Oleh : Ust. Muafa
Mungkinkah setiap muslim langsung mengikuti hadis seraya meyakini bahwa makna yang dipahami dari hadis itu benar-benar perintah yang dimaksud Rasulullah berdasarkan pemahaman sendiri-sendiri tanpa perlu bergantung kepada orang lain?
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan ini, marilah kita tes dengan hadis Nabi berikut ini. Rasulullah bersabda,
Artinya,
“…Barangsiapa mati sementara di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati dengan kematian jahiliyyah…”
Hadis di atas diriwayatkan Muslim dalam shahihnya, Ath-Thobaroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro, Ibnu Batthoh dalam Al-Ibanah Al-Kubro, Ibnu ‘Awanah, ِAbu Bakr Al-Anbari, dan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani.
Hadis di atas dipahami secara berbeda-beda oleh sejumlah manusia/kelompok.
LDII memahami hadis di atas menunjukkan wajibnya berjamaah dan membaiat amir. Oleh karena jamaah yang paling benar adalah LDII, maka wajib bergabung dengan LDII dan membaiat amirnya. Siapa yang tidak membaiat amir LDII maka dia mati jahiliyah alias kafir.
Syiah memahami bahwa hadis di atas menunjukkan wajibnya berbaiat kepada imam yang haqq. Imam yang haqq menurut dalil adalah Ali dan 11 keturunannya, sampai yang terakhir Imam Mahdi yang masih gaib. Siapapun yang tidak membait imam yang haqq maka dia tersesat dan mati jahiliyah.
Qodiyaniyyah memahami hadis di atas adalah salah satu dalil yang menunjukkan wajibnya berbaiat kepada Mirza Ghulam Ahmad.
ISIS memahami hadis di atas sebagai dalil wajibnya berbaiat kepada khalifah yang sah di zaman modern ini, yakni kekhilafahan ISIS/NI. ISIS adalah kekhalifahan yang sah karena sudah menegakkan hukum Islam, menerapkan hudud, melaksanakan jihad dan semua aktivitas yang seharusnya dilakukan oleh kekhilafahan Islam.
Hizbut Tahrir memahami bahwa hadis itu menunjukkan wajibnya menegakkan khilafah. Meskipun HT tahu ada ISIS, tetapi HT tidak bersedia membaiatnya karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat khilafah yang dirumuskan HT. Secara implisit, manifesto HT memang menginginkan khilafah diserahkan pada HT, “tidak boleh” pada selain HT.
Al-Albani memahami, hadis di atas bermakna wajib membaiat Khalifah kaum muslimin.
Ibnu Hajar Al-‘Asqolani memahami bahwa hadis di atas adalah celaan kepada orang yang tidak berbai’at kepada imam, karena kematiannya seperti masyarakat jahiliyyah yang berada dalam kesesatan dan tidak memiliki pemimpin yang ditaati. Hadis di atas tidak bermakna orang yang mati tanpa membaiat dihukumi mati kafir, tetapi dihukumi mati dalam keadaan bermaksiat.
Sebagian tarekat sufi bahkan memahami hadis di atas bermakna wajibnya masuk tarekat tasawuf! Yakni, membaiat seorang guru mursyid yang membimbing salik/murid dalam menjalani amalan-amalan tarekat.
Nah, dari sekian variasi penafsiran dan pemahaman ini, pemahaman seperti apa yang bisa dianggap MENGIKUTI HADIS, mengikuti apa yang diinginkan Rasulullah dan tidak mengikuti ulama/manusia?
Sah-sah saja sebenarnya jika seseorang ingin MEMAHAMI SENDIRI makna hadis Nabi dan berusaha sekuat tenaga menangkap maksud sabda Nabi. Akan tetapi agar pemahaman itu adalah pemahaman yang bertanggung jawab (tidak asal klaim dengan nada angkuh), berdasarkan ilmu dan mencerminkan ketakwaan, marilah kita analisis prasyarat-prasyarat apa saja yang diperlukan untuk mencapai target tersebut.
Pertama-tama harus dipastikan validitas hadis terlebih dahulu. Artinya, harus dipastikan apakah benar ucapan yang diklaim sebagai hadis itu benar-benar diucapkan Rasulullah ataukah tidak. Validitas ini harus diurus dulu karena bagaimana mungkin orang mengklaim dirinya mengikuti hadis sementara dia sendiri tidak bisa membuktikan bahwa ucapan yang diklaimnya sebagai hadis benar-benar ucapan Rasulullah?
Hal sederhana yang harus dipecahkan terkait target ini misalnya dia harus tahu alasannya mengapa hadis di atas diberi keterangan riwayat Muslim. Siapa Muslim ini? Mengapa dia disebut? Mengapa bukan Abu Bakar atau Umar atau Ali yang meriwayatkan hadis? bukankah shahabat-shahabat nabi yang lebih logis memberitakan sebuah hadis? Mengapa Muslim? Apa otoritasnya meriwayatkan hadis? Siapa yang memberinya hak untuk dipercaya sebagai pembawa hadis Nabi? Siapa pula itu Ath-Thobaroni, Al-Baihaqi, Ibnu Batthoh, Ibnu ‘Awanah, Abu Bakr Al-Anbari, dan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani?
Sampai di sini maka menjadi niscaya baginya untuk mempelajari sejarah periwayatan dan kodifikasi hadis. Dia harus tahu bagaimana awal mula hadis ditulis, siapa saja tokoh-tokoh pengumpul hadis, siapa yang menulisnya, siapa yang menyaringnya dan seterusnya. Dia juga harus tahu apa bedanya kitab-kitab hadis yang dinamakan kitab shahih, sunan, musnad, mushonnaf, muwattho’, mustadrok, mustakhroj, mushonnaf, mu’jam, ajza’ dan semisalnya. Dia juga harus tahu kualitas dari berbagai macam kitab hadis ini.
Bukan hanya itu, dia juga harus belajar ilmu bagaimana menyaring hadis. Harus tahu kaidah-kaidah menyaring hadis antara yang shahih, hasan dan dhoif dengan puluhan cabang variasinya. Juga harus mengerti apa itu hadis mutawatir, hadis ahad, hadis aziz, hadis masyhur dan lain-lain. Mau tidak mau akhirnya dia harus belajar tentang para perawi, mempelajari nama-namanya, biografi hidupnya, tahun lahirnya, tahun wafatnya, guru-gurunya, dan hadis-hadis yang diriwayatkannya. Dengan cara itu akhirnya dia bisa menentukan bahwa seorang perawi dinilai tsiqoh atau tidak, dinilai dhobith atukah tidak. Dia juga harus memastikan adanya liqo’ (pertemuan) dan sama’ (mendengar) antara satu perawi dengan perawi lainnya untuk memastikan ketersambungan sanad. Dia juga harus memeriksa hadis-hadis senada yang diriwayatkan perawi berbeda yang kualitas perawinya lebih rendah untuk membersihkan riwayat dari kemungkinan syadz. Dia juga harus paham pelik-pelik riwayat baik sanad maupun matan agar bisa menemukan illat yang bisa mencederai kesahihan sebuah riwayat.
Pendek kata, untuk memastikan kevalidan sebuah hadis, dia harus menjadi ahli hadis! Hafal puluhan bahkan mungkin ratusan ribu nama perawi dan menghafal puluhan atau bahkan ratusan ribu matan hadis.
Ini baru level memastikan kevalidan hadis.
Jika sudah melewati tahap ini, baru melangkah ke tahap upaya memahami hadis. Untuk memahami hadis, tentu saja harus memakai bahwa Arab, karena hadis Nabi diucapkan dalam bahasa Arab. Dia harus belajar nahwu dan sharaf secara matang sehingga tahu bahwa lafaz awal hadis di atas dibaca apa. Apakah “min”, “man”, “manna”,” “munna” ataukah “mannun”. Kalaupun dibaca “man” harus tahu apakah itu man “istifhamiyyah”, “syarthiyyah”, ataukah“maushuliyyah”. Harf “wawu” juga perlu tahu jenis wawu apa itu, apakah “wawu athof”, “wawu haliyyah”, ataukah “wawu qosam”. Juga harus mengerti cara pelafalan yang benar apakah dibaca “maitah”, “mitah”, atukah “mayyitah”. Lafaz “bai’ah” dibaca “bai’ah” atau “bi’ah” atau “bayyi’ah”. Juga harus mengerti asal kata jahiliyyah, posisi sintaksisnya bagaimana, proses nisbahnya seperti apa, aturan tadzkir-ta’nistnya seperti apa dan seterusnya. Juga harus tahu kajian sintaksisnya, uslub yang dipakai apa, apakah uslub ighro’, tahdzir, syarat, istifham, ikhtishosh, dzam, madh, istitsna’, istighotsah dan lain-lain. Mengerti mana mubtada’ mana khobar, mana syarat, mana jawab syarat, mana maf’ul muthlaq, mana na’at, mana man’ut, mana fi’il, mana isim, mana harf. Bagaimana aturan idhofah, aturan dhomir, aturan i’lal, pembetukan mashdar dan lain-lain.
Pemaknaan bai’ah juga tidak bisa sembarangan. Mana makna bai’ah yang dipilih dan atas dasar apa? Apakah dimaknai shofqotul bai’ (contract of sale), mu’ahadah, mu’aqodah, tauliyah, ataukah badzlul ‘ahdi ‘alath tho’ah wan nushroh? Kepada siapa baiat yang dimaksud dalam hadis itu ditujukan? Atas dasar apa memahami seperti itu?
Lalu lafaz Man dalam hadis dimakna umum yang berlaku keumumannya ataukah umum yang bermakna khusus yakni kaum muslimin? Atas dasar apa pemilihan makna tertentu itu?
Kemudian dalam kajian balaghoh apakah hadis tersebut bisa dimaknai khobar yang bermakna ijab ataukah khobar yang bermakna dzam atau bagaimana?
Lalu mati jahiliyyah itu bagaimana memaknainya? Atas dasar apa pemaknaan itu?
Dia juga harus mengumpulkan seluruh hadis yang semakna dan senada, mengkajinya dengan prasyarat yang sama seperti hadis ini, kemudian juga mengkaji seluruh Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an, Asbabul wurud, asbabun nuzul, fatwa shahabat dan semua hal yang berkaitan dengan topik ini. Dengan cara itu, barulah usahanya bisa dikatakan maksimal berusaha memahami maksud Nabi agar tidak jatuh dalam kesalahan dalam menafsirkan. Kalaupun keliru memahami masih dimaafkan karena tidak sengaja.
Sampai di sini tampak sudah sejauh dan seluas apa ilmu yang diperlukan untuk memahami sebuah hadis. Itupun masih belum ada jaminan bahwa pemahamannya benar-benar seperti yang diinginkan dan dimaksudkan Nabi.
Oleh karena itu jika ada pertanyaan , “Bisakah setiap muslim langsung mengikuti hadis?” maka jawabannya adalah bisa JIKA dia adalah ahli hadis sekaligus mujtahid muthlaq. Jika dia bukan ahli hadis, PASTI dia bertaklid kepada ahli hadis. Jika dia bukan mujtahid mutlak, maka mustahil dia sedang mengikuti hadis menurut pemahamannya sendiri. Fakta yang benar adalah dia mengikuti pemahaman orang tertentu yang diklaim dan diatasnamakan mengikuti hadis.
Malangnya, bagi orang awam, yang diikuti tidak selalu “orang yang beres”. Terkadang yang diikuti benar-benar seorang mujtahid, bisa juga yang mujtahid palsu, atau muqollid yang berlagak mujtahid, bahkan bisa juga seorang penyesat.
Karena itu, wajib bagi orang awam untuk meneliti siapa yang diikuti dalam memahami hadis dan memutuskan siapa yang dijadikan panutan atas dasar ketakwaan. Kaum muslimin yang bukan mujtahid wajib “berijtihad” memilih panutan yang benar, bukan berijtihad memahami sendiri sebuah hadis.
Adalah kekonyolan jika ada orang awam yang membaca terjemahan hadis, kemudian memahami sendiri makna hadis itu kemudian merasa sedang mengikuti hadis. Yang seperti ini dikhawatirkan bukan sedang mengikuti hadis, tetapi mengikuti hawa nafsunya sendiri. Na’udzubillahi min dzalik.