Madzhab zhohiri adalah mazhab yang kurang terkenal di negeri ini. Pernah hidup (terutama di masa daulah Muwahhidin di Andalus/Spanyol), tapi sudah dianggap seperti mati selama berabad-abad. Di zaman sekarang kalaupun ada penganutnya, sifatnya hanya perorangan dan belum sampai berpengaruh luas di masyarakat.
Tokohnya yang paling terkenal ada dua, yaitu Dawud bin ‘Ali Az-Zhohiri (wafat tahun 270 H) yang dianggap pendiri madzhab dan Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H) pengarang Al-Muhalla, yang dianggap sebagai mujaddidnya.
Barangkali ada banyak faktor yang menyebabkan madzhab ini kurang populer di seluruh dunia. Tetapi kalau dilihat pendapat-pendapatnya, madzhab ini memang terkesan ganjil, kering dan jumud.
Contohnya ijtihad dalam masalah hukum kencing pada air yang tenang. Dalam riwayat hadis ada larangan lugas dari Rasulullah untuk kencing pada air yang tenang. Madzhab zhohiri memahami, yang dilarang adalah kencing. Jadi berak hukumnya boleh! Sebuah “totalitas” literal yang luar biasa.
Contoh lain pendapat zhohiri yang masih terkait hadis tersebut adalah dalam memahami definisi kencing. Madzhab zhohiri memahami, yang dilarang Nabi dalam hadis adalah aktivitas “yabul” (buang air kecil/kencing). Hal ini bermakna, jika ada orang kencing di dalam botol, lalu di tuangkan ke dalam air yang tenang, maka hal itu boleh, karena menuangkan air kencing yang ada di dalam botol tidak bisa disebut “yabul” dalam bahasa Arab!
Apakah kekeringan dan kejumudan ijtihad ini yang menyebabkan An-Nawawi tidak berminat membahas madzhab beliau dalam Al-Majmu’?
Madzhab zhohiri memang seperti tidak pernah ditoleh dalam Al-Majmu’. Di antara ulama yang bersaksi bahwa Al-Majmu’ tidak mengandung pembahasan madzhab zhohiri adalah Ibnu Katsir. Dalam kitab Al-Majmu’, An-Nawawi menguraikan dan mengulas madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, bahkan madzhab para mujtahid sebelum munculnya imam empat madzhab. Tapi, beliau beliau tidak berminat membahas zhohiri dan memasukkannya dalam Al-Majmu’.
Mengapa?
Ini pertanyaan yang nampaknya juga mengganggu seorang ulama ahli hadis dan pakar tafsir bermadzhab Asy-Syafi’i, yaitu Ibnu Katsir.
Tentu sulit memperoleh jawaban yang pasti, karena sampai zaman Ibnu Katsir pun tidak ada riwayat sahih dengan sanad yang bersambung sampai ke An-Nawawi yang menukil alasan beliau atas ketidaksediaan mengulas ijtihad madzhab zhohiri.
Kendati demikian, ada informasi menarik yang bersumber dari mimpi Ibnu Katsir yang barangkali bisa memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Mimpi Ibnu Katsir beliau ceritakan dalam kitab sejarahnya yang terkenal, Al-Bidayah Wa An-Nihayah. Ringkasnya, mimpi itu adalah sebagai berikut.
Pada malam Senin, 22 Muharram 763 H Ibnu Katsir bermimpi bertemu dengan An-Nawawi. Dalam mimpi itu Ibnu Katsir bertanya kepada An-Nawawi mengapa beliau tidak membahas ijtihad-ijtihad yang terkandung pada karangan-karangan Ibnu Hazm? Jawaban An-Nawawi pada intinya adalah karena beliau tidak menyukainya. Ibnu Katsir mengomentari dengan bersuara keras dengan nada membenarkan bahwa pendapat-pendapat Ibnu Hazm itu memang kontradiktif baik dalam ushul maupun furu’. Lalu Ibnu Katsir bertanya kepada An-Nawawi sambil menunjuk ke sebuah area hijau berpohon tapi pohonnya lebih buruk daripada kurma yang tidak bisa dimanfaatkan untuk tempat menggembala maupun dijadikan ladang. Kata Ibnu Katsir, “Apakah tanah ini yang ditanami Ibnu Hazm?” An-Nawawi menjawab, “Lihatlah, apakah engkau melihat ada pohon berbuah atau sesuatu yang bisa dimanfaatkan?” Ibnu Katsir menjawab, “Tempat itu hanya layak untuk duduk-duduk di bawah siraman cahaya rembulan”. Dalam mimpi ini Ibnu Katsir merasa Ibnu Hazm menyaksikan percakapan itu, tetapi beliau diam dan tidak berkata sepatah katapun. (Al-Bidayah Wa An-Nihayah, juz 14 hlm 291)
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين