Oleh: Ust. Muafa
Di antara hal menarik terkait kitab-kitab ulama adalah banyak penamaan kitab yang diawali kata fathu (فَتْحُ). Sebut saja kitab Fathu Al-Bari (فَتْحُ الْبَارِيْ) misalnya. Kitab ini dikarang oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani (wafat 852 H) sebagai syarah dari kitab hadis paling shahih dalam sejarah umat Islam, yaitu Shahih Al-Bukhari. Kitab ini sangat bermutu sehingga manfaatnya lintas madzhab. Meskipun pengarangnya bermadzhab Asy-Syafi’i, tetapi telah kita saksikan kitab Fathu Al-Bari dirujuk oleh ulama dari berbagai madzhab, baik itu madzhab Hanafi, Maliki, Hambali sampai yang tidak bermadzhab.
Demikian tinggi dan berkualitasnya kitab ini sampai-sampai ulama selevel Asy-Syaukani menolak mengarang syarah shahih Al-Bukhari ketika disarankan muridnya, (sebagaimana diceritakan Shiddiq Hasan Khon) sambil berseloroh dengan menyitir hadis Nabi,
“Tidak ada hijrah sesudah Fath”.
Makna asli dari hadis di atas adalah tidak disyariatkanya lagi hijrah dari Mekah menuju Madinah setelah Mekah ditaklukkan dalam peristiwa Fathu Makkah, karena Mekah waktu itu sudah menjadi Darul Islam sementara hijrah hanya disyariatkan dari Darul Kufur menuju Darul Islam. Hanya saja Asy-Syaukani “memplesetkan” lafaz hadis itu ke makna bahasa untuk memuji Fathu Al-Bari karya Ibnu Hajar. Jadi, lafaz “la hijrota ba’dal fathi” diartikan “tidak perlu berpindah mempelajari kitab lain (untuk memahami shahih Bukhari) sesudah dikarang kitab Fathu Al-Bari”. Suatu pujian luar biasa tentang mutu dan kualitas sebuah syarah hadis yang ditulis oleh salah satu ulama Asy-Syafi’iyyah. Kisah Asy-Syaukani di atas bisa dibaca pada kitab Al-Hitthoh Fi Dzikri Ash-Shihah As-Sittah, hlm 77.
Pertanyaannya, mengapa Ibnu Hajar menamai kitabnya dengan nama Fathu Al-Bari?
Jika dianalisis secara bahasa, kata Fathu Al-Bari berasal dari dua kata yaitu Fathu dan Al-Bari. Makna bahasa fathu adalah izalatul ighlaq (menghilangkan kondisi tertutup). “Fataha al-bab” diterjemahkan “membuka pintu” karena ada unsur menghilangkan kondisi tertutup. Dalam konteks ilmu, kata fataha digunakan secara majasi untuk menyebut upaya menghilangkan “ketertutupan” yang mengakibatkan tidak memahami ilmu. Karena itulah kata fathu dalam konteks ilmu secara mudah boleh dimaknai talqin/ta’lim (mengajari). Dengan makna ini akhirnya kita bisa meraba maksud judul Fathu Al-Bari. Jadi, pemilihan judul Fathu Al-Bari secara bahasa seolah-olah ingin menyampaikan pesan bahwa ilmu yang ditulis Ibnu Hajar dalam bukunya itu bukanlah dari kemampuan Ibnu Hajar sendiri, tetapi bentuk anugerah dari Allah Al-Kholiq Al-Bari, karunia dan nikmat-Nya yang berkenan membukakan ilmu kepada Ibnu Hajar, mengajarkan dan mengilhamkannya sehingga bisa dituliskan dan disebarkan. Al-Bari adalah salah satu asmaul husna yang bermakna Dzat Yang Menciptakan (dengan penuh ukuran yang sempurna).
Dengan level keilmuan yang sangat tinggi nan bermutu, tentu saja Ibnu Hajar sebenarnya bisa membuat judul-judul yang lebih “cetar membahana” misalnya,
“Syarah shahih Bukhari spektakuler!”
“Syarah terdahsyat sepanjang zaman untuk sahih Bukhari!”
“Syarah shahih Bukhari yang mengguncang dunia!”
Tetapi beliau tidak melakukan itu dan malah memilih judul yang sangat sederhana; “Fathu Al-Bari”. Tentu hanya Allah dan Ibnu Hajar yang tahu persis apa niat beliau memberi judul seperti itu, tetapi dari sisi analisis bahasa pemilihan judul ini paling tidak mencerminkan tiga hal,
Pertama; Tawadhu. Sangat terasa akhlak tawadhu pada judul seperti itu. Cerminan seorang ulama yang pintar tapi tidak merasa pintar, berilmu dalam tapi tidak merasa berilmu dalam.
Kedua; Penghayatan hakikat ubudiyyah (penghambaan) yang sejati. Seakan-akan ketika menulis sebuah karya besar, beliau sadar bahwa semua itu mustahil akan terwujud tanpa bantuan Allah. Mustahil karya itu selesai jika tidak dimudahkan Allah. Akhirnya sang pengarang merasa hina, lemah, butuh, dan berusaha selalu mengingat-ingat jasa Allah dalam mensukseskan karangannya. Dipilihkan judul yang mencerminkan bahwa semua isi karangannya semuanya adalah semata-mata anugerah dan nikmat Allah yang membukakan sebagian ilmu-Nya untuk hamba. Merasa diri hina dan rendah di hadapan Allah adalah di antara unsur terpenting hakikat pengabdian, penyembahan dan ibadah yang sejati.
Ketiga; Menjaga niat. Pada saat menulis kitab, bukan popularitas yang dikejar, bukan keterkenalan. Tetapi berniat mengajarakan dinullah, bertabligh dan berdakwah semata-mata demi meraih ridha Allah. Judul yang mengajak mengingat karunia Allah akan sangat membantu menjaga niat yang ikhlas ini.
Demikianlah. Kita bisa menyaksikan banyak karya kitab ulama dalam berbagai disiplin ilmu Islam yang menggunakan judul dengan pola kombinasi kata Fathu+Asmaul Husna seperti pada nama kitab Fathu Al-Bari ini.
Kita mengenal Fathu Al-Mu’in, kitab fikih madzhab Asy-Syafi’i karya Al-Malibari yang mensyarah kitab Qurrotu Al-‘Ain. Ada juga kitab Fathu Al-Qorib Al-Mujib, kitab fikih bermadzhab Asy-Syafi’i karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi yang mensyarah matan Abu Syuja’ atau dikenal dengan nama kitab At-Taqrib. Ada juga kitab berjudul Fathu Al-Wahhab karya Zakariyya Al-Anshori yang mensyarah Manhaju Ath-Thullab yang merupakan mukhtashor Minhaj Ath-Tholibin karya An-Nawawi.
Ada juga kitab Fathu Al-Qodir, yakni kitab tafsir karya Asy-Syaukani yang berusaha menggabung tafsir diroyah dan tafsir riwayat. Ada juga kitab Fathu Al-Mughits karya As-Sakhowi yang mensyarah Alfiyyah Al-‘Iroqi dalam ilmu hadis. Ada juga kitab Fathu Al-Majid karya Abdurrahman Alu Asy-Syaikh yang mensyarah kitab At-Tauhid. Ada juga kitab Fathu Robbi Al-Bariyyah karya Shofwat Mahmud Salim yang mensyarah Al-Muqoddimah Al-Jazariyyah karya Ibnu Al-Jazari. Ada juga kitab Fathu Dzi Al-Jalali Wa Al-Ikrom karya Ibnu Al-‘Utsaimin yang mensyarah kitab Bulughul Maram, dan lain-lain.
Barangkali hal-hal inilah yang menyebabkan kitab-kitab beliau menjadi kitab-kitab yang bermanfaat lintas generasi, meski tidak memakai judul bombastis.
رحمهم الله رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
2 Comments
sukiwijaya
penjelasannya ringkas, dan mudah di mengerti… makasih min
Admin
alhamdulillah