكِ لِلصَّائِمِ بَأْسًا أَوَّلَ النَّهَارِ وَآخِرَهُ وَهَذَا النَّقْلُ غَرِيبٌ وَإِنْ كَانَ قَوِيًّا مِنْ حَيْثُ الدَّلِيلُ
“…dari Asy-Syafi’i rahimahullah bahwasanya beliau memandang tidak mengapa bersiwak bagi orang puasa semenjak awal siang sampai akhirnya. Penukilan ini adalah gharib meskipun kuat dari sisi dalil…”(Al-Majmu’, juz 1 hlm 276)
.
Boleh Menjamak Salat Karena Sakit,
يجوز الْجَمْعُ بِعُذْرِ الْمَرَضِ وَالْوَحَلِ وَبِهِ قَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا مِنْهُمْ أَبُو سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ وَالْقَاضِي حُسَيْنٌ وَاسْتَحْسَنَهُ الرُّويَانِيُّ فِي الْحِلْيَةِ قُلْتُ وَهَذَا الْوَجْهُ قَوِيٌّ جِدًّا
“…Boleh menjamak salat karena udzur sakit dan lumpur. Ini adalah pendapat sebagian ulama madzhab Asy-Syafi’, di antaranya Abu Sulaiman Al-Khotthobi dan Al-Qodhi Husain. Ar-Ruyani juga menganggapnya baik dalam Al-Hilyah. Ini adalah ijtihad yang sangat kuat…” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 383)
.
Jual Beli Dengan Cara Mu’athot Sah;
المجموع شرح المهذب (9/ 163)
وَقَالَ الْمُتَوَلِّي وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَارُ لِلْفَتْوَى وَكَذَا قَالَهُ آخَرُونَ وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَارُ
(kebolehan jual beli mu’athot) “…kata Al-Mutawalli, ‘ini adalah pendapat terpilih untuk difatwakan. Ini juga pendapat ulama-ulama yang lain, dan ini juga pendapat terpilih (menurutku –An-Nawawi-) (Al-Majmu’, juz 9 hlm 163)
Muzaro’ah Hukumnya Boleh,
ويؤيد هذا تصريح رافع في هذا الحديث بجواز المزارعة على شئ معلوم مضمون
“ (kebolehan muzaro’ah) ini dikuatkan oleh pernyataan lugas Rofi’ dalam hadis ini terkait kebolehan muzaro’ah dengan (kompensasi) yang ma’lum (diketahui) dan dijamin” (Al-Majmu’, juz 14 hlm 419).