Oleh Ustadz Muafa
Wanita menangis apakah pasti terzalimi?
Tidak.
Wanita yang mengadu sambil menangis bisa jadi dia benar-benar terzalimi, bisa jadi justru dia yang zalim. Bukan hanya wanita, tetapi lelaki juga.
Seandainya setiap orang yang menangis dinilai sebagai pihak yang benar, tentu saudara Nabi Yusuf mestinya dianggap benar karena mereka pulang ke rumah sambil menangis melaporkan Nabi Yusuf dimakan serigala, padahal fakta menunjukkan mereka lah yang zalim.
Konon, kasus seperti ini pernah terjadi di masa Qodhi (hakim) yang bijaksana yaitu Qodhi Syuraih. Seorang wanita datang kepada Syuraih sambil menangis sampai membuat orang-orang iba karena yakin bahwa wanita itu dizalimi. Syuraih menyanggah, karena tangisan bukan bukti kebenaran. Karena Saudara Yusuf juga bisa menangis padahal mereka lah yang Zalim. As-Suyuthi menulis,
عَن الشّعبِيّ رَضِي الله عَنهُ قَالَ: جَاءَت امْرَأَة إِلَى شُرَيْح رَضِي الله عَنهُ تخاصم فِي شَيْء فَجعلت تبْكي فَقَالُوا: يَا أَبَا أُميَّة أما ترَاهَا تبْكي فَقَالَ: قد جَاءَ اخوة يُوسُف أباهم عشَاء يَبْكُونَ
“dari Asy-Sya’bi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Seorang wanita datang kepada Syuraih radhiyallahu ‘anhu mempersengketakan sesuatu. Wanita itu mulai menangis. Orang-orang berkata, ‘Hai Abu Umayyah (Syuraih), tidak kah engkau melihatnya menangis? Syuraih menjawab, ‘Saudara-saudara Yusuf (juga) mendatangi ayahnya di waktu Isya’ dalam keadaan menangis’” (Ad-Durru Al-Mantsur, juz 4 hlm 512).
Air mata tidak menunjukkan kebenaran.
Demikian yang ditegaskan oleh Ibnu Al-‘Arobi,
“Ibnu Al’Arobi berkata, ‘Ulama-ulama kami berkata, ‘Hal ini menunjukkan bahwa tangisan seseorang tidak menunjukkan kebenaran ucapannya karena ada kemungkinan itu dilakukan secara berpura-pura”” (At-Tahrir Wa At-Tanwir, juz 12 hlm 236).
Oleh karena itu, jika ada suatu kasus yang mana satu pihak mendeskripsikan kondisinya sambil menangis atau mencitrakan dirinya sebagai pihak yang menderita, sikap yang bijaksana adalah tidak lekas menilai. Perlu diketahui kebenarannya dengan tabayyun dan dicocokkan dengan realita. Adil itu tidak lekas memihak sebelum tahu fakta dari kedua belah pihak. Sifat hati-hati seperti ini adalah akhlak mulia yang dicintai Allah yang disebut Nabi dengan akhlak anat (الأناة).
Terutama dalam urusan rumah tangga.
Tidak bijak jika langsung “berpihak” kepada pihak yang “curhat”, padahal belum tahu kebenarannya. Hukum asal orang “curhat” pasti membela kepentingannya. Apalagi menilai sebuah rumah tangga dari penilaian pihak eksternal. Vonis dan citra yang dibangun pihak eksternal itu umumnya bias dan penuh kepentingan. Bisa terbit karena kedengkian, kebencian, kesenangan merusak rumah tangga orang, kecenderungan ingin mengatur karena merasa berkuasa dan merasa harus dihormati, dan lain-lain.
Penilaian paling adil jika ada sengketa dan persoalan rumah tangga (yang tidak bisa diselesaikan secara internal) adalah dengan mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak, baik secara langsung maupun melalui jubirnya. Dengan demikian, hak masing-masing pihak dalam memberikan penjelasan telah diberikan, sehingga akan kelihatan betul mana fakta dan mana opini. Penilaian, solusi dan keputusan hukum yang diberikan akan lebih dekat dengan keadilan.
Di zaman dulu, hal semacam itu biasa dilakukan dalam mahkamah Islam, atau majelis yang dipercaya suami-istri dan dipimpin seorang ulama, atau majelis keluarga dengan penengah dari wakil pihak suami dan wakil pihak istri.
***
Ini adalah untuk tangisan dalam kasus perselisihan.
Adapun tangisan kesedihan seorang istri di hadapan suaminya, maka yang dibutuhkan sebenarnya hanyalah pelukan lembut nan penuh empati. Sebuah pelukan yang memastikan bahwa sang istri masih dicintai, dilindungi, dihargai, dan disayangi. Pelukan yang memberi kepastian. Pelukan yang memberi ketenangan.
Pembicaraan solutif baru dilakukan setelah semuanya tenang.
Demikianlah seharusnya akhlak seorang suami mukmin yang salih.
Waffaqonallah.