Oleh Ustadz Muafa
3 Dzul Qo’dah 1438 H
Orang secerdas apa pun, seluas apa pun ilmunya, sedalam apa pun pemikirannya, sebersih apa pun jiwanya, setenang apa pun pembawaanya, ada saat-saat tertentu di mana pikirannya diselimuti kabut, hati bagaikan air yang keruh dan susah berpikir jernih.
Saat-saat itu terjadi umumnya pada saat emosi mulai terlibat dalam berpikir dan mempertimbangkan. Yang saya maksud emosi di sini adalah perasaan seperti amarah, benci, cinta, harapan, ambisi, simpati, kecewa, dendam, takut, kuatir dan semisalnya.
Kadang susah berpikir jernih juga karena kurangnya informasi, pengetahuan dan pengalaman terkait perkara yang hendak diputuskan.
Sulit dalam situasi demikian untuk membuat keputusan yang akurat, tepat, matang dan bijaksana.
Barangkali di sinilah hikmah perintah bermusyawarah dan meminta pertimbangan.
Dalam meminta pertimbangan, tidak harus dan tidak selalu hal itu dilakukan kepada orang yang lebih berilmu dan lebih bijaksana. Kadang-kadang pertimbangan bijaksana tetap bisa muncul dari orang-orang yang kadar dien dan dunianya di bawah, namun bisa dipastikan beliau tulus memberi saran.
Karena itulah, shahabat-shahabat besar dengan segenap kedalaman ilmu dan pengalamannya tetap meminta musyawarah kepada orang-orang yang tulus di sekitarnya. Bahkan Rasulullah pun meminta pertimbangan istri-istrinya selain shahabat-shahabat dekatnya.
Inilah pentingnya musyawarah.
Jangan sampai karena merasa hebat, pintar, berpendidikan tinggi, bijak, dan sering dimintai nasihat, lalu enggan serta sombong untuk meminta pertimbangan kepada orang-orang yang tulus.
Terutama para wanita yang emosinya sering terlibat dalam mengambil keputusan.
{وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ} [الشورى: 38]
(orang-orang beriman itu) “…mereka memusyawarahkan urusan yang terjadi di antara mereka…” (Asy-Syuro: 38).