Oleh : Ust. Muafa
Dalam madzhab Asy-Syafi’i, seorang muslim yang tidak mengkafirkan pemeluk agama selain Islam -baik itu Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, Majusi- atau ragu dengan kekafiran mereka atau membenarkan doktrin/ajaran mereka, maka ia dihukumi kafir dan dinyatakan telah murtad dari Islam. An-Nawawi berkata,
Artinya :
“…Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang beragama dengan agama selain Islam seperti Nasrani, atau ragu kekafiran mereka atau membenarkan doktrin/ajaran mereka maka dia kafir meskipun menampakkan dirinya Islam dan meyakininya…(Roudhotu Ath-Tholibin, juz 10 hlm 70)
Dasarnya adalah ayat berikut ini,
Artinya :
“Barangsiapa mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Ali Imran; 85)
Dalam ayat di atas, Allah mencela siapapun yang tidak beragama Islam. Allah juga menegaskan bahwa agama apapun selain Islam tidak akan diterima di akhirat dan pemeluknya dipastikan termasuk orang-orang yang rugi. Memang benar makna lughowi/bahasa dari lafaz Islam adalah “pasrah/berserah diri”. Hanya saja, dalam memahami Al-Qur’an, aturan pertama yang tidak boleh dilanggar dalam memahami lafaz adalah SEMUA LAFAZ DALAM DALIL, PERTAMA-TAMA WAJIB DIMAKNAI DENGAN MAKNA SYAR’I. Jika pemaknaan syar’i tidak mungkin, maka dimaknai dengan makna ‘urfi (istilah/tradisi). Jika pemaknaan ‘urfi tidak mungkin baru dimaknai secara lughowi/bahasa.
Makna syar’i lafaz Islam adalah “berserah diri/pasrah untuk mengikuti wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad”. Jadi siapapun yang tidak bersedia mengikuti wahyu yang turun pada Nabi muhammad, maka dia tidak masuk Islam alias kafir. Pemaknaan inilah yang benar. Jadi, tidak boleh lagi dimaknai dengan makna bahasanya.
Cara pemaknaan ini mirip dengan pemaknaan lafaz salat. Makna bahasa lafaz salat adalah “berdoa”. Tetapi, makna syar’inya adalah “Aktivitas ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan sifat dan kaifiyyah tertentu”. Oleh karena itu, setiap bertemu lafaz salat dalam Al-Qur’an, maka wajib dimaknai dengan makna syar’i, tidak boleh langsung dimaknai dengan makna bahasa. Jika konteks kalimat tidak memungkinkan dimaknai dengan makna syar’i, barulah dimaknai secara ‘urfi kemudian lughowi/bahasa. Jika lafaz salat langsung dimaknai secara bahasa maka rusaklah makna dan hancurlah dien Islam.
Kembali pada soal mengkafirkan pemeluk di luar Islam.
Dalam ayat di atas, sangat jelas Allah menegaskan hanya Islam agama yang diridhai-Nya. Oleh karena itu, siapapun yang meragukan kebatilan agama selain Islam atau bahkan malah membenarkannya, maka dia jelas mendustakan ayat Allah yang bersifat qoth’i/pasti. Karenanya, ia layak dihukumi kafir dan murtad.
Dalam blantika pemikiran agama, paham yang mengajak untuk “membenarkan” semua agama adalah paham PLURALISME. Alasan paham ini, kebenaran agama adalah relatif. Jadi, pluralisme adalah paham yang juga tidak bisa dilepaskan dari paham relativisme. Paham ini mengajarkan semua agama akan masuk surga. Paham pluralisme ini sudah difatwakan MUI pada tahun 2005 sebagai paham sesat dan menyimpang.
Paham ini secara aksiologis dianggap baik karena bisa diharapkan meredam konflik antar agama. Paham ini menjadi paham favorit kaum liberal karena memang sokongan dana dari Barat sangat besar. Menurut Greg Barton, salah satu program utama liberalisasi Islam di Indonesia memang penyebaran paham pluralisme. Proyek ini banyak membuat mereka yang gila uang menjadi “ngiler” karena tahu betapa mudahnya mendapat dana jika tema ini yang diangkat.
Paham pluralisme jelas batil. Dalam logika sederhana, tidak ada gunanya Rasulullah diutus sebagai nabi terakhir jika semua agama benar. Rasulullah diutus justru karena SEMUA AGAMA SALAH kemudian Islam datang untuk mengajari mereka jalan yang benar, yakni jalan Islam.
اللهم اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ