IBRAH DALAM BERAMAL
Oleh : Ust. Muafa
Suatu saat, An-Nawawi ingin belajar ilmu kedokteran. Keinginan ini sebenarnya adalah wajar, karena sudah biasa dalam sejarah Islam seorang ulama ahli dalam bidang agama sekaligus ahli dalam bidang sains tertentu. Dengan kecerdasan An-Nawawi, rasa-rasanya juga tidak terlalu sulit bagi beliau untuk menguasai ilmu tersebut. Beliapun membeli buku yang bernama Al-Qonun karya Ibnu Sina yang menjadi buku kedokteran paling populer di zaman itu. Tapi malang, segera saja hati An-Nawawi menjadi gelap. Tepekur beliau memikirkan apa sebabnya. Tiba-tiba Allah mengilhami bahwa buku Al-Qonun itulah penyebabnya. Tak menunggu lama, segera saja beliau menjual kitab itu dan hati An-Nawawi pun menjadi terang kembali. Kisah An-Nawawi ini diceritakan Ibnu Al-‘Atthor langsung dari lisan gurunya sebagai berikut,
Artinya :
“Terlintas di benakku untuk mempelajari ilmu kedokteran. Akupun membeli buku Al-Qonun dan bertekad untuk menyibukkan diri dengannya. Ternyata hatiku menjadi gelap. Selama beberapa hari aku tidak bisa menyibukkan diri dengan apapun. Aku jadi merenungi kasusku, ‘Dari mana asalnya masalah ini?’. Kemudian Allah memberi ilham kepadaku bahwa sebabnya adalah kesibukanku mempelajari ilmu kedokteran. Seketika itu juga aku menjual kitab tersebut dan ku keluarkan dari rumahku segala sesuatu yang terkait dengan ilmu kedokteran. Maka teranglah hatiku dan kembali keadaanku. Akupun menjadi seperti semula ketika pertama kali -menyibukkan diri dengan ilmu dien-“ (Tuhfatu Ath-Tholibin, hlm 50-51)
Apakah kisah ini menunjukkan ilmu kedokteran tidak penting bahkan berbahaya bagi ulama dan orang salih?
Tidak juga. Ilmu kedokteran penting, bahkan sangat penting. Asy-Syafi’i, panutan An-Nawawi -sebagaimana dituturkan As-Sakhowi- menegaskan bahwa ilmu kedokteran adalah ilmu yang sangat penting dan bahkan disebut Asy-Syafi’i sebagai sepertiga ilmu. Asy-Syafi’i juga menyesali kaum muslimin pada zamannya yang menyia-nyiakan ilmu kedokteran dan malah menyerahkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk menguasainya
Secara fakta urgensi ilmu kedokteran bagi kaum muslimin juga tidak bisa dibantah. Bisa dibayangkan jika ilmu kedokteran ditinggalkan. Bisa jadi akan banyak kematian bayi-bayi dan anak-anak di tengah-tengah kaum muslimin. Padahal di antara bayi-bayi itu bisa jadi akan ada yang muncul sebagai ulama, mujtahid besar, ilmuwan dan para mujahid. Jadi, diabaikannya ilmu kedokteran bisa berakibat musnahnya bibit-bibit unggul di tengah-tengah umat Islam.
Kalau begitu, bagaimana memahami kisah An-Nawawi di atas secara lebih tepat?
Lebih tepatnya begini. Bidang kedokteran bukan amal yang “disiapkan” Allah untuk An-Nawawi. Ilmu kedokteran adalah ilmu yang sangat penting, bahkan fardu kifayah sebagaimana ilmu fikih, tetapi ilmu kedokteran adalah lahan amal hamba Allah yang lain, bukan lahan amal An-Nawawi. Imam An-Nawawi disiapkan Allah untuk beramal dalam ilmu dien, bukan ilmu kedokteran. Kita tahu, umur An-Nawawi dipenuhi untuk ta’allum (belajar), ta’lim (mengajari) dan ta’lif (mengarang). Itulah amal terbaik beliau secara kasat mata dan jelas nyata manfaatnya untuk umat Islam. Seandainya waktu itu beliau dipaksa melakukan amal lain yang tidak sejalan dengan potensinya, bisa jadi matilah potensi besar beliau sehingga kaum muslimin hari ini tidak akan menyaksikan karya-karya besar An-Nawawi.
Beramal sesuai dengan potensi dan dunia yang diberikan Allah adalah konsepsi yang sejalan dengan Al-Qur’an. Misalnya firman Allah dalam surah Al-Maidah berikut ini,
Artinya :
“…agar Dia (Allah) menguji kalian melalui apa-apa yang diberikan-Nya kepada kalian..” (Al-Maidah; 48)
Juga sejalan dengan hadis Nabi yang mengajarkan bahwa setiap kita akan dimudahkan beramal sesuai yang telah ditentukan Allah untuk kita.
Juga sejalan dengan kisah Imam Malik yang pernah diajak banyak beribadah dan beruzlah oleh Abdullah Al-‘Umari, bukannya menghabiskan waktu untuk mengajar fikih. Tetapi gagasan itu ditolak imam Malik dengan penjelasan bahwa amal hamba itu dibagi-bagi sebagaimana Allah membagi-bagi rezeki. Imam Malik dimudahkan untuk menjadi ahli fikih dan ahli hadis. Hidup beliau banyak dihabiskan untuk belajar dan mengajar. Itulah amalan terbaik beliau. Amal ini tidak bisa disamakan dengan Abdullah Al-‘Umari yang mungkin lebih dimudahkan untuk beribadah mahdhoh secara individual, yang jauh dari kehidupan majelis-majelis ilmu. Semuanya menjadi amal salih jika diniatkan untuk mengabdi kepada Allah demi memperoleh ridha-Nya tanpa perlu menghinakan amal yang satu daripada amal yang lain.
Allah sama sekali tidak akan menyia-nyiakan amal salih hamba-Nya, termasuk amal mereka yang menyibukkan diri dengan ilmu kedokteran. Amal dalam ilmu kedokteran juga tidak kalah pentingnya dengan amal dalam ilmu dien. Manfaat memberi minum untuk anjing saja bisa membuat manusia masuk ke dalam surga, lalu bagaimana mungkin memberi manfaat dengan ilmu kedokteran kepada ribuan bahkan jutaan manusia lalu tidak dihitung Allah?
Dari sinilah bertemu urgensi spesialisasi dalam amal. Tanpa spesialisasi, manusia menjadi orang yang setengah-setengah. Manusia “nanggung”. Tidak ahli di sini dan juga tidak ahli di sana. Mempelajari banyak hal, tetapi tidak ada satupun yang menjadi ahli dan pakar di dalamnya. Akibatnya ilmu yang dimiliki adalah ilmu yang tidak matang. Ilmu semacam ini berbahaya. Ibarat orang masak, jika masih setengah matang sudah dihidangkan maka hal itu bisa malah membuat sakit perut.
Spesialisasi adalah fitrah manusia dan juga ajaran Islam. Bahkan bisa kita katakan, ada istilah fardhu kifayah itu adalah karena Allah memberikan bakat-bakat tertentu tidak kepada semua orang. Allah membagi potensi-potensi tertentu sehingga ketika disebut fardhu kifayah, sesungguhnya yang diseru adalah orang-orang tertentu yang diberi bakat oleh Allah untuk melaksanakannya. Hanya saja, kita belum tahu bakat apa yang diberikan Allah kepada kita tanpa berusaha mencarinya. Di situlah justru letak ujiannya. Melakukan ikhtiar mencari tahu amal apa yang paling dimudahkan Allah untuk kita masing-masing sampai ketemu adalah bagian dari pelaksanaan perintah Allah untuk beramal-sebaik-baiknya . Setelah ketemu, bisa langsung melesat cepat dan memacu sekencang-kencangnya dengan beramal mempersembahkan kemampuan terbaiknya untuk bidang amal tersebut.
Menjaga Al-Qur’an dengan menghafalnya adalah fardu kifayah, tapi tidak bisa dan tidak mungkin seluruh orang Islam dituntut menghafalkan, karena tidak semua orang memiliki potensi, kesempatan dan kondisi kehidupan yang membuatnya mampu menghafalkan Al-Qur’an.
Menjaga Al-Hadis dengan menghafalnya adalah fardu kifayah, tapi tidak bisa dan tidak mungkin seluruh orang Islam dituntut menghafalkan, karena tidak semua orang memiliki potensi, kesempatan dan kondisi kehidupan yang membuatnya mampu menghafalkan Al-Hadis.
Berijtihad untuk menghukumi masalah baru dengan hukum Islam adalah fardu kifayah, tapi tidak bisa dan tidak mungkin seluruh orang Islam dituntut berijtihad, karena tidak semua orang memiliki potensi, kesempatan dan kondisi kehidupan yang membuatnya mampu berijtihad.
Menguasai bidang-bidang ilmu yang terkait dengan kemaslahatan umum, seperti ilmu kedokteran, teknik, kimia, pemerintahan dan semisalnya adalah fardu kifayah, tapi tidak bisa dan tidak mungkin seluruh orang Islam dituntut menguasai bidang-bidang ilmu tersebut, karena tidak semua orang memiliki potensi, kesempatan dan kondisi kehidupan yang membuatnya sanggup menjadi ahli semua ilmu itu dalam waktu yang sama.
Dalil dan fakta manusia menunjukkan ada orang-orang tertentu yang dimudahkan untuk menghapalkan Al-Qur’an, ahli dalam hadis, ahli dalam fikih, ahli dalam ushuluddin, ahli dalam kedokteran, ahli dalam teknik dan seterusnya. Allah membagi-bagi potensi dan dunia agar semua beramal sesuai dengan potensi masing-masing dan diuji atas dasar nikmat potensi yang dimiliki itu. Spesialisasi membuat manusia saling bekerja sama dan tidak ada yang sombong. Spesialisasi juga membuat makna ujian lebih terasa ketika Allah berfirman dalam Al-Qur’an bahwa Dia menguji manusia satu sama lain.
Siapa yang merusak prinsip ini maka sesungguhnya dia sedang melawan konsepsi yang diajarkan Islam dan juga melawan fitrah manusia. Dari sini kelirulah gagasan yang berusaha menghomogenisasi amal. Bukan hanya keliru tapi juga sangat berbahaya karena bisa mematikan potensi-potensi besar pada seorang hamba yang bermanfaat untuk dien, kaum muslimin dan seluruh manusia dengan alasan tertentu yang mungkin dikarang-karang sendiri oleh akal.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين