Oleh Ust. Muafa
Ada ribuan, bahkan jutaan kitab fikih di dunia Islam, apalagi jika memasukkan makhthuthot (manuskrip) yang belum diteliti dan dicetak. Kitab-kitab fikih itu ada yang ditulis berdasarkan madzhab, ada pula yang ditulis berdasarkan topik sebagaimana umumnya kecenderungan di zaman sekarang. Secara umum, semua kitab fikih dari sisi gaya penulisannya itu bisa dikelompokkan dan digolongkan dalam klasifikasi-klasifikasi tertentu sebagai berikut,
1. Kutub Ummahat
2. Matan/Mukhtashor
3. Mandhumah
4. Syarah
5. Syarhus syarhi/ Hasyiyah
6. Hasyiyatul Hasyiyah (taqrir)
PENJELASAN
1.Kutub Ummahat (الكتب الأمهات)
Yang dimaksud kutub ummahat di sini adalah kitab induk yang bersifat insya-i (orisinal) yang menjadi pelopor dan inspirasi bagi kitab-kitab sesudahnya. Dalam ilmu fikih, contoh kitab jenis ini adalah Al-Umm karya Asy-Syafi’i. Kitab ini melahirkan kitab yang berjudul Mukhtashor Al-Muzani yang darinya muncul ribuan kitab fikih Syafi’i sesudahnya. Dalam bidang ilmu nahwu, kita mengenal karya monumental Sibawaih yang berjudul Al-Kitab. Ini juga tergolong kitab pelopor karena menginspirasi banyak kitab nahwu sharaf sesudahnya.
2. Matan (المتن)
Matan dijamakkan menjadi mutun (المتون). Matan selalu berbentuk ringkasan, sehingga nama lainnya adalah mukhtashor (المختصر). Matan adalah ringkasan atau saripati bidang ilmu tertentu yang ditulis dengan bahasa yang mudah yang diperkirakan mudah dihapalkan.
Mukhtashor muncul karena zaman dulu susah mendapatkan kitab. Sangat berat perjuangan mendapatkan kitab karena kitab masih disalin secara manual memakai tangan. Proses penyalinan umumnya juga dilakukan di majelis imla’ (pendiktean). Kitab Al-Hawi Al-Kabir karya Al-Mawardi misalnya, diperlukan sekitar 5 sampai 6 tahun untuk tuntas menyalinnya. Padahal ini baru satu kitab. Dari sinilah muncul gagasan untuk meringkas kitab-kitab besar, sehingga lahirlah kitab fikih yang dinamakan mukhtashor. Jadi, mukhtashor adalah ringkasan/abstrak kitab-kitab besar. Mukhtashor hanya menyebut kesimpulan-keismpulan hukum dan cabang-cabangnya tanpa penyebutan dalil atau ta’lil (reasoning).
Contoh matan/mukhtashor yang terkenal di kalangan Syafi’iyyah adalah Matan Abi Syuja’ karya Abu Syuja’ Al-Ashbahani (w.488 H) atau yang disebut juga matan Al-Ghoyah Wa At-Taqrib atau disebut juga matan Ghoyatu Al-Ikhtishor. Kadang di pesantren di sebut secara ringkas dengan nama kitab At-Taqrib.
Mukhtashor tidak harus tipis. Syaratnya hanya bebas dari dalil dan ta’lil. Karena itu bisa saja sebuah kitab berjilid-jilid tetapi tetap disebut mukhtashor, misalnya kitab Al-Furu’ karya Ibnu Muflih (yang bermadzhab Hambali) yang terdiri dari 10 jilid.
Kadang mukhtashor yang sudah berbentuk ringkasan itu diringkas lagi dan diringkas lagi. Contohnya seperti kasus kitab Fathu Al’Aziz karya Ar-Rofi’i. Kitab ini diringkas oleh Al-Qozwini dalam kitab berjudul Al-Hawi Ash-Shoghir. Lalu ringkasan Al-Qozwini ini diringkas lagi oleh Ibnu Al-Muqri’ dalam kitab berjudul Irsyadu Al-Ghawi Fi Masaliki Al-Hawi.
3.Mandhumah (المنظومة)
Matan/mukhtashor dibuat untuk memudahkan memahami kitab-kitab fikih besar. Isinya dibuat ringkas juga dengan maksud agar mudah dihapal. Hanya saja, meski berbentuk mukhtashor, tidak semua orang sanggup menguasainya dengan mudah apalagi menghapal. Maka dimanfaatkanlah aspek seni untuk membantu upaya memahami dan menghapal sehingga mukhtashor diringkas dalam bentuk puisi. Di sinilah lahir mandhumah. Jadi, mandhumah adalah versi puisi dari sebuah matan/mukhtashor. Secara alami, mandhumah seharusnya lebih mudah dihapalkan karena bersajak. Mandhumah sebenarnya digolongkan ke dalam matan juga, yakni matan berbentuk nadhom (puisi) bukan natsr (prosa). Contoh mandhumah adalah kitab yang bernama Mandhumah Al-Bahjati Al-Wardiyyah (منظومة البهجة الوردية) karya Ibnu Al-Muqri’. Kitab ini adalah gubahan berupa puisi dari mukhtashor yang bernama Al-Hawi Ash-Shogir karya Al-Qozwini. Karya Al-Qozwini ini adalah ringkasan dari kitab besar Ar-Rofi’i yang bernama Fathu Al-‘Aziz.
4.Syarah (الشرح)
Kendati matan dibuat dengan maksud memudahkan pemahaman dan dihapal, tetapi seiring berjalannya waktu ringkasan-ringkasan itu justru malah menjadi tidak mudah dipahami jika tidak dijelaskan. Dari sini lahirlah syarah. Jadi, syarah dibuat untuk menjelaskan matan/mukhtashor baik yang berupa prosa (المنثور) maupun yang puisi (المنظوم). Contoh kitab syarah fikih yang terkenal di negeri kita adalah kitab Fathu Al-Qorib karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi. Kitab ini adalah syarah matan Abi Syuja’ yang sebelumnya telah dijelaskan.
5.Hasyiyah
Apa yang dijelaskan dalam syarah, kadang masih dianggap kurang. Hal itu dikarenakan beberapa syarah terkadang hanya menjelaskan lafaz-lafaz yang dianggap ambigu dan memberi contoh-contoh secukupnya. Syarah terkadang sama sekali tidak menyentuh pembahasan dalil dan kaifiyyah istidlalnya. Kadang ada pula kasus hukum yang belum dijelaskan atau topik yang belum dibahas dalam syarah, atau ada kesalahan atau pendapat lemah yang menurut pengarang perlu dikoreksi. Dari sini muncullah Hasyiyah. Makna harfiyah Hasyiyah adalah catatan pinggir. Maksudnya adalah penjelasan tambahan pada syarah. Dari sini Hasyiyah boleh dipahami sebagai syarahnya syarah (شرح الشرح). Contoh Hasyiyah yang terkenal adalah kitab I’anatu Ath-Tholibin karya As-Sayyid Al-Bakri. Kitab ini adalah hasyiyah terhadap kitab yang bernama Fathu Al-Mu’in. Kitab Fathu Al-Mu’in adalah syarah terhadap kitab Al-Malibari yang bernama Qurrotu Al’Ain Bi Muhimmati Ad-Din.
6.Taqrir (التقرير)
Taqrir adalah hasyiyahnya hasyiyah. Beberapa hasyiyah dianggap masih ada hal-hal yang perlu dijelaskan atau ditambah informasi atau dikritisi. Dari sini muncullah taqrir, yakni syarahnya hasyiyah. Contoh taqrir adalah kitab yang bernama Taudhih Al-Baijuri. Kitab ini adalah taqrir terhadap Hasyiyah Al-Baijuri. Kitab Hasyiyah Al-Baijuri sendiri adalah Hasyiyah terhadap kitab Fathu Al-Qorib karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi. Kitab Fathu Al-Qorib adalah syarah terhadap matan Al-Ghoyah Wa At-Taqrib/ Matan Abi Syuja’/ matan Ghoyatu Al-Ikhtishor.
Pada zaman sekarang, karena perkembangan metode pendidikan yang banyak muncul dari barat, penulisan beberapa kitab fikih dibuat bersifat manhaji (mengikuti satuan-satuan kurikulum), misalnya seperti kitab Al-Fiqhu Al-Manhaji ‘Ala Madzhabi Al-Imam Asy-Syafi’i karya tiga ulama, yaitu Mushthofa Al-Khin, Musthofa Al-Bugho, dan ‘Ali Asy-Syurbaji.
Patut dicatat bahwa istilah-istilah pengelompokan kitab fikih itu adalah istilah ciptaan ulama. Tidak bersifat kaku dalam pemaknaan dan batasan. Istilah-istilah ini dipakai hanya untuk memudahkan penggolongan. Ini adalah klasifikasi secara umum. Bukan penggolongan yang bersifat istiqsho’ (komprehensif).
Penggolongan ini sebenarnya juga bisa diterapkan bukan hanya dalam ilmu fikih, tetapi juga ke bidang-bidang ilmu yang lain seperti ilmu nahwu, ilmu mustholah hadist, dan lain-lain.
2 Comments
Khoiru
Masya Allah terima kasih banyak ilmunya Kyai. Saya mohon izin menimba ilmu melalui tulisan2 panjenengan
Admin
monggo dengan senang hati