Oleh: Ust. Muafa
Nama kitab ini hanya satu kata saja yaitu Al-Muharror (الْمُحَرَّرُ). Demikianlah nama yang masyhur dan tercantum dalam banyak manuskrip. Adapun nama panjang seperti “Al-Muharror Fi Furu’ Asy-Syafi’iyyah” atau “Al-Muharror Fi Al-Fiqh”, nama-nama ini tidak masyhur dan tidak didukung oleh banyak manuskrip.
Arti muharror adalah “muhazdzab munaqqo” (yang diedit dan dibersihkan). Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
Artinya: “…(arti) Al-Muharror adalah yang dibebaskan dari tambahan-tambahan dan dibersihkan…” (Tuhfatu Al-Muhtaj, juz 1 hlm 133)
Al-Muharror adalah kitab fikih madzhab Asy-Syafi’i yang tergolong jenis mukhtashor (ringkasan). Kendati demikian, penerbit Dar As-Salam, Kairo mencetaknya dengan ketebalan sekitar 1800-an halaman dalam 3 jilid.
Kitab ini dikarang oleh Ar-Rofi’i. Siapa Ar-Rofi’i dan bagaimana kedudukan beliau dalam madzhab Asy-Syafi’i sudah pernah saya ulas dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Ar-Rofi’i dan An-Nawawi, Dua Pendekar Ulama Syafi’iyyah”.
Ar-Rofi’i adalah pelopor dan pembuka jalan kerja tahrir madzhab Asy-Syafi’i. Melalui perantaraan usaha beliau, bangkitlah pendekar muharrir Asy-Syafi’iyyah yang lain yaitu An-Nawawi. Dua ulama besar ini akhirnya digelari Asy-Syaikhan dalam madzhab Asy-Syafi’i sebagai penghormatan. Demikian besar pengaruh Ar-Rofi’i dan An-Nawawi sampai-sampai sebagian orang menyebut mereka berdua sebagai pendiri/mu-assis kedua madzhab Asy-Syafi’i setelah Imam Asy-Syafi’i.
Al-Muharror adalah hasil peneletian Ar-Rofi’i yang mengkaji berbagai macam variasi ijtihad ulama Asy-Syafi’iyyah dan klaim-klaim ijtihad Asy-Syafi’i dalam berbagai macam persoalan. Ar-Rofi’i serius meneliti semua karya kitab yang diwariskan ulama-ulama sebelumnya semenjak zaman wafatnya Asy-Syafi’i sampai masa hidup Ar-Rofi’i (akhir abad ke-6 H sampai awal abad ke-7 H). Hasil penelitian itu kemudian ditulis dan dituangkan dalam dua karya masterpiecenya; yang besar dinamakan Fathu Al-‘Aziz atau disebut juga Asy-Syarhu Al-Kabir, yang lebih “kecil” adalah kitab Al-Muharror yang sedang kita bicarakan ini. Oleh karena Al-Muharror berbentuk ringkasan, maka dalam kitab ini hanya ditulis kesimpulan-kesimpulan hukum hasil penelitian Ar-Rofi’i, tanpa ada pengutipan dalil kecuali sedikit saja.
Al-Muharror adalah kitab mustaqil (independen). Maksudnya, meskipun Al-Muharror disebut mukhtashor tetapi kitab ini bukan hasil ringkasan kitab lain. Al-Muharror bukan kitab turunan dari kitab lain. Penyebutan mukhtashor untuk Al-Muharror hanya dikarenakan efisiensi lafaz yang dipakai bukan karena hasil ringkasan dari kitab lain. Ini adalah pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami, juga pendapat Ali Jumu’ah dalam kitabnya, Madkhol Ila Dirosati Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah hlm 51.
Perhatian ulama Asy-Syafi’iyyah cukup tinggi terhadap kitab ini. Sejumlah ulama telah mentakhrij hadis-hadisnya, membuatkan syarah, membuatkan hasyiyah dan bahkan membuatkan mukhtashor lagi.
Yang dikenal mentakhrij hadis-hadis yang terdapat pada Al-Muharror adalah Ibnu Jama’ah (767 H). Kitab takhrij beliau diberi nama “Takhriju Ahaditsi Al-Muharror.”
Adapun karya yang berupa syarah dan mukhtashor, maka jumlahnya lumayan banyak. Abdullah Al-Habsyi menyebut ada 10 syarah dan hasyiyah untuk Al-Muharror ditambah 3 mukhtashor (Jami’ Asy-Syuruh Wa Al-Hawasyi, hlm 114-115). Hanya saja, dari tiga mukhtashor itu, yang terpenting dan paling fenomenal adalah mukhtashor karya An-Nawawi yang bernama Minhaju Ath-Tholibin. Pada masa-masa selanjutnya, para ulama memusatkan perhatian untuk mensyarah Minhaj Ath-Tholibin, meringkasnya, membuat komentar, catatan pinggir, catatan kaki, manzhumah dan lain-lain. Akhirnya, justru popularitas Minhaj Ath-Tholibin dalam perjalanan sejarah yang ternyata malah jauh melampaui popularitas Al-Muharror yang menjadi kitab asalnya. Uraian panjang tentang Minhaj Ath-Tholibin bisa dibaca pada tulisan saya yang berjudul “Minhaj Ath-Tholibin, Kitab An-Nawawi Yang Fenomenal”
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين