Oleh Ust. Muafa
Ketika sejumlah orang yang dianggap ulama berselisih, berdebat, saling mengkritik, bahkan mungkin saling mencela/menjelekkan pribadi lawannya, biasanya di situ mulai tampak siapa yang tulus dan tidak tulus. Siapa yang membela Allah dan siapa yang membela manusia. Siapa yang yang bekerja fisabilillah dan yang berkerja untuk kepentingan dirinya. Siapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan dan siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan. Siapa yang mengajak cinta organisasi/kelompok dan siapa yang mengajak kepada cinta Allah dan Rasulullah. Siapa yang mengajak fanatik pada Allah/ Rasul-Nya dan siapa yang mengajak fanatik pada tokoh dan komunitasnya.
Pada tahap ini bisa jadi sangat mudah bagi kaum muslimin muqollid yang ikhlas untuk memilih mana ulama yang layak menjadi panutan dan didengarkan ucapannya karena tanda-tanda yang sangat jelas yang menunjukkan apakah seseorang termasuk ulama salih ataukah ulama su’/jahat.
Tapi terkadang pula di mata orang awam ada dua ulama yang lahirnya sama-sama baik, sama-sama salih, sama-sama bertakwa, sama-sama ikhlas, sama-sama tulus nasihatnya kepada umat, sama-sama banyak jasanya bagi Islam dan kaum muslimin tetapi mereka tampak berselisih, saling mengkritik, bahkan sampai level saling menjarh (mencederai kredibilitas) dan mentahdzir (mengajak umat menjauhi bahayanya).
Bagaimana menyikapinya?
Satu prinsip yang harus kita pegang, “Tidak mungkin seorang ulama akan bersepakat dalam segala hal dengan ulama yang lain”. Ketidaksetujuan dan perbedaan pendapat dalam sejumlah persoalan itu sangat biasa, manusiawi dan alami. Hanya saja, para ulama generasi salih di zaman dulu meski saling mengkritik, tetapi pada saat yang sama mereka juga saling memuji, saling menghargai dan saling menghormati. Akhirnya perbedaan pendapat di kalangan mereka tidak pernah menjadi fitnah bagi kalangan awam dan pengikut masing-masing ulama itu. Sikap seperti ini diceritakan oleh Adz-Dzahabi terkait Imam Ahmad ketika memuji Ishaq bin Rohawaih sebagai berikut,
“.. Tidak ada (ulama) yang melintasi jembatan menuju Khurosan yang (kualifikasinya) seperti Ishaq meskipun beliau berbeda pendapat dengan kami dalam sejumlah persoalan. Memang, manusia selalu saja berselisih satu sama lain…(Siyaru A’lami An-Nubala’, juz 11 hlm 371)
Sayangnya sikap semacam ini sangat langka di kalangan ulama atau dai atau ustadz di zaman sekarang sehingga hal itu menimbulkan fitnah, perpecahan, saling menjelekkan dan saling membully di antara pengikut dai masing-masing.
Hanya saja, meskipun perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah wajar tetapi terkadang perbedaan pendapat itu melampaui garis yang seharusnya, sehingga dinilai oleh ulama generasi belakangan sebagai ketergelinciran. Ketergelinciran juga hal yang sangat mungkin pada manusia, tetapi ini adalah kesalahan minor, bukan mayor. Oleh karena itu tidak boleh ketergelinciran seperti ini dibesar-besarkan apalagi sampai dijadikan dasar untuk memusuhi dan memutus hubungan.
Hal seperti ini pernah terjadi di masa lalu. Kisah terbaik yang bisa dijadikan contoh adalah perselisihan antara Al-Bukhori dengan Adz-Dzuhli.
Adz-Dzuhli adalah ahli hadis Khurosan. Beliau orang salih. Ilmunya bermanfaat bagi kaum muslimin. Beliau juga guru Al-Bukhari dan Muslim. Hadisnya diriwayatkan banyak mukhorrij hadis seperti Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Abu ‘Awanah dan lain-lain. Bahkan Adz-Dzuhli di Khurosan dari sisi wibawa dan kharisma adalah seperti Imam Ahmad di Irak!
Tapi Adz-Dzuhli dikenal dalam sejarah telah mentahdzir Imam Al-Bukhari dengan alasan akidah Al-Bukhari bermasalah. Tuduhan yang dialamatkan ke Al-Bukhori terkenal dengan istilah “Tuhmah Al-Lafzhiyyah”, yakni tuduhan bahwa Al-Bukhari berakidah Jahmiyyah gara-gara ucapan beliau terkait pelafalan Al-Qur’an. Sebagai akibat perselisihan ini, Al-Bukhari sendiri menjadi tidak bisa “leluasa” menyebut Adz-Dzuhli jika berbicara tentang perawi hadis. Setiap menyebut nama Adz-Dzuhli, beliau tidak mau menyebut nama langsungnya, yaitu Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, tetapi hanya mau menyebut Muhammad, atau dinisbatkan pada leluhur Adz-Dzuhli seperti menyebut Muhamamd bin Kholid atau Muhammad bin Abdillah.
Apa jadinya jika kita turuti tahdzir Adz-Dzuhli terhadap Al-Bukhari?
Tentu saja itu hal itu akan menjadi kesalahan terbesar dalam sejarah dan kerugian yang nyata bagi seluruh kaum muslimin dalam urusan dien mereka. Hal itu dikarenakan bermakna menolak seluruh hadis tersahih sesudah Al-Qur’an yang dikumpulkan Al-Bukhari dalam kitabnya. Kita juga bisa kehilangan sebagian besar As-Sunnah jika menuruti saran Adz-Dzuhli sehingga menjadi tersesat dalam dien ini.
Bagaimana jika mendukung Al-Bukhari kemudian menjauhi Adz-Dzuhli?
Keliru juga sikap ini, karena Adz-Dzuhli juga imam hadis yang ilmunya tidak bisa diremehkan. Hadis-hadis beliau banyak diriwayatkan oleh pakar-pakar hadis seperti Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaimah, Abu ‘Awanah, Sa’id bin Manshur, Ash-Shoghoni, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan lain-lain. Memboikot Adz-Dzuhli juga bermakna menolak Sunnah Nabi yang diriwayatkan beliau karena alasan pribadi yang tidak bisa dibenarkan.
Oleh karena itu, sikap yang paling adil adalah tetap menghormati para ulama tersebut dan mengambil ilmu dari keduanya. Kejadian perselisihan mereka kita pahami sebagai perselisihan pribadi, kita lipat, dan tidak perlu kita besar-besarkan atau dijadikan dasar untuk mentahdzir satu sama lain. Kejadian yang menimpa para ulama itu sekaligus menjadi pelajaran penting bagi kita bahwa tidak ada seorangpun yang maksum di kalangan ulama. Karenanya menempatkan penghormatan terhadap ulama harus tetap proporsional.
Sikap yang sama dalam hal penghormatan dan mengabaikan perselisihan pribadi juga berlaku pada ulama yang lain, misalnya seperti kisah Imam Malik yang mengatakan Abdullah bin Ziyad pendusta, Imam Malik yang menyebut Muhammad Ibnu Ishaq sebagai dajjal, Ibnu Ma’in yang mencela Az-Zuhri, Ibnu Ma’in yang menjatuhkan kredibilitas riwayat Asy-Syafi’i, As-Suyuthi yang menjarh As-Sakhowi, As-Sakhowi yang menjarh As-Suyuthi, Abu Nu’aim yang berselisih dengan Ibnu Mandah, ‘Ikrimah yang berselisih dengan Sa’id bin Al-Musayyab dan lain-lain. Adz-Dzahabi mengatakan, andai saja beliau mau, bisa saja beliau menulis puluhan lembar (karoris) untuk mencatat kejadian perselisihan pribadi para ulama itu. Tetapi ini tidak baik dan tidak ada gunanya sehingga tidak dilakukan Adz-Dzahabi.
Jangan sampai perselisihan di kalangan ulama itu malah dijadikan alasan dan pembenar untuk melakukan saling tahdzir yang efeknya hanyalah saling mengkapling jamaah. Apalagi alasannya seringkali sangat subyektif, beraroma kecemburuan akan popularitas, didorong fanatisme madzhab/pemikiran/harokah/organisasi/jamaah bahkan muncul karena kedengkian.
Jika alasannya hanya karena penilaian subyektif bahwa seseorang misalnya dikatakan “akidahnya bermasalah”, maka tahdzir Ad-Dzuhli terkait Al-Bukhari seharusnya lebih layak diperhatikan daripada tahdzir 1000 dai/tokoh/ustadz zaman sekarang. Jika ulama zaman dulu yang lebih terjaga, lebih takut dosa, lebih banyak yang menjadi wali Allah, lebih tinggi ilmunya, lebih kuat imannya, lebih kokoh ketakwaannya bisa terjatuh pada fitnah perselisihan pribadi tersebut maka kira-kira seperti apa “dahsyatnya” saling mentahdzir antar dai di zaman sekarang?
Apabila kaum muslimin telah mendapatkan bukti untuk bisa berhusnuzhon bahwa ada ulama/dai/ustadz yang berilmu, bertakwa, salih, tulus nasihatnya untuk umat, jasanya untuk umat juga nyata, kemudian mereka berselisih, maka marilah kita pandang perselisihan itu sebagai perselisihan pribadi yang tidak perlu dibesar-besarkan. Kisahnya kita lipat, tidak perlu dipopulerkan, tidak perlu dijadikan dasar untuk saling mentahdzir dan kita tetap memanfaatkan ilmu dari mereka semua. Biarlah perselisihan pribadi itu menjadi tanggungjawab mereka di akhirat agar dihisab dan diadili Allah seadil-adilnya.
Adz-Dzahabi berkata:
“…Ucapan (mencela) orang yang hidup semasa satu sama lain tidak perlu dianggap, apalagi jika jelas bagimu jika ( celaan itu muncul) karena permusuhan, (membela) madzhab, atau hasad (kedengkian). Tidak ada yang selamat darinya kecuali yang dijaga Allah..” (Mizan Al-I’tidal juz 1, hlm 111)
Di titik penting ini ingin saya tegaskan; Jika ucapan ulama/dai/ustadz yang menjelek-jelekkan sesamanya saja bisa ditolak apalagi ucapan buruk para juhala’. Ucapan orang-orang jahil yang masih belum snaggup memahami kadar dirinya itu secara mutlak harus ditolak. Didengarkan (jika diucapkan) atau dibaca (jika ditulis) saja jangan, karena bisa mengotori hati dan menularkan akhlak yang buruk.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين