Oleh Ust. Muafa
“Kalau mau menilai sebuah paham/aliran/kelompok, ya harus masuk ke dalam kelompok itu, mempelajari kitab-kitabnya, pemikiran-pemikirannya dan ajaran-ajarannya. Jangan menilai dari opini pihak luar, karena itu pasti bias”
Demikian saran yang mungkin sering kita dengar ketika kita ingin tahu apakah sebuah kelompok/aliran di dunia Islam tergolong kelompok sesat/menyimpang ataukah tidak. Konon sikap itu adalah sikap yang dianggap paling bijaksana karena tidak apriori dan dianggap paling adil untuk menilai sesuatu.
Apakah bijak nasihat itu?
Sekilas memang nampak bijak, tetapi jika kita lihat fakta manusia dalam memperoleh pemikiran terlihatlah bahwa nasihat itu adalah nasihat yang utopis, tidak mungkin dilakukan semua orang dan tidak sesuai dengan realita.
Mari sedikit berhitung.
Anggap saja kita telah memperoleh guru yang benar dalam Islam dan kita ingin mempelajari Al-Qur’an dan Hadis.
Al-Qur’an kira-kira secara kasar terdiri dari 6000-an ayat. Jika kita asumsikan setiap hari mempelajari satu ayat, maka untuk tuntas seluruh Al-Qur’an kita memerlukan waktu kira-kira 16 tahun.
Shahih Al-Bukhari secara kasar terdiri dari sekitar 7000-an hadis. Jika kita asumsikan setiap hari mempelajari satu hadis, maka untuk tuntas seluruh shahih Al-Bukhari kita memerlukan waktu kira-kira 19 tahun.
Shahih Al-Muslim secara kasar terdiri dari sekitar 5000-an hadis. Jika kita asumsikan setiap hari mempelajari satu hadis, maka untuk tuntas seluruh shahih Muslim kita memerlukan waktu kira-kira 13 tahun.
Jadi total waktu yang kita perlukan untuk mempelajari Al-Qur’an, Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim adalah 48 tahun!
Kalau kita tambahkan mempelajari Musnad Ahmad, maka kitab hadis ini berisi sekitar 27.000 hadis. Artinya jika kita asumsikan setiap hari mempelajari satu hadis, maka untuk tuntas seluruh Musnad Ahmad kita memerlukan tambahan waktu kira-kira 73 tahun!
Lantas, berapa usia kita? Cukupkah mempelajari semua itu? Padahal itu belum mempelajari kitab-kitab hadis yang lain seperti Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad-Darimi, Muwattho Malik, Mushonnaf Abdur Rozzaq, Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, Shahih Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Khuzaimah, Musnad Al-Bazzar, Musnad Al-Humaidi, As-Sunan Al-Kubro Al-Baihaqi, Al-Mustadrok Al-Hakim, ratusan Ajza’ dan ribuan kitab hadis yang lain.
Itupun baru mempelajari Al-Qur’an dan hadis. Belum mempelajari kitab-kitab cabang yang menyumber dari Al-Qur’an dan hadis seperti pembahasan akidah, fikih, siroh, akhlak, roqo-iq, dan lain-lain yang jumlah kitabnya ribuan bahkan jutaan. Tiap kitab pun kadang terdiri dari sekian jilid tebal-tebal yang tidak mungkin dituntaskan dalam sehari dua hari.
Lalu jika misalnya kita ingin memahami sebuah paham, haruskah kita mempelajari sampai tuntas seluruh kitab-kitab dan pemikiran paham itu kemudian baru menilainya?
Saya punya koleksi kitab Syiah digital sekitar 7000-8000-an buah. Apakah untuk memahami Syiah sebelum menilainya kita harus mengkaji seluruh kitab-tersebut?
Di sinilah letak utopisnya nasihat di atas. Tidak mungkin seluruh kaum muslimin dituntut untuk mengkaji pemikiran seluruh kelompok di dunia Islam sebelum menilainya bisa diterima ataukah digolongkan sesat/menyimpang. Mau tidak mau, kaum muslimin awam bahkan juga para ulama secara umum akan BERTAKLID TERHADAP ULAMA TERTENTU yang memang diberi nikmat oleh Allah dan kesempatan untuk mendalami hakikat suatu pemikiran sebuah kelompok kemudian menilainya. Selama ulama yang dijadikan rujukan itu terbukti berilmu, bertakwa, ikhlas dan tulus nasihatnya untuk umat maka beliau bisa dijadikan rujukan.
Untuk memahami kebatilan Islam liberal dan racun pemikiran orientalisme tidak perlu masing-masing dari kita dituntut membaca karya-karya orientalis yang mengkritik Al-Qur’an semisal Corani Textus Arabicus karya Gustav Flugel, Geschichte des Qorans karya Theodor Noldeke, Materials for the History of the Text of the Qur’an; The Old Codices karya Arthur Jeffery. Kita juga tidak diharuskan menelaah secara detail karya-karya orientalis yang mengkritik hadis seperti The Life of Mahomet karya William Muir, Muhammedanische Studien karya Ignaz Goldziher, The Early Development of Mohammedanism karya David Samuel Margoliouth, L’Islam; Croyances et Institutions karya Henry Lammens, Annali dell ‘Islam karya Leone Caetani, Alter and Ursprung des Isnad karya Josef Horovits, Mundliche Thora und Hadith karya Gregor Schoeler, The Traditions of Islam karya Alfred Guillaume, dan lain-lain. Untuk memahami kebatilan Islam liberal dan racun pemikiran orientalisme cukup menelaah tulisan seperti karya-karya ustadz Syamsuddin Arif, ustadz Adian Husaini, ustadz Hamid Fahmi Zarkasyi yang sangat serius membongkar kebatilan filsafat Barat dan bahaya pemikiran liberalisme-orientalisme. Semoga Allah menjaga keistiqomahan beliau-beliau dalam Islam sampai akhir hayat.
Maka, jika Anda ingin mengetahui sebuah paham yang Anda tidak mengetahui dan Anda tahu itu bukan bidang Anda, misalnya Anda ingin mengetahui dan menilai NU, Muhammadiyyah, PERSIS, Salafi/Wahhabi, LDII, Tarbiyah, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, NII, dan lain-lain lebih bijak Anda mengambil informasi dari orang yang telah Anda selidiki dan terbukti keilmuannya, ketakwaannya, nazahah (keobyektifan)nya, dan ketulusannya menasihati umat. Untuk sampai kesimpulan bahwa Syiah adalah kelompok menyimpang saya cukup bertumpu pada penjelasan Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan yang semisal dengan keduanya. Saya semakin yakin kesimpulan imam-imam besar itu ketika mengetahui doktrin-doktrin batil mereka seperti membolehkan taqiyyah, takfir terhadap para shahabat Nabi, dan sebagainya.
Demikianlah fakta hampir semua orang pada tiap kelompok/aliran. Orang-orang yang merasa berada dalam “kebenaran” itu secara umum pada hakikatnya bukanlah mengkaji semua kitab dan pemikiran yang lahir dari kelompok/alirannya kemudian membandingkan dengan semua pemikiran diluar kelompoknya. Tidak. Tidak ada fakta itu. Yang ada adalah dia PERCAYA pada tokoh di kelompoknya, kemudian mengikuti semua pemikiran, penilaian dan hasil telaahnya. Jalan menuju percaya itu bisa melalui proses-proses yang berdasar ketakwaan, bisa juga melalui jalan yang sangat sederhana dan sangat sosiologis seperti karena mengikuti suami/istri, keluarga, lingkungan, kepentingan ekonomi dan lain-lain.
Allah tidak mungkin membebani setiap hamba untuk mempelajari semua aliran sesat/menyimpang agar tahu mana kebenaran dan mana kebatilan. Umur kita sangat singkat sehingga mustahil melakukan semua itu. Hanya saja, rahmat dan kasih sayang Allah sellau memberi kita petunjuk dengan cara “membangkitkan” sebagian hamba-Nya agar menjadi ahli dalam salah satu atau beberapa aliran sesat/meyimpang itu sehingga kaum muslimin bisa mendapatkan, penilaian, resensi dan nasihat tentang aliran sesat itu tanpa harus berpayah-payah mempelajari sendiri setiap pemikiran yang menyimpang. “Menemukan” beliau yang berilmu, salih dan ikhlash ini adalah ujian Allah kepada muslim awam yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Perlu keikhlasan tingkat tinggi dan melepaskan semua fanatisme untuk menemukannya.
Yang “terpilih” untuk membongkar pemikiran kelompok menyimpang itu bisa saja “mantan” kelompok menyimpang itu (yang tahu betul “jeroan”nya kemudian keluar dan bertaubat), bisa juga orang luar tapi dikaruniai kejeniusan tinggi dan akses memperoleh data dari sumber primer sehingga analisanya bisa dipertanggungjawabkan. Hanya beliau-beliau inilah yang secara rasional dan logis bisa menjalankan nasihat bijak pada awal tulisan ini, bukan seluruh kaum muslimin.
Fakta ini menjadi pelajaran penting bagi kita bahwa dalam belajar agama hal krusialnya bukan hanya menentukan siapa guru yang kita percayai, tetapi juga penting menentukan skala prioritas ilmu apa yang kita pelajari, kitab apa yang kita kuasai dan aliran apa yang kita kaji. Jika tidak, maka sungguh rugi.. rugi rugi.. dan benar-benar rugi diri kita karena keliru memanfaatkan umur yang sangat sedikit ini.
“Demi Masa. Sungguh, manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih,saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam ketabahan” (Al-‘Ashr: 1-3)